5 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ    

***

Bunyi panggilan masuk dari smartphone Rumaisha tidak juga berhenti sejak tiga menit yang lalu. Sengaja, gadis itu sama sekali tidak berniat mengangkat dan lebih memilih fokus menonton drama bersama Ratu.

"Lo nggak ada niatan buat angkat itu telpon?" tanya Ratu sambil mencomot snack dari tangan sahabatnya yang langsung dibalas dengan gelengan. "Seenggaknya lo silent atau blokir sekalian deh Mai. Ini gue kagak konsen nontonnya. Emang dari siapa si?"

"Mantan bokap," jawabnya santai.

"Tumben."

"Makanya gue males ladenin. Yaudah deh gue ubah dulu jadi silent mode."

Rumaisha beranjak dari kasur dan langsung mengambil smartphonenya. Niatnya ingin mengubah jadi silent mode, tanpa diduga benda pipih tersebut kembali berbunyi tanda panggilan masuk dan sialnya Rumaisha malah tidak sengaja mengangkatnya.

"Argh!" rutuk Mai kesal lalu izin keluar dari kosan sahabatnya. "Ada apa, Pa?" ia bertanya sesopan mungkin meski benci setengah mati dengan mantan papa angkatnya.

"Akhirnya kamu angkat telpon papa, Mai. Gimana kabarmu dan mama?"

"Rumai nggak suka basa-basi. Yang pasti kami baik-baik aja tanpa papa sekarang. Apa yang papa mau?"

Pria tua di seberang sana menghembuskan nafasnya gusar. Ia padahal benar-benar rindu dengan Rumaisha meskipun bukan darah dagingnya sendiri dan tentu pada Laura. Tapi sepertinya memang tidak ada pintu maaf yang dapat terbuka untuk seseorang sepertinya.

"Kamu bisa ke kantor papa sekarang, Nak?"

"Hmmm."

"Syukurlah. Papa tunggu ya."

Tanpa berniat membalas perkataan Bayu, Rumaisha langsung mematikan panggilan tersebut. Ia bergegas masuk kembali ke kosan Ratu dan merapikan barangnya.

"Ra, sori gue disuruh mantan bokap ke kantornya."

"Ya udah."

"Awas lo meratapi nasib lagi. Begitu gue balik, gue pengen liat Ratu yang cengar-cengir nggak jelas liat cogan di drama, bukan yang nangisin cowok brengsek macam Dion. Oke?" pesan Rumaisha.

"Iye, Rumaikuuu. Sono lo pergi. Kasian mantan bokap lo udah nggak kuat nahan rindu sama anaknya," ledek Ratu yang langsung mendapat tatapan tajam. Tapi namanya juga Ratu, tentu saja ia hanya membalas dengan cengiran tidak bersalahnya.

***

Untuk kali pertama semenjak perceraian orang tua angkatnya gadis itu kembali menginjakkan kaki di lantai perusahaan Hartono.

Matanya sedari tadi tidak lepas untuk menyusuri setiap sudut yang sedikit berbeda dari terakhir kali ia di sini. Mengamati setiap perubahan yang ada dan beberapa karyawan yang berbeda.

Walau beberapa karyawan lama tidak ada, namun masih ada yang mengenali Rumaisha dan menyapanya ramah. Seperti Lisa, sekretastis Bnyu ini misalnya. Ia terperangah melihat anak kecil yang beberapa kali dibawa Bayu ke sini sudah bertransformasi menjadi gadis dewasa.

"Ini non Rumai? Amboi, banyak cowok yang ngelirik pasti?" goda Lisa setelah bertemu dengannya.

"Ibu Lisa bisa aja. Nggak ada yang menarik dari saya, bu," elak Rumaisha. "Oh iya, papa ada?"

Lisa mengangguk cepat. "Bapak sudah nunggu non Rumai di dalam. Tadi beliau berpesan kalau anaknya ke sini suruh masuk saja. Eh saya nggak nyangka anak yang dimaksud ini non Rumai. Saya kira si Kejora atau Orion." Wanita itu tanpa sengaja menyebutkan saudara-saudari tirinya.

Diam-diam Rumaisha tersenyum pahit. Ia saja dulu hanya beberapa kali di bawa ke kantor. Tapi sepertinya Kejora ataupun Orion dipersilakan dengan senang hati untuk main ke kantor papanya. Papa kandungnya.

Sudah punya dua anak kandung, tentu saja menjadi anak kesayangan papa, batinnya miris.

Saat masuk ke dalam ruangan, terlihat Bayu yang sedang menatap keluar jendela. Memandang pemandangan luar yang tampak kecil karena posisi ruangan Bayu adalah di lantai teratas.

"Pa," panggilnya pelan.

Sedetik kemudian Bayu langsung menoleh. Menatap putri angkatnya tidak percaya, terlebih dengan panggilan 'papa' yang sudah lama ia rindukan. Bahkan mendengar via telpon saja beda rasanya saat Rumaisha memanggil 'papa' secara langsung.

"Rumaisha?" Bayu bersusaha menetralkan suaranya yang mungkin terdengar begitu bahagia saat menyebut nama anaknya. "Papa kira kamu nggak akan datang ke sini."

"Rumaisha sudah bilang tadi akan datang." Gadis itu duduk di sofa. "Jadi ada apa papa manggil Rumaisha ke sini?"

