7 | Rumaisha
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
***
"Bang, Mba Kinan nge-WA nih. Katanya mau fitting kapan? Pihak WO-nya minta kalau bisa hari ini. Jeng Nara seperti biasa yang hubungi Mba Kinan."
"Abang hari ini mau isi kajian di pesantrennya sahabat abang," jawab Azzam sambil mengambil apel yang dikupas adiknya. Sementara matanya tidak lepas fokus dari kitab yang akan menjadi bahan materi untuk kajiannya nanti.
"Yah, si abang mah. Bilang nggak bisa, nih, ke Mba Kinan?"
Azzam mengangguk. "Kalau mau Kinan fitting duluan ditemani Jeng Nara. Nanti kalau urusan abang udah selesai, kita berangkat sendiri ke sana."
Aisyah hanya mengiyakan pasrah walaupun di hati menggerutu kesal. Abangnya yang akan nikah, tapi tetap saja Aisyah yang direpotkan karena ialah perantara antara Azzam dan Kinan.
Abah tidak akan mengizinkan Azzam bertukar pesan meskipun hanya sebatas urusan persiapan pernikahan. Lebih baik lewat adiknya saja, begitu pesan abah mereka.
To : Calon Kakak Ipar
Mba Kinan, si abang harus isi kajian dulu. Mba duluan aja ditemani Jeng Nara? Ai dan abang nyusul.
Sent.
"Udah, cepat sana kamunya siap-siap. Setengah jam lagi kita berangkat, Ai."
***
"Jazakallah khair, Zam. Mantap isinya, beberapa santri lama yang ngabdi tadi sempat tanya itu beneran Azzam? Soalnya lebih kasep."
"Wa jazakallah khair. Emang dulu ane nggak kasep?"
"Dulu kan ente rada gosong, haha."
Pria itu tertawa. "Anak alam nggak gosong ya nggak wajar dong," elaknya. "Ente juga sekarang udah punya bini mukanya keliatan lebih bersinar lagi."
Azzam sengaja menggoda hingga timbul rona malu bercampur bahagia dari wajah pria di hadapannya. Ia tahu betul perjalanan mereka yang penuh teka-teki hingga akhirnya terjawab sudah bahwa wanita itu memang ditakdirkan untuk sahabatnya.
"Alhamdulillah. Sebentar lagi juga ente bisa ngerasain nikmatnya punya bidadari di rumah."
Aisyah senyam-senyum sendiri melihat pasangan di depannya. Walaupun hati jomblonya tetap saja membatin pengen.
Kapan ada yang bilang Ai bidadari-nya, ya Allah?
Usai dua orang itu selesai bernostalgia, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju butik untuk melakukan fitting.
Dikabarkan, Kinan beserta orang tuanya sudah pulang. Sementara Jeng Nara tadi bersikukuh untuk menunggu.
"Tetap eike tungguin si abang. Titik." Begitu katanya dengan logat khas cowok melambai.
Jeng Nara yang ngaku-ngaku kembaran dari Jang Nara, salah satu aktris Korea itu memang seorang pria aslinya dengan nama Narto. Ia merupakan salah seorang pegawai profesional dan terbaik yang dimiliki sebuah WO terkenal. Di awal mereka sempat tetap ingin memanggil Mas Narto, namun pria itu menolak keras. Abah hanya berpesan, untuk orang seperti Mas Narto kita cukup menghormati pilihan hidupnya dan mendo'akan yang terbaik.
Untuk akad, nanti Azzam akan memakai jas putih tulang sementara saat resepsi ia akan memakai jas berwana merah dan keemasan. Khas orang Palembang karena memang calon istrinya ada darah Palembang.
"Udah malem, nih. Mau cari penginapan dulu nggak Ai? Apa langsung pulang?"
"Pulang ajalah, bang. Tapi mampir dulu beli martabak telor, ya. Ai ngidam."
Azzam terperanjat. "SIAPA YANG HAMILIN AI? BILANG SAMA ABANG?"
"Astaghfirullah, abang. Emang ngidam harus pas hamil aja apa?" Bibir Ai mengerucut kesal karena abangnya yang terlalu polos. "Perempuan PMS kan emang sering ngidam juga, abang. Amit-amit, naudzubillah. Ai masa hamil tapi belom nikah?"
"Umi kalau lagi halangan nggak pernah abang liat minta ini itu sama abah."
"Umi sama Ai kan beda," tukasnya kesal.
Dikira abang semua perempuan itu sama apa? Ya bedalah!
"Iya, iya. Yaudah kalau liat tukang martabak bilang berenti aja ke abang, ya."
Suasana mobil kini hanya terdengar murottal qur'an kesukaan Ai, Syaikh Mishary Rasyid. Ai hanya mengikuti pelan tanpa bersuara supaya tidak mengganggu konsentrasi abangnya.
Azzam pernah bilang, "Ai, abang nggak tahan sama kecerewetan kamu. Jadi lebih baik abang ditemani sama murottal aja atau sambil makan permen pedes daripada ditemani ngobrol sama kamu."
Jujur sekali abangnya.
Dasar Azzam tidak berperike'abang'an!
Mata Ai menelusuri jalanan demi menuntaskan ngidamnya terhadap martabak telor. Ia yakin sekali malam-malam seperti ini justru adalah jam-jamnya abang martabak berjualan.
Matanya mengernyit ketika ia melihat seorang gadis yang berada dalam gendongan pria. Wajahnya yang tidak terhalang lengan pria itu membuat Ai dengan cepat mengenali bahwa itu adalah Rumaisha.
"Abang. Berhenti dulu bang!"
