14 I Rumaisha
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
***
Mary murka ketika mendapati kabar bahwa Rumaisha sudah berada di kediaman Laura. Berkali-kali ia menyumpah-serapahi para karyawan serta detektif sewaannya dan kata 'tidak becus'lah yang paling sering terucap.
Terbatuk-batuk, asisten pribadinya segera memberikan segelas air hangat dan meminta Mary supaya duduk dengan tenang.
"Kalian semua nggak bisa saya andalkan! Sesuai kesepakatan, apabila kalian gagal, saya tidak akan memberikan kelimpahan bonus kepada kalian semua!"
Koper berisi tumpukan uang diserahkan langsung oleh asisten pribadi dan Mary langsung mengusir mereka secara kasar.
"PERCUMA!"
Kalau sudah seperti ini ia yakin Bayu akan berbalik jadi menentang segala keputusannya mengenai nasib sang anak angkat.
"Arul, hubungkan nomorku dengan nomor Gilang."
"Baik, nyonya."
***
Dari dalam mobil, Gilang terdiam menyaksikan dua orang yang berada tidak jauh darinya. Jelas-jelas kata 'KALAH' sudah resmi ia dapatkan.
Bukan.
Bukan karena ia tidak mau untuk berjuang lebih keras untuk mendapatkan Rumaisha. Tetapi ketika ada orang yang bahkan lebih baik darinya, siapa yang tidak mau?
Koko putih, celana bahan, serta peci hitam yang ia lihat dari sosok laki-laki yang bersama Rumai saat ini, sudah jelas laki-laki itu berasal dari kalangan yang baik. Bukan hanya dari penampilan saja, tapi dari wajah pun terlihat. Laki-laki itu memiliki wajah bersih yang meneduhkan, seperti sering dibasuh air wudhu.
"Tuan muda."
Gilang menoleh pada sopirnya, Teguh. Keluarganya yang mengabdi begitu lama dengan keluarga Triwijaya memang membuatnya menganggap Teguh sudah seperti ayah sendiri.
"Keputusan apapun yang tuan muda buat, saya menghargainya. Tetapi alangkah baiknya, tuan memberikan 'kesempatan' untuk diri tuan muda sendiri mengakhiri segalanya dengan cara yang baik."
"Saya salah karena tidak mengikuti saran bapak tempo lalu untuk menentang kemauan papa dan nenek Mary," sesalnya. "Dan saya nggak mau mengulanginya lagi."
Teguh tersenyum. "Perempuan baik di luar sana masih banyak. Saya yakin, tuan akan menemukannya segera. Dan apabila tuan muda sudah menemukannya, dekatilah ia dengan cara yang baik. Tuan Handi pasti akan menghormati segala keputusan tuan muda dan terbebas dari kekangan Nyonya Mary."
Kepala Gilang menunduk dan tersenyum tipis, "saya hanya bisa berharap, goresan luka di hati saya ini dapat disembuhkan lebih dulu. Barulah setelah saya siap, saya pasti akan mencarinya."
"Jangan terlalu lama, tuan muda."
"Kenapa, pak?"
"Umurmu semakin lama akan bertambah. Bagaimana jika goresan luka tersebut ternyata sulit untuk disembuhkan? Harus menunggu berapa tahun lagi tuan siap menikah jika seperti itu? Belajar mengikhlaskan memang sulit, tetapi seiring berjalannya waktu saya yakin tuan bisa. Terlebih jika dibantu oleh pasangan tuan muda kelak."
Suasana hening beberapa saat karena Gilang sibuk meresapi perkataan Teguh, mengikhlaskan suratan takdir yang tertulis bahwa Rumaisha bukanlah untuknya.
Drrrt ... drrrt ... drrrt ....
Getaran handphone memecah keheningan dan dengan segera diambil oleh Teguh. "Ada panggilan, tuan muda."
"Dari siapa, pak?"
"Nyonya Mary, tuan."