"Ummm ada yang papa ingin bicarakan padamu, Mai. Tapi kita tunggu nenek kamu dulu, ya? Apa kamu tidak keberatan?"

Rumaisha mendengus.

Tuhan, ia malas bertatap muka dan berurusan dengan Mary Sukma Hartono!

***

"Kata Kinan kamu kemarin malam habis ngobrol dengan orang asing. Benar itu?"

Aisyah menggeram pelan. Ia bahkan baru sampai di pondok namun abangnya sudah menginterogasi seperti ini.

"Abang bicara sama kamu, Ai. Siapa orangnya?"

"Ai cuman ngobrol sama teman Ai waktu itu. Si Mai, abang. Udah puas kan ngeinterogasinya?" tanya Aisyah sebal.

"Mai?"

"Rumaisha."

"Kamu tanya nggak nama panjangnya siapa?" Azzam mendadak kepo. Laki-laki itu langsung mengambil bantal kecil, memeluknya, dan menyuruh sang adik duduk. "Kamu denger nggak sih abang tanya apa?"

"Nama panjangnya? Rumaishaaaaaaaaa."

"Ai, abang serius."

"Ya mana Ai tahu, abang. Ngapain juga nanya-nanya kayak gitu. Yang penting udah jelas namanya 'Rumaisha'. Kenapa emangnya? Abang nggak berniat untuk batalin pernikahan dengan Mba Kinan lalu ta'aruf dengan Rumaisha, kan?"

"Ngaco kamu! Ya enggaklah!"

"Kali aja. Habis abang ini semenjak Ai kenalan dengan Rumai mendadak abang kepo mulu."

"Udah ah, ganti topik. Kamu gimana dengan CV ta'aruf temannya abang? Sudah kamu baca-baca, kan?"

Aisyah mendadak gelisah. Ia menatap abangnya takut-takut dan menggeleng. "Belum, bang."

"Kenapa? Abang kan sudah bilang sama kamu, teman abang yang satu ini hafidz al-qur'an, sudah dapat sanad malah. Ganteng? Itu realistis. Tapi menurut abang dia good looking. Di pesantren dulu dia cukup terkenal dengan wajah dan hafalannya, walaupun nggak seterkenal teman abang yang satu lagi."

"Ai masih belum kepikiran untuk menikah, abang."

"Belum kepikiran menikah atau kamu masih menunggu kakak kelasmu itu?" tanya Azzam tajam. "Berapa kali abang harus bilang sama kamu, Aisyah? Menuggu seseorang yang belum memberi kepastian untuk menghalalkanmu hanya akan berdampak pada kekecewaan. Buka hatimu, masih banyak laki-laki baik yang patut kamu pertimbangkan untuk menghabiskan waktunya bersamamu di masa depan."

***

Ratu yang masih menonton drama Korea merasakan seseorang membuka kunci kosnya. Sudah ia tebak pasti itu Rumaisha.

Segera saja gadis itu memberikan cengiran lebar khasnya saat sahabatnya masuk ke dalam. Berbanding terbalik dengan wajah bahagianya, Rumaisha justru datang dengan wajah sembap dan langsung menarik Ratu. Menyandarkan kepala pada bahu seseorang yang baru saja diputus cinta.

"Rumaaai? Aya naon? Kok lo murung gini, sih?"

"Raaa ... apa Tuhan sebenarnya emang nggak nakdirin gue untuk memiliki takdir bahagia seutuhnya?"

"Astaga! Mai, lo ngomong apa, sih?"

Ratu tampak kaget dengan pertanyaan sahabatnya. Sefrustasinya Rumaisha, setidaknya gadis itu tidak pernah ia dengar menyalahkan takdir Tuhan. Ia hanya mengeluh sejenak lalu bangkit kembali dari keterpurukan.

"Gue dibuang sejak kecil. Masuk panti. Dijauhi anak-anak panti, bahkan oleh pengganti ibu panti itu sendiri. Hanya Bang Wildan yang peduli sama gue, Ra. Hiks," jelas Rumaisha dengan nada frustasi. "Bang Wildan yang peduli dengan kebahagiaan gue pergi. Dan gue meraih semua kebahagiaan itu dengan usaha mati-matian. Mana kebahagiaan yang Tuhan takdirkan untuk hambaNya, Ra?" lirihnya.

"MAI?!"

"LO NGGAK TAU RASANYA, RA! GILANG CUMAN MEMPERALAT GUE!"

Mulut Ratu terbuka, menganga tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Mak—maksud lo apa, Mai? Apa sudah ada bukti kalau—"

"Lo pikir kenapa si Bayu manggil gue ke kantor, ha? Itu atas permintaan nenek tua nggak berperasaan yang secara blak-blakan ingin jodohin gue supaya Hartono mendapat saham lebih dari Triwijaya sebagai syarat dari mereka."

"Hubungannya sama pacar lo itu apa, Mai?"

Rumaisha mendesah frustasi. Air matanya semakin mengucur deras namun ia menggigit pelan bibirnya supaya tidak terisak. "Gilang adalah anak dari pemimpin dari Triwijaya, Ra. Dan pertemuan gue dengan Gilang, hiks, ternyata itu sudah direncanakan oleh Mary Hartono!"

Ratu terdiam. Tidak sanggup berkata apa-apa karena masalah hidup yang dialami Rumaisha begitu rumit.

"Apa nggak ada kebahagiaan yang tulus yang memang Tuhan takdirkan untuk gue, Ra?"

***

  الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن  

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top