15 | Rumaisha
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
***
Mary harus terbaring di rumah sakit usai mendapatkan kabar Triwijaya membatalkan kesepakatan mereka, terlebih Gilang yang tidak lagi ingin melanjutkan perjodohan ini.
Dirinya yang sudah tua dan rapuh harus terkena serangan jantung, serta tidak ada satupun yang menjenguknya hingga saat ini.
"Saya ingin Bayu secepatnya ke sini. Cepat hubungi dia, Arul," perintah Mary meski kali ini dengan nada lemah.
"Mohon maaf, nyonya. Tuan Bayu sedang berada di pernikahan Ru—Rumaisha."
"Anak itu sudah menikah?"
Sahrul mengangguk perlahan.
Tangan Mary mengelus sisi ranjang dan menangis, meratapi kesepiannya di hari tua. Tidak ada lagi yang ia dapat banggakan dari hartanya. Nyatanya, harta tersebut tidak dapat membuatnya bahagia dan merasa tercukupi. Yang ia inginkan saat ini hanyalah kehadiran anak cucunya.
"Sa—saya akan menelpon Kaella, nyonya. Saya yakin dia akan datang membawa anak-anaknya."
Mary tidak menjawab dan membiarkan Sahrul melakukan apa yang ingin dilakukannya.
Selalu ada balasan dari apa yang ia perbuat dahulu. Dan inilah balasan yang ia terima saat ini. Kehampaan.
***
Sebelum melakukan pernikahan, Rumaisha melakukan tes DNA lebih dulu, apakah ia memiliki hubungan darah dengan Azzam atau tidak.
Hal tersebut dianjurkan oleh pihak Azzam dan disetujui oleh pihak Rumaisha karena identitas Rumaisha yang belum diketahui dari mana ia berasal saat itu.
Begitu mendapatkan hasil, mereka pun segera menghubungi wali hakim sebagai seseorang yang akan menikahkannya dengan Rumaisha, karena tidak adanya kerabat yang diketahui. Sementara Bayu dan Laura, mereka tetap mendampingi putrinya bersama dengan orang tua Azzam.
"Qabiltu nikaahahaa wa tazwijaahahaa, Rumaisha binti 'abdullah, bil mahril madzkuur haalan."
Dalam satu tarikan nafas, Azzam berhasil mengucap kabul dan secara resmi menjadi suami Rumaisha ketika dinyatakan oleh sah oleh saksi.
'Abdullah bukanlah nama dari orang tua kandung Mai. Nama tersebut disematkan di belakang binti karena ia merupakan anak dari seseorang yang merupaka hamba Allah ('Abdullah).
Tidak lama setelah do'a selesai dipanjatkan, Rumaisha datang dengan dijemput langsung oleh Azzam di kamarnya.
Wajah keduanya tampak berseri meski terpancar jelas Rumaisha yang merona malu ketika Laura dan Ratna mundur selangkah dan membiarkan tangan Azzam yang menggenggamnya.
Bisikan Azzam membuat rona merah tersebut semakin jelas ketika ia mengucap, "assalamu'alaikum, yaa habibatii."
Walaupun belum mengetahui arti tersebut, entah kenapa Rumaisha tetap malu dan membalasnya dengan terbata, "wa—'alaikumsalam, abang."
***
Shalat sunnah pengantin sudah mereka lakukan dan Azzam pun telah mengucap do'a sembari menyentuh ubun-ubunnya sebelum memberikun kecupan pada kening Mai.
"Sekarang mau ngapain?"
"Belajar iqro'!" jawab Rumaisha begitu semangat.
Azzam tertawa dan mengeluarkan 'alat perang' mereka kali ini, yaitu papan tulis, spidol, serta buku iqro'.
"Serius mau belajar? Ini udah malam banget, kamu nggak capek?"
"Capek, sih. Tapi iqro' empatnya tinggal sehalaman lagi, abang. Tanggung."
"Besok pagi, ya?"
"Tapi abang udah keluarin tuh alat buat belajarnya."
Tangan Azzam tidak tahan untuk menjawil gemas hidung Rumaisha. "Ya tinggal abang simpan lagi, habibatii," jawabnya gemas.
Rumaisha menundukkan wajahnya malu ketika jarak mereka menjadi lebih dekat ketika Azzam menjawil hidungnya. "Artinya apa? Dari tadi Mai lupa tanya."
"Sini, abang bisikin."
Bibir Azzam mendekat pada telinga Rumaisha yang masih terbalut mukena, "artinya itu 'cintaku', Sayang."
***
Sesuai janji Azzam, pagi ini usai mereka shalat subuh, Azzam mengajarkannya menyelesaikan halaman terakhir dari 'iqro empat yang sudah Mai pelajari.
"Ajarinnya jangan lihatin Mai terus dong, bang."
Azzam tertawa.