Gilang menghela nafas kasar.
"Angkat saja, pak. Tolong di loudspeaker."
***
Tidak dapat digambarkan bagaimana perasaan Laura ketika menemukan putri kesayangannya kini tampak nyata duduk di sisinya. Air mata bahkan mengalir deras melihat perubahan yang sangat signifikan pada Rumaisha. Terlebih ketika ia mendapatkan kabar bahwa putrinya itu akan dipersunting oleh laki-laki baik, putra pemilik sebuah pondok pesantren, serta seseorang yang pernah ia lihat sekilas tatkala mengadopsi Rumai dari panti asuhan.
"Rumaishaaa, maafin mama, nak."
"Sssh. Mama sudah berapa kali mengucapkan kalimat itu? Seharusnya Rumai yang minta maaf, Ma. Rumai kabur dari rumah dan membuat mama khawatir. Lihat, sekarang mama jadi kurus seperti ini, padahal dia sudah rawat mama."
"Dia siapa, sayang?" pancing Laura yang mengetahui bahwa sang anak masih enggan untuk mengucap kata 'papa'.
"Bayu Hartono, mantan suami mama."
Laura tersenyum. "Sayang, rasanya memang sakit. Sakiiit sekali, melihat papamu hanya pasrah mengikuti keinginan nenek untuk menceraikan mama. Ketidaksempurnaan mama bertentangan dengan keinginan keluarga papa yang menginginkan cucu banyak, karena papa adalah penerus perusahaan keluarga. Dan seorang penerus pun kelak harus mempunyai penerus pula, yang murni berasal dari rahim seseorang yang menikah dengan keluarga Hartono, bukan hasil adopsi.
"Melihatmu kembali dengan segala perubahanmu, mama jadi belajar untuk memaafkan papamu. Biarlah saat ini ia bahagia dengan keluarganya dan mama berusaha untuk tidak lagi menjauh."
Tok tok tok
Pintu diketuk beberapa kali sebelum suara berat seseorang meminta izin untuk masuk dan segera di'iya'kan oleh Laura.
"Maaf kalau papa—" Bayu menelan ludahnya, masih merasa ragu apakah mereka masih menganggap dirinya sebagai 'papa'. "Maaf papa ... mengganggu kalian berdua."
Bayu membuka percakapan dengan menatap lamat kedua orang yang ia cintai. "Rumai, sebelum papa bicara denganmu, papa ingin berbicara dengan mama Laura, boleh?"
Kepala gadis itu mengangguk pelan dan membiarkan kedua orang dewasa tersebut menyelesaikan masalahnya. Sementara itu Rumaisha tetap berada di ruangan namun sedikit menjauh dari mereka.
"Aku ... minta maaf, Laura. Menceraikanmu adalah keputusan paling aku sesali dalam hidupku. Tapi aku juga tidak bisa untuk menyesali dan tidak mencintai anak-anakku dari Kaella. Porsi cinta mereka sama sebagaimana aku mencintai Rumaisha. Aku tahu, kesempatan kedua tidak lagi ada, namun izinkan aku memperbaiki hubungan kita, Ara. Kamu masih menempati posisi spesial di hatiku."
Ditatap begitu intens oleh sang mantan suami, membuat Laura menangis. Ia memang lemah jika berhadapan dengan Bayu, tapi ia harus kuat untuk mengikhlaskannya.
"Cinta tidak harus saling memiliki kan?" Laura memutus kontak mata di antara mereka. "Aku mengizinkan kamu memperbaiki hubungan kita ini, tapi tetaplah jaga perasaan Kaella. Kita bisa menjadi sahabat yang terus mendukung anak kita, Rumaisha, serta melihat perkembangan cucu kita bersama kelak."
"Jika itu adalah keinginanmu, aku akan melaksanakannya, Ara. Maaf, karena aku begitu pengecut. Dan Rumaisha," panggil Bayu. "Kemarilah, Mai."
