2 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

Mengikuti kata hatinya—dan juga saran Ratu—untuk mencoba menjalin hubungan dengan Gilang, gadis itu kini sudah duduk di tempat favorit mereka di taman kota. Sembari menunggu Gilang yang sedang perjalanan pulang dari sekolah tempatnya mengajar, ia menyeruput jus mangga sambil memperhatikan sekelilingnya.

Rumaisha tertegun melihat dua orang wanita dengan pakaian berwarna hitam di sana tampak menyita perhatian. Baru kali ini ia melihat orang berpakain gelap dan setertutup itu di taman kota selama ia mampir ke sini.

Dua wanita itu tampak menghampiri orang-orang entah untuk apa, ia juga tidak tahu. Namun ketika mereka menghampiri, justru beberapa di antara mereka menghindar bahkan ada yang lari pergi.

"Wajar aja mereka menjauh. Pakaiannya gelap gitu, mana wajahnya ditutupin pakai kain yang nyisain mata doang lagi. Pikiran mereka kan pasti itu udah negative thinking duluan," komentarnya.

"Hei, lihat apa sih?"

Seseorang mengusap pelan bahunya dan bertanya dengan suaranya yang berat. Tanpa Rumaisha perlu menoleh, ia juga sudah tau itu adalah suara Gilang.

"Cuman lihat sekeliling aja," jawab Rumaisha lalu tersenyum melihat wajah lelah Gilang sehabis mengajar dengan baju coklatnya. "Capek banget ya?"

"Setelah lihat wajah kamu, rasa capeknya langsung hilang, Mai."

Rumaisha yang mendengarnya hanya terkekeh geli.

Begini ya rasanya digombalin, batinnya berbisik.

"Kenapa ketawa? Saya serius, Rumai."

"Iya, iya. Ummm jadi kamu mau ajak aku ke mana, Mas?"

Gilang mengelus pipi Rumaisha lembut, "saya mau ajak kamu ke KUA aja sekarang. Mau, ya?"

Wajah Rumaisha merah padam mendengarnya. "Apa-apaan sih, Mas. Kita belum kenal lama, ih. Masa' udah mau dibawa ke KUA aja."

Gilang tertawa. "Iya, saya bercanda. Saya mau ajak kamu makan mie ayam di tempat favorit saya. Mau?"

Tanpa perlu berpikir lama, Rumaisha menganggukkan kepalanya cepat.

***

"Terima kasih atas traktirannya ya, Mas," ucap Rumaisha begitu mereka selesai makan dan saling berpamitan.

Gilang hanya menjawab dengan senyuman. "Tidak perlu berterima kasih, Mai. Ke depannya kan memang saya yang akan menafkahi kamu."

Rumaisha sedikit tersipu mendengarnya. Namun ia teringat kembali bahwa ia tidak boleh terlalu jatuh pada pesona Gilang. Ia tidak ingin merasakan sakit hati seperti yang dialami oleh orang tua angkatnya, sebelum ia betul-betul mengenal Gilang lebih jauh.

"Jangan mendahulukan takdir, Mas. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kan?"

Rumaisha hanya ingin berpikir realistis saja. Toh apa yang ia ucapkan memang benar.

"Saya akan pastikan bahwa kamulah orang yang akan saya nafkahi nanti, Mai. Saya optimis terhadap hubungan kita ini. Tolong kamu buka hati kamu untuk saya. Bisa?"

Gadis itu mengangguk, "akan aku coba, Mas."

Sepeninggal Gilang, Rumaisha melangkahkan kakinya untuk berjalan-jalan sebentar sebelum pulang. Ia menolak diantar oleh Gilang dengan motornya dengan alasan masih ingin menikmati sejuknya angin di sore hari melewati perkampungan.

Matanya memicing begitu mendengar teriakan dan bergegas menuju kerumunan yang ia duga sebagai sumber suara.

Itu kan wanita berpakaian gelap di taman tadi!

Dilihatnya dua wanita tersebut tampak dipaksa oleh beberapa orang untuk diperiksa yang tentunya dijawab oleh berontakan.

"Saya perlu pastikan kamu itu bukan teroris di sini," kata seorang pria dengan pakaian yang lebih terlihat seperti pakaian preman jalanan.

