12 | Rumaisha

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

***

"Abang yakin dengan keputusan abang?"

Aisyah berlari mengejar langkah Azzam yang begitu cepat. Susah baginya untuk mensejajarkan langkah sehingga ia bertanya dengan suara yang sedikit keras.

"Apa yang abang ambil sudah abang diskusikan dulu dengan Allah sebelumnya, Ai," jawab abangnya dan segera membelok ke arah gerbang pesantren putra membuat langkah Ai terhenti dan tidak lagi mengejarnya. "Dan inilah jawaban yang Allah berikan."

"Pernikahan bukan main-main, bang! Lalu apa yang terjadi dengan mba Kinan? Sekalipun Mai adalah sahabatku, Ai tetap nggak habis pikir dengan abang yang batalin pernikahan kalian tiba-tiba di waktu yang sudah dekat ini dan melamar orang lain!"

Langkah Azzam terhenti. Ia menghembuskan nafasnya perlahan sebelum berbalik badan menghadap adiknya. "Ai, tolong hargai keputusan abang dan abang akan jelaskan padamu nanti, di saat hati dan pikiranmu sudah dingin. Abang mau shalat jama'ah dulu. Assalamu'alaikum."

Aisyah hanya bisa menatap kepergian abangnya sembari menjawab salam dengan nada lirih dan kecewa, "wa'alaikumsalam."

***

"Mai, kalau yang titik di atas mangkoknya ada dua, itu namanya 'ta'. Sedangkan yang titiknya ada tiga dibaca 'tsa'. Keluarkan dan gigit sedikit ujung lidah. Coba ya. Ta. Tsa. Ta tsa."

"Ta. Tsa—aw. Sakit, ustadzah. Apa harus digigit lidahnya?"

Dzah Iyah berusaha menahan tawanya dengan senyum melihat kepolosan Rumaisha yang begitu bersemangat belajar hingga salah memahami maksudnya.

Benar-benar seperti mengajari seorang anak kecil, namun dia yakin semuanya ini pasti jalan dari Allah untuk membantu proses hijrah Mai.

Lagi pula, bukankah Allah sudah menjanjikan pahala yang berlipat bagi seseorang yang membantu saudaranya untuk berada di jalan Allah? Dan ilmu yang bermanfaat tentu akan menjadi amal jariyahnya kelak.

"Ini minum air dingin dulu ya. Nggak papa kan? Nggak sakit?"

Rumaisha menggeleng, "cuman sedikit ustadzah. Takut sariawan nanti. Masa mau nikah sariawan."

Kali ini tawa Dzah Iyah terlepas, "kamu tuh ada-ada aja, Mai. Emang kenapa kalau mau nikah sariawan?"

"Nanti nggak bisa ngomong sama bang Wildan. Mai kan mau cerita banyak sama abang," ujarnya. "Lidah Mai udah nggak papa. Ayo lanjut belajarnya lagi, Dzah, biar kalau Mai punya anak nanti, Mai bisa lancar ajarin mereka. Mereka nggak boleh rasain kayak apa yang Mai rasain. Mereka harus lebih baik dan mengenal agamanya sedari kecil."

Jemari Dzah Iyah menepuk pelan pundak gadis itu sembari tersenyum. "Aamiin. Setiap orang tua pasti ingin anaknya lebih baik dari mereka. Hijrah itu mudah. Namun istiqomah sulit karena setan tidak akan pernah berhenti mengganggu untuk menggoyahkan iman anak-cucu Adam dan Hawa. Istiqomah, ya?" ujarnya.

"InsyaaAllah pasti bisa. Iiih, kok jadi mellow gini, ya, ustadzah?"

Mereka berdua tertawa. "Ayo lanjut, dzah. Abang Wildan tungguin Mai tuh," Rumaisha menunjuk Azzam yang tertangkap basah sedang melihat keduanya.

"Assalamu'alaikum, ustadzah. Saya izin ingin pinjam Rumaisha dulu habis ini," jelas Azzam.

"Wa'alaikumsalam, baik ustadz. Sehabis Mai selesai ulang dari alif sampai tsanya, ustadz bisa bicara dengan Mai," jawab Dzah Iyah. "Lanjut, ya. Coba Mai baca lagi dari awal. A. Ba. Ta. Tsa. A