Epilog

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

"Abang lupa cerita denganmu, Mai. Mengenai bagaimana akhirnya abang kembali pada orang tua, abang. Kamu tidak pernah ingatkan abang, sih, selama hampir satu tahun pernikahan kita ini."

Rumaisha terkekeh, "Mai pikir itu hal yang privasi, jadi Mai nggak pernah berani tanya."

"Abang adalah korban penculikan yang dilakukan orang nggak dikenal saat itu, Sayang. Umi bilang, saat itu beliau sedang menidurkan abang yang baru berumur beberapa tahun. Abah juga lebih sering berada di luar pesantren karena beliau ada panggilan untuk ceramah. Kamu tahu sendiri, kan, pesantren saat itu baru satu tahun berdiri dan tempat ini dahulunya masih sepi serta rawan penculikan, perampokan, bahkan dekat dengan rumah bordil, tempat maksiat berada.

"Tapi, itulah cara abah untuk berdakwah hingga akhirnya pesantren berkembang seperti sekarang. Dulu, para santri pun pernah terkena dampaknya, hingga akhirnya sebelum tidur selalu dikunci tanpa mencabut kuncinya dan menutup semua jendela, asatidz pun bergantian jaga di luar.

"Ketika abang menjadi korban penculikan, umi sedang terlelap dan asatidz saat itu sedang mengawas di bagian asrama sehingga tidak ada yang menyadari penyusup datang. Abang sepertinya dijual oleh penculik tersebut karena bukan almarhumah bunda Yeni lah yang menculik. Beliau sama seperti mama Ara, tidak mampu memiliki anak. Sehingga dengan terpaksa beliau menerima tawaran untuk membeli abang."

"Bagaimana abang tahu? Bukankah saat itu ibu Yeni sudah meninggal?"

Azzam mengelus perut buncit Mai, "memang. Jauh sebelum kamu ditemukan ibu, beliau sudah menceritakan semuanya. Namun ibu sama sekali tidak mengetahui siapa orang tua dari abang, hingga beliau memutuskan untuk membesarkannya. Beliau pikir saat itu abang adalah anak dari penculik tadi."

"Dan bagaimana bisa akhirnya abang bertemu umi dan abah?"

"Qadarullah, salah satu teman abah saat itu baru saja menjadi donator panti, setahun setelah kamu diadopsi oleh papa dan mama. Abah turut menemani temannya ketika memberikan berbagai kebutuhan serta donasi untuk panti. Kamu udah lihat, kan, tahi lalatku yang ini?"

Tangan Azzam menunjuk keningnya. Dekat dengan rambut, di sisi sebelah kanan terdapat tahi lalat Azzam yang tidak begitu besar.

"Rambut abang habis dicukur saat itu, sehingga tahi lalat ini begitu jelas tertangkap oleh mata abah. Setelah melakukan pengecekan DNA, terbukti bahwa abang adalah anak abah dan umi. Dan setelah 15 tahun tersebut, rupanya abang sudah memiliki adik yang selisih dua tahun, Aisyah."

"Kenapa abang dulu dipanggil Wildan? Bukan Azzam seperti sekarang?"

"Umi bilang, baju terakhir yang abang pakai sebelum diculik itu terdapat bordiran Wildan A. Karena tidak tahu kepanjangannya, ibu Yeni hanya mengambil kata Wildan sebagai nama abang."

"Waktu liat undangan pernikahan kita, Mai suka ucap ulang nama abang. Habis namanya bagus banget, Fayyadh Wildan Azzamy."

Azzam terkekeh geli mendengarnya, "ada-ada saja kamu. Tahu nggak artinya apa?"

Rumai menggeleng. "Apa, bang?"

"Laki-laki pemberani yang memiliki kebulatan tekad."

"Tuh kan, artinya juga sama bagusnya. Apalagi orangnya," Mai terkekeh ketika menyentuh dagu Azzam yang memiliki sedikit bulu-bulu halus. "Sebentar, abang masih ingat ini, nggak?"

Wanita itu dengan perlahan bangkit berdiri untuk mengambil sebuah buku yang mulai menguning. Tertulis di depannya 'Rumaisha's Happiness List' membuat Azzam memandang takjub istrinya.

"Kamu serius lakuin apa yang abang katakan saat itu? Menulis mimpi-mimpi untuk mencapai kebahagiaanmu?"

"Hu-um," jawabnya sambil kembali menyandarkan kepala, kali ini pada dada bidang Azzam yang masih terbalut koko, karena pengajian untuk kehamilannya tadi.

"Menurutmu, kamu sudah mendapat jawabannya, Sayang? Mengenai kebahagiaan sejati yang selama ini kamu cari?"

Rumaisha bergumam tanda mengiyakan. Ketika tangan Azzam kembali bergerak mengelus perut buncitnya, tendangan-tendangan kecil ia rasakan.

"Kebahagian yang hakiki yaitu ketika kita dapat mensyukuri segala takdir yang sudah Allah tentukan untuk diri ini, entah itu berupa nikmat ataupun ujian. Dialah yang lebih mengetahui, segala hal terbaik untuk hambaNya. Maka tugas kita adalah bersyukur dan terus bersyukur. Kelak rasa tenang dan bahagia terus melingkupi hati setiap 'abdan syakuura, hamba-hambaNya yang bersyukur."

Azzam tersenyum. "Kamu tahu, Sayang?"

"Apa, abang?"

"Rasanya abang tidak dapat berhenti untuk mengucap alhamdulillahilladzii bi ni'matihii tatimmush shaalihaat."

"Kalau boleh tahu, artinya apa abang?"

Diusap lembut helaian rambut sang istri serta ia kecup kening dan perutnya sebelum menjawab pertanyaan Rumaisha.

"Segala puji bagi Allah yang dengan nikmatNya segala kebaikan menjadi sempurna."

Malam ini sama-sama mereka tutup dengan memanjatkan rasa syukur. Pernikahan yang bahagia, cinta kasih yang saling melingkupi, serta buah hati yang mana telah Allah titipkan sebagai sebuah amanah untuk mereka di dunia ini.

Fabiayyi 'alaai rabbikumaa tukadzdzibaan. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Bersyukurlah, maka kebahagiaan hakiki segera Allah lingkupi dalam setiap diri ini.

Wallahu a'lamu bish shawaab.

***

Sampailah cerita ini pada sebuah akhir. Seperti tertera pada sinopsis, cerita ini hanyalah cerita sederhana yang bisa saya tuliskan kepada kalian semua.

Apabila kalian mungkin tidak merasakan adanya klimaks dari cerita ini, update yang begitu jarang, serta tidak begitu merasakan feel cerita, saya memohon maaf.

Semoga ada yang dapat dipetik dari kisah sederhana mengenai perjalanan hidup Rumaisha dalam mencari kebahagiaan sejatinya.

Kini, apakah kalian sudah memahami dan merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya?

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top