"Demi Allah, saya bukan teroris. Saya hanya—"

"Buka kain yang nutup wajah kamu itu! Kalau bukan teroris jangan-jangan kamu ingin merampok, ya?" tuduhnya. "Jangan diam saja! Cepat ambil tasnya!" suruhnya pada beberapa orang yang ada di sekitar mereka, sementara pria itu mencoba menarik kerudung bahkan melepas kain penutup wajahnya.

"Apa-apaan ini?!" Rumaisha mendesak masuk ke kerumunan dan menatap pria tadi dengan tatapan menantang. "Kenapa melakukan tindak kekerasan sama perempuan?" ia menyingkirkan secara paksa tangan pria itu dan melindungi dua wanita tadi yang berdiri di belakangnya.

"Kita hanya ingin memastikan, Neng. Akhir-akhir ini banyak sekali kan teroris berkedok agama. Pakai baju panjang dan gelap, wajahnya ditutupin, yang pria berjenggot nggak taunya dia bawa bom. Kita cuman pengen daerah ini aman."

"Kemarin ada yang pakai pakaian seperti ini juga, nggak taunya dia emang bukan teroris. Tapi dia maling, Neng! Kali ini kita nggak akan biarin hal itu terjadi lagi," sahut pria yang lain diikuti oleh suara orang-orang menyahut 'setuju'.

"Saya bisa pastikan mereka tidak membawa bom apalagi berniat ingin merampok."

Rumaisha mengambil tas dua wanita itu yang tadinya diamankan oleh pria-pria di hadapannya. Ia menunjukkan satu per satu barang bawaan mereka yang murni tidak ada senjata tajam di dalamnya.

Sekelompok pria kampong tadi akhirnya memberi jalan kepada Rumaisha dan dua wanita tadi untuk lewat dengan bebas, walaupun mereka tidak mengucapkan minta maaf atas tuduhan dan tindakannya.

"Terima kasih, ya, Mba."

Rumaisha tersenyum, "sama-sama. Kalian nggak papa, kan?"

"Alhamdulillah kami nggak apa-apa. Allah mengirimkan bantuan begitu cepat dengan hadirnya Mba yang menolong kami."

"Jangan panggil saya 'Mba'. Nama saya Rumaisha, kalian bisa panggil saya 'Mai'."

"Ah, iya, Mai. Saya Aisyah atau Ais dan teman saya yang satu ini namanya Habibah," ujar wanita salah satu wanita bercadar tadi.

Sekalipun mereka memberi tahu nama masing-masing, tentu saja Rumaisha sangsi akan hafal karena kalau dilihat-lihat keduanya begitu mirip. Apalagi pakaian mereka yang begitu tertutup. Bagaimana caranya ia bisa membedakan yang mana Aisyah dan Habibah?

"Mungkin diawal Mai masih bingung karena kelihatannya sulit membedakan orang-orang yang berpakaian seperti kami ini. Tapi Mai bisa lihat dari mata, suara, atau mungkin tahi lalat seperti kami ini. Habibah punya tahi lalat kecil di dekat alisnya."

Mata Rumaisha langsung menatap lekat Habibah. Dan benar saja, ada tahi lalat yang sedikit tersamarkan oleh alis yang bisa membedakan antara Aisyah dan temannya.

"Saya bisa lihat itu," kata Mai begitu menemukannya. "Omong-omong kalian ada apa ke sini? Tadi saya juga lihat kalian di taman kota dan menghampiri beberapa orang di sana."

"Sebenarnya kami tadi sempat tersesat di taman kota itu hingga ke perkampungan tadi. Ada acara yang mengharuskan kami ke sini sedangkan ini daerah yang baru kami kunjungi. Makanya tadi sempat tanya orang-orang, tapi dari mereka tidak ada yang membantu," jawab Habibah dengan suara lirih.

Aisyah mengusap pelan telapak tangan temannya yang sepertinya sedikit merasa trauma. "HP kami juga mati sehingga nggak bisa kabarin. Uhm ... Mai ingin pulang atau bagaimana? Kami ingin mampir dulu di masjid untuk shalat sekalian numpang nge-charge untuk hubungi orang di pondok. Tapi kalau kamu lagi shalat, lebih baik shalat dulu Mai sebelum pulang."

Rumaisha terdiam sejenak. "Sa—saya ikut kalian aja deh," jawabnya sedikit ragu.

