6 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

"AAARGH! BRENGS*K!"

Prang!

Rumaisha menangis keras usai berhasil melemparkan pecahan botol beling dari bir yang ia beli. Tidak ia pedulikan sama sekali gedoran pintu dan teriakan histeris mamanya.

Seumur-umur, kejadiaan yang menimpanya saat ini mungkin dapat ia catat sebagai masa terburuk dalam hidupnya. Ia sudah menjadi alat pemuas nafsu materi keluarga neneknya yang gila harta. Ditambah lagi ini adalah pengkhianatan paling mendalam yang ia rasakan tatkala mengetahui Gilang turut andil dalam semua ini.

Kalau ada yang berpikir, kenapa ia harus sekecewa itu pula dengan Gilang sedangkan rasa yang ia punya belum sampai pada tahap 'cinta'?

Maka jawabannya adalah tidak perlu membutuhkan perasaan cinta, sayang, bahkan saling kenal atau apapun itu. Karena yang namanya pengkhianatan akan selalu membekaskan luka kekecewaan yang begitu dalam. terlebih bila ia diberikan oleh orang yang sudah kamu jadikan sandaran.

***

"Aku nggak bisa terus sama kamu, Mas. Dan aku rasa, setelah ini kita nggak perlu untuk saling bertemu bahkan anggap saja kita nggak pernah kenal."

Saat itu, Rumaisha dengan lihainya memendam semua cacian dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia hanya bisa menyembunyikan senyum sinisnya ketika melihat wajah Gilang yang kaget dan seolah tidak bisa menerima.

Dasar muka dua kamu, Mas!, batinnya.

"Rumai, ke—kenapa tiba-tiba? Maksudnya, kita belum ada sepekan mencoba menjalani hubungan ini, Mai. Kamu pun sudah berjanji untuk mencoba membuka hatimu pada saya, kan?" tanya Gilang.

Dengan hati-hati dan penuh kelembutan, Gilang menggenggam tangan 'kekasih'nya. Mengusapnya perlahan sembari berujar, "saya tahu kamu butuh waktu untuk menerima. Kita jalani ini pelan-pelan untuk sepekan, ya, Mai. Setelah itu baru kamu memutuskan untuk tetap lanjut atau tidak. Bagaimana, hum?"

Tangan gadis itu perlahan lepas dari genggaman Gilang diikuti kepalanya yang terus menggeleng. "Aku nggak bisa, Mas. Maaf."

Gilang masih terus berusaha menyentuh entah itu tangan ataupun berniat memeluk Rumaisha, namun ia malah terus menepis dan berjalan menjauh. Pembawaan tenangnya sudah menguap, diikuti dengan isakan. Tapi ia tidak akan meledak-ledak di sini. Ia berjanji supaya bersikap tangguh dan tidak terlihat lemah sebagaimana Laura, mamanya.

"Aku nggak bisa menjalin hubungan dengan orang yang ternyata tidak benar-benar menginginkanku."

"Apa maksudmu, Mai?"

Rumaisha tersenyum sinis. Ia mengelap air matanya lalu menatap tajam Gilang yang masih menunggu jawabannya.

"Aku bukan boneka pemuas nafsu harta keluarga kamu dan Hartono, Gilang! Aku tahu semuanya sekarang. Dan aku nggak sudi untuk menjalin hubungan hanya demi sebuah peruntungan."

Wajah Gilang pucat pasi. Ia tampak terkejut mendengar perkataan Rumaisha.

"Ketika kamu dan aku menikah, sebagian besar saham Triwijaya diberikan untuk Hartono. Bodohnya si Mary tua. Ia lupa kalau aku masih kandidat utama pewaris Hartono. Kelak kalau papa turun jabatan, aku tidak mungkin meneruskan perusahaan karena sudah menikah denganmu, di saat itulah kekayaan Hartono akan kembali menjadi milik Triwijaya."

"Rumaisha. Demi Tuhan, saya benar-benar serius tertarik denganmu."

"Saya tidak percaya dengan pengkhianat seperti kamu, Gilang Hadi Triwijaya."

"Oke, saya akui yang kamu ucapkan itu memang benar adanya. Nenek Mary berusaha menjodohkan kami. Yang selalu ada dipikirannya hanyalah harta dan tahta sehingga lupa dengan kemungkinan seperti yang kamu katakan tadi, Mai," aku Gilang.

"Tapi saya tidak menyesal, Mai. Walaupun dengan cara bodoh, saya bersyukur bertemu denganmu. Saya benar-benar sudah nyaman dan jatuh sejatuh-jatuhnya denganmu, Rumaisha. Saya cinta sama kamu, tolong percaya itu." Gilang berusaha kembali menggenggam kedua tangan Mai dengan penuh harap. Meyakinkan gadis itu untuk mempercayai ucapannya.

"Saya salah, Mai. Saya minta maaf. Tapi jangan pernah putuskan hubungan kita. Saya mohon."

"Untuk seorang pengkhianat, tidak ada yang namanya kesempatan kedua, Gilang."

Usai berkata seperti itu, Rumaisha berlari meninggalkan Gilang yang masih dirundung penyesalan. Bahkan kakinya lemah untuk sekadar mengejar kekasih hatinya dan memberikan dekapan erat.

Gilang tidak ingin menyerah, namun ucapan Rumaisha begitu tajam menembus sampai ke dasar hatinya. Membuat harapan di dalam sana hancur berkeping-keping.

Tidak ada kesempatan kedua untuk seorang pengkhianat.

***

"Rumaishaaa. Mama mohon buka pintunya, Nak."