"Wajah kamu kalau lagi serius ataupun malu-malu kayak gini itu lucu, Sayang. Aku pernah bayangin kejadian ini sehari sebelum kita nikah. Eh, malah dapat timpukan bantal dari Ai. Dia bilang suruh halalin kamu dulu baru boleh mikirin."
Giliran Rumaisha yang tertawa mendengar penuturan Azzam kali ini. "Oh iya, abang. Ajarin Ratu dan mama sekalian, ya? Mau? Pahalanya abang banyak deh kalau mau bantu mereka juga untuk berhijrah. Liat aja, kemarin Ratu untuk pertama kalinya mau kan pakai gamis dan hijab di nikahan kita? Mama juga."
"Ekhem," Azzam berdehem pelan. "Ngajarin kamu itu eksklusif, Sayang."
"Gombal."
Pria itu terkekeh. "Tapi insyaaAllah abang akan bantu ajarin mama Ara dan sahabatmu untuk belajar. Sementara kalau abang tidak sempat ajarkan mereka, abang akan minta tolong Aisyah yang menggantikan, ya."
"Hu-um."
"Setelah sarapan, abang ingin bawa kamu ke suatu tempat nanti. Mau, nggak?"
"Selama dengan abang dan bukan ke tempat maksiat, Mai mau, bang."
Kecupan pada kening mendarat dan Azzam tidak tahan untuk tidak mengacak rambut Rumaisha yang masih basah, "pinter, istri abang," ujarnya tanpa merasa bersalah.
"Abaaang, rambutnya jangan diacak-acaaak."
***
Mobil Azzam terparkir pada basement salah satu rumah sakit dan membawanya menuju ruang VIP.
Rumaisha baru saja hendak bertanya ingin menjenguk siapa mereka sekarang, namun sepertinya Azzam sudah bisa membaca pikirannya sehingga ia langsung menjawab, "nenek kamu, Sayang."
"Nenek Mary?"
Mai melepas tangan mereka yang semula tergenggam erat. "Rumai nggak mau, bang." Ia hendak pergi, namun Azzam lebih dulu memegang lengannya. "Rumai nggak mau ketemu Mary. Dia—dia salah satu orang yang udah bikin hidup Mai seperti permainan. Abang nggak ngerti rasanya ketika aku dijadikan budak pemuas nafsu hartanya yang tidak pernah berhenti."
"Rumai, abang tahu, Sayang. Abang sudah mendengar semuanya baik dari sisi papa Bayu, mama Ara, Ratu, bahkan dari Gilang. Kita sempat bertemu sebelum pernikahan. Kamu tahu apa yang papa bicarakan ketika kita masing-masing bersimpuh pada kedua orang tua kemarin?"
Wanita itu menggeleng.
"Papa bilang, nenek kamu masuk rumah sakit. Makanya begitu beliau tidak dapat mengikuti resepsi sampai selesai. Beliau berpesan supaya abang dapat meyakinkan kamu untuk membuka pintu maaf bagi nenek kamu."
"Sulit, abang."
"Rumaisha," kedua tangan Azzam menangkup pipi Mai. "Lihat abang," pintanya lembut.
Rumaisha menurut.
"Kamu belum mencobanya. Belajarlah, sebagaimana kamu akhirnya bisa memaafkan kesalahan papa dan menerima keputusan kedua orang tuamu untuk bercerai di masa lalu. Memang sulit, Sayang. Tapi hati kamu tidak akan pernah tenang apabila kamu melanjutkan egomu dan tidak mencoba untuk memaafkan kesalahan yang telah beliau perbuat.
"Abang, memang tidak merasakan apa yang kamu rasakan saat itu. Yang abang ketahui adalah rasa sakit dan kecewamu yang begitu dalam sehingga kamu harus kabur dari rumah dan pergi ke kelab malam sebelum atas izin Allah, kamu berhasil abang dan Ai selamatkan."
Bibir Mai terkunci rapat, tidak dapat membalas perkataan lembut Azzam yang menasihatinya.
"Jadi? Bagaimana, Sayang? Mau mencoba untuk memaafkan beliau atau tunda dulu hingga kamu siap? Sedang kamu pun tidak tahu, bukan, kapan hal itu akan tiba. Apakah saat itu kalian masih sama-sama Allah izinkan untuk bernapas, ataukah—"
"Mai ... mau belajar, abang," putusnya ketika Azzam belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Alhamdulillah. Bismillah, kita masuk sekarang, ya, Sayang."
Pintu ruang rawat Mary terbuka diiringi salam yang diucap Azzam.
Hati Mai berdegup kencang. Bagaimana pun masa lalu Mary terhadapnya, seperti kata Azzam, ia harus mencoba untuk belajar memaafkan.
Allah ... betapa hamba begitu memanjat rasa syukur yang tak terhingga, Engkau gariskan takdirku untuk menjadi penyempurna separuh agamanya.
***
[SELESAI / Sabtu, 29 Desember 2018]
الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top