Ini kali pertamanya ia menginjakkan kaki di masjid. Perasaannya berdebar untuk kali pertama, tubuhnya bahkan meremang begitu mendengar suara adzan dikumandangkan. Rasanya begitu berbeda dari yang ia sering dengar di luar masjid.

Sementara Aisyah dan Habibah sudah beranjak untuk ke tempat wudhu, Rumaisha hanya bisa duduk di pojokkan dengan lutut tertekuk dan ia menyembunyikan wajahnya di sana. Dan entah untuk alasan apa, air matanya keluar begitu saja.

"Loh, Mai? Kamu kenapa?"Aisyah bertanya dengan nada panik begitu selesai wudhu menemukan teman barunya sesenggukan.

"Aisyah."

"Iya, ini aku, Mai."

"Aku nggak pantas ada di sini, Ais. Aku—aku ini seorang pendosa. Tuhan nggak akan nerima aku di rumahnya yang suci. A—aku tunggu di luar aja, ya, Ai."

Sebelum mendengar pendapat Aisyah, gadis itu sudah lebih dulu berlari keluar dari masjid. Ia duduk di pinggir dekat tangga batas suci supaya tidak menghalangi orang untuk masuk. Wajahnya masih disembunyikan di balik lututnya yang tertekuk. Entah ia menyembunyikan wajah untuk berapa lama, yang jelas kini ia merasa beberapa orang sudah keluar dari masjid. Sepertinya shalat sudah selesai dilakukan sementara Rumaisha masih terdiam dengan pikirannya yang berkecamuk.

Perasaan apa ini, Tuhan? Kenapa rasanya begitu mendebarkan dan—

"Rumaisha," panggil Aisyah menghentikan lamunannya. "Yuk kita pulang. Alhamdulillah ternyata ada yang bisa jemput kami di sini."

Jemari Aisyah terus menyisiri rambut Rumaisha, sesekali ia mengusap punggungnya pelan hingga akhirnya Rumaisha mengangkat wajahnya.

"Ah, iya. Ayo kita pulang. Mana yang jemput kalian berdua, Ai?" tanya Rumaisha sambil berusaha menghapus sisa-sisa air matanya.

Beruntung Aisyah dan Habibah tidak ingin mencari lebih lanjut alasannya kenapa menangis karena ia sendiri juga tidak tahu harus menjawab apa.

"Lagi ambil mobil di parkiran masjid. Kita tunggu di depan aja, yuk, Mai. Nanti sekalian aku minta tolong mas Azzam untuk antar kamu dulu."

Rumaisha menggeleng, "nggak usah, Ai. Aku bisa pulang sendiri. Aku pamit duluan, ya. Hati-hati di jalan, ya, Ai dan Habibah. Salam untuk mas Azzam," pamitnya.

Aisyah dan Habibah menganggukkan kepala dan tersenyum dari balik cadar mereka. Tangannya melambai ke arah Rumai sampai akhirnya sebuah mobil putih berhenti di hadapan mereka.

"Siapa itu, dek?" tanya Azzam. Diam-diam ia ikut memperhatikan gadis itu dari belakang karena melihat adik dan temannya sempat mengobrol akrab dengannya.

"Itu teman barunya Ai sama Habibah. Dia yang tadi nolongin kita," jelasnya sebelum masuk ke dalam mobil. "Namanya Rumaisha. Bagus, ya, Mas? Ai berharap Rumaisha bisa menutup auratnya. Pasti kelihatannya cantik, secantik hatinya. Tapi Ai lihat Rumaisha kelihatan hampa gitu, Mas. Ai juga nggak tahu kok pas masuk masjid tiba-tiba Mai nangis tanpa sebab," cerocosnya tanpa henti yang langsung dibungkam Azzam dengan menghidupkan murottal. Kalau murottal sudah dihidupkan, pasti mulut adiknya yang aslinya cerewet itu akan berhenti seketika.

"Sekarang lebih baik kamu dengerin murottal ini sambil muroja'ah atau kamu bisa duduk diam dan tenang seperti si Habibah," ujar Azzam. Ia terkekeh melihat adiknya yang merasa tersindir. Namun itu lebih baik daripada harus mendengar ocehan Aisyah yang susah direm.

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top