"Kenapa? Tukang martabaknya kelewat?"
Ai menggeleng. "Abang, tadi Ai lihat Mai, bang. Teman Ai. Dia lagi digendong sama—"
"Ayo keluar."
Azzam menepikan mobilnya dan keluar dari mobil menuju seorang pria yang ditunjuk Ai. Syukur alhamdulillah, ia masih menguasai ilmu bela diri sehingga dengan satu kali jurus yang ia keluarkan, pria itu mengaduh kesakitan dan terjatuh begitu saja sambil mengumpat.
Azzam memberi kode pada adiknya dengan melempar jaket untuk menutupi tubuh Mai, sementara ia harus menyelesaikan urusannya dengan pria itu.
"Mai, astaghfirullah!" Ai menangis sesenggukan melihat wajah teduh Mai. Hatinya sedikit meringis ketika ia menyadari bahwa Mai hampir saja kehilangan sesuatu yang berharganya malam ini jika pertolongan Allah melalui mereka datang. Ia tidak mempedulikan rasa mual ketika aroma alkohol menguar begitu menyengat dari tubuh temannya.
"Tolong buka pintu mobil," perintah Azzam.
Sementara pria itu kini menggendong Rumaisha tanpa melihat wajahnya sambil beristighfar. Karena walau sudah tertutup jaket, ketika ia menggendongnya ia bisa merasakan sedikit halusnya kulit gadis itu.
Astaghfirullah, Azzam!
Tubuh Mai ia rebahkan dengan kepala bertempu pada pangkuan Ai di jok belakang. "Udah, Ai. Jangan nangis. Alhamdulillah Ai tadi lihat sehingga kita bisa selamatin teman Ai, kan?"
Ai mengangguk dan melepas cadarnya untuk menutupi sebagian wajah hingga leher Rumaisha yang tidak dapat tertutup jaket.
Terima kasih Ai udah buat abang nggak khilaf dengan keinginan melihat wajahnya.
***
Aisyah masih setia menemani Rumaisha yang sedang dalam kondisi tidak sadar. Bahkan di malam hari tiba-tiba ia harus terbangun setelah mencium bau muntah. Dengan hati-hati ia mengganti baju Mai dengan kaosnya, membersihkan muntahannya, lalu mengoles minyak kayu putih pada sekitar perut dan leher.
"Hiks. Gilang jahat, hiks," racau Mai tiba-tiba. "Kenapa hidup gue harus sesial ini?"
"Sssh, Mai ...." Aisyah mengelus pelan punggung Mai sambil membaca ayat kursi dan bacaan pendek. "Istighfar, Mai."
"BRENGSEK! MATI AJA GUE!" racaunya lebih keras dan detik berikutnya Rumaisha sudah menangis sesenggukan.
"Sssh ... astaghfirullahal'adzim. Ya Allah, tolongin teman Ai dalam menghadapi masalahnya," do'a Ai sesenggukan begitu Mai kembali terlelap dalam tidur.
Masalah berat apa yang sebenarnya sedang dialami oleh Mai hingga gadis itu harus melarikan diri ke kelab malam dan meminum alkohol?
Cahaya matahari masuk melalui celah-celah ventilasi. Sinarnya yang sedikit menyilaukan mata membuat Rumaisha terpaksa bangun dari tidurnya.
Ketika nyawanya sudah kumpul sepenuhnya, mata gadis itu mengerjap beberapa kali. Memikirkan kenapa ia bisa sampai di tempat asing ini? Bukankah kemarin ia—
Rumaisha memeriksa pakaiannya yang sudah diganti dengan kaos dan celana legging.
SIAPA YANG DENGAN KURANG AJARNYA MENGGANTI PAKAIAN IA?
"Arrgh!"
Gadis itu tidak bisa membayangkan. Pikirannya benar-benar buntu mengenai keanehan yang ia alami pada pagi hari ini.
Oh Tuhan, apa saat ini ia seperti di novel-novel dewasa? Terlibat one night stand dan ditinggalkan begitu saja oleh pasangannya?
Kepala Rumaisha menggeleng keras.
Tidak mungkin!
Apalagi ia yang masih suci, kalau memang benar ia terlibat one night stand bukankah seharusnya bagian kewanitaannya merasa sakit karena baru pertama kali merasakan berhubungan. Dan pasti dress serta dalamannya sudah berserakan di kamar tersebut.
"Ini kamar cewek, Mai! Mana ada pria hidung belang yang memiliki dekorasi merah muda yang girly ini?" tanyanya pada diri sendiri begitu tersadar bahwa pria dan one night stand adalah hal yang mustahil yang sudah dialaminya saat ini.
Lalu di mana dirinya sekarang?
Dengan hati-hati karena ingin menuntaskan rasa penasarannya, Rumaisha segera turun dari ranjang. Ia keluar kamar sedikit mengendap dan dahinya mengernyit heran tatkala melihat begitu banyak perempuan berlalu lalang dengan kerudung panjang. Berbanding terbalik dengan dirinya.
Tiba-tiba saja, sebuah kain panjang tersampir menutupi rambut legamnya dari belakang membuat Rumaisha terperanjat kaget dan reflek menoleh. Sementara pria itu langsung menundukkan wajah dan berdehem pelan. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana bahannya.
"Di sini adalah kawasan berbusana muslim. Bantu kaum kami menjaga pandangan dengan tertutupnya auratmu. Mohon maaf kalau tersinggung. Saya permisi, assalamu'alaikum."
Rumaisha terdiam, tidak menjawab salam pria tersebut karena masih terlalu kaget akan sikapnya.
Tuhan, siapa dia?
***
الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top