Laura masih berusaha menggedor dan mendobrak pintu kamarnya namun tidak juga berhasil. Hingga beberapa saat ia merasa Laura sudah menyerah karena tidak terdengar lagi suara di luar, pintunya justru berhasil didobrak oleh beberapa pemuda.

Mereka pergi setelahnya. Sementara Laura langsung memeluk putri semata wayangnya. Mengabaikan rasa sakit karena sempat terkena serpihan beling pada kakinya.

"Sayaaang, mama mohon jangan nangis, Nak."

"TUHAN NGGAK ADIL SAMA KITA, MA! MAI BENCI! BENCI DENGAN HIDUP MAI!"

"Bersabarlah, Mai. Masih ada mama yang bisa kamu jadikan sandaran."

"KALAU TUHAN MENCIPTAKAN MAI HANYA UNTUK MEMBUAT MAI MENDERITA, LEBIH BAIK MAI MATI SEKALIAN, MA!"

"Sssshhhh," Laura mengelus rambut legam anaknya. "Mai diciptakan untuk menjadi bidadarinya mama dan orang yang kamu cintai kelak. Seberat apapun masalahmu, jangan pernah menyalahkan Tuhan, Mai."

"Tapi memang itulah kenyataannya."

"Sssshhhh."

"Rumaisha lelah, Ma. Rumaisha nggak bisa sekuat mama. Lebih baik Tuhan ambil saja nyawa Rumaisha jika tidak ada kebahagiaan yang dihadirkan dalam hidup Rumai."

Tiga kalimat tersebut berulang diucapkan Rumaisha hingga Laura meletakkan tubuhnya pada kasur dan matanya yang perlahan terpejam.

"Kamu salah, Mai. Kamu bahkan lebih kuat daripada mama," lirih Laura memandang lekat wajah anaknya yang begitu kacau. Beberapa bahkan menyisakan luka yang membuat wanita tua itu segera mengobatinya sebelum membereskan kamar putrinya.

***

Pukul sebelas malam, Rumaisha mulai tersadar dari tidurnya. Ia memperhatikan seluruh sudut kamar ini yang sudah bersih dan tidak ada lagi beling yang berserakan.

Sudah pasti itu adalah kerjaan mamanya. Namun, walau sudah dibereskan sedemikian bersih, tetap saja bayang-bayang wajah Gilang, Mary, serta Bayu tidak lepas dari pikirannya. Membuat Rumaisha kembali mengerang frustasi dan memutuskan untuk mencari hiburan yang sempat Ratu tawarkan namun ia tolak saat itu.

Ya, hiburan ke kelab malam. Ia akan pergi ke tempat tersebut melalui jendela kamar tanpa sepengetahuan mama maupun sahabatnya.

Diambilnya sehelai dress hitam yang meskipun tidak ketat, tapi cukup pendek karena panjangnya hanya sampai 5 cm di atas lutut.

Gadis itu tersenyum kala mengingat bahwa ini adalah pemberian dari sahabatnya.

***

"Kalau lagi ada masalah, sekali-kali lo mampir ke kelablah. Cobain ngewine atau vodka, wishki, dan teman-temannya. Jangan lupa ajak gue, Mai. Hidup lo jangan lurus-lurus aja dong. 'Nakal' dikit."

"Ngapain ke kelab? Pusing gue denger dentuman musiknya yang keras."

"Yee, justru itulah nikmatnya. Masalah langsung lupa deh. Nih, gue kasih dress malam. Ajak-ajak gue tapi ya, Mai."

"Nggak bakal gue pake. Gila aja kalau mama sampai tau."

"Nggak terbuka kok, Mai. Cuman pendek doang. Nih, ambil," paksa Ratu.

Mau tidak mau ia menerima pemberian dari sahabatnya. Kasihan Ratu karena sudah merelakan sedikit uang jajannya hanya untuk membelikan ia dress malam.

***

Hingar bingar suasana kelab membuat Rumaisha pusing di awal. Tapi setelahnya ia bisa sedikit menikmati musik pada kelab tersebut.

"Satu gelas wine," pesannya pada seorang bartender.

Ewh!

Rumaisha bergidik ketika lidahnya akhirnya mencecap rasa wine untuk kali pertama. Terasa tidak enak. Bagaimana bisa orang-orang meminumnya hingga bergelas-gelas jika rasanya saja seperti ini?

"Boleh saya temani?" suara berat seorang pria mengenyahkan pikirannya mengenai wine.

Pria itu tersenyum nakal dan duduk pada sofa yang Mai tempati bahkan saat gadis itu belum menjawab. "Baru pertama kali coba?" tanyanya lagi.

"Tidak," dusta Mai dan kembali meneguk wine tersebut hingga habis. Ia bahkan memesan lagi beberapa kali setelahnya.

Pria itu tertawa melihat tingkah Mai. Jelas ia tahu betul kalau di hadapannya adalah seorang gadis yang menggiurkan. Sudah pasti masih tersegel karena terlihat jelas ini pertama kalinya ia ke kelab. Diam-diam pria itu memperhatikan Mai sejak pertama kali Mai menginjakkan kaki di sini.

Lihat saja, gadis itu bahkan sudah mabuk sejak gelas pertama tandas, tapi tetap saja ia masih terus meminum dan memesan kembali.

Ini adalah kesempatan langka.

"Pusing?" tanya pria itu basa-basi yang dibalas dengan racauan tidak jelas Mai. "Mari saya antar pulang," ujarnya dan langsung membopong Mai keluar dari kelab.

Ia menyeringai senang karena berhasil mendapati teman 'bermain' malam ini yang begitu istimewa. Ia akan menjadi yang pertama untuk Rumaisha. "Dia begitu cantik Tuhan. Terima kasih telah mempertemukannya dengan saya malam in—"

Bugh!

"AAARGH!"

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن     

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top