Rumaisha menurut dan kembali mendekati mereka berdua.
Kedua tangan kekar Bayu memeluk anaknya erat dan menangis, "berbahagialah, nak. Kelak kamu akan dipimpin oleh seseorang yang baik agamanya, baik akhlaknya, dan baik rupanya," bisiknya. "Maafkan papa tidak bisa menjadi pemimpin yang baik di keluarga ini. Kebahagiaan yang papa berikan semuanya bersifat semu. Keputusan papa untuk mengikuti saran ibu papa dengan menceraikan mama dan menjodohkanmu dengan Gilang hanya untuk bisnis semata adalah keputusan paling fatal. Maafin papa, ya, nak?"
Air mata ia biarkan turun. Dalam pelukannya, Rumaisha mengangguk dan menjawab serak, "maafin Rumai juga, pa—pa."
***
Saat ini, kediaman keluarga Azzam begitu ramai. Santri yang bertugas untuk marawis pada pernikahan laki-laki itu sibuk latihan. Sementara umi Ratna dibantu oleh para santriwati menyiapkan hidangan untuk pengajian malam ini.
"Abang deg-degan, ya?" tanya Ai di kamarnya.
Azzam tersenyum tipis, "kamu juga akan merasakannya nanti, Ai."
"Bagaimana tadi dengan mba Kinan? Udah plong, kan?"
Batalnya pernikahan Azzam dan Kinan beberapa waktu lalu memang sempat membuat keluarga pihak perempuan kecewa. Namun setelah mendengar penuturan Azzam, mereka berusaha mengikhlaskan. Hanya saja, ketika Azzam menjelaskan semuanya, saat itu Kinan tidak terlihat sama sekali.
Tentu saja Azzam merasa bersalah, namun kedua orang tua Kinan menenangkannya. Mereka akan menghubungi Azzam ketika Kinan sudah merasa siap untuk mendengar penjelasannya. Dan tadi pagi, didampingi oleh Aisyah, mereka berdua akhirnya memutuskan untuk berbicara.
Kinan tampaknya juga sudah mengikhlasksan Azzam dan berusaha tegar ketika ia mendo'akan segala hal yang baik untuk rumah tangga Azzam dan Rumaisha.
Menjawab pertanyaan adiknya, Azzam mengangguk. "Alhamdulillah, udah. Kamu sendiri, kapan memberi jawaban untuk sahabat abang itu Ai? Besok ia datang ke pernikahan abang."
"Aku sudah baca cv ta'arufnya."
"Lalu?"
"Ya, insyaaAllah siap untuk berta'aruf dulu. Tapi, abang nggak usah pikirkan itu sekarang. Abang fokus dengan nikahan besok dengan Mai, ya."
"Alhamdulillah."
"Sekarang perasaan abang gimana?"
Tangan Azzam mengelus puncak kepala Aisyah beberapa kali. "Bahagia. Rasanya abang nggak sabar untuk mengambil tugas ustadzah Iyah."
"Tugas ustadzah Iyah?"
"Iya, bimbing proses hijrahnya, Mai."
Aisyah tertawa. "Maharnya boleh al-qur'an, tapi iqro'nya Mai tolong selesaikan dulu ya, bang. Nanti ujiannya tetap harus sama ustadzah Iyah."
"Enak saja," Azzam menjawil hidung Aisyah. "pokoknya kalau abang lagi nggak sibuk, tetap abang yang akan jadi pengujinya."
"Nanti Mai pasti malulah, bang, kalau harus ujian sama suaminya sendiri."
"Justru abang menantikan momen itu, Ai. Apa dia bisa fokus atau justru malah timbul kemerahan di sekitar pipinya?"
Timpukan bantal mendarat tepat di wajah Azzam ketika laki-laki itu tiba-tiba saja tersenyum sendiri.
"Halalin dulu Mainya besok, bang. Baru boleh mikirin!"
"Astaghfirullahal'adzim."
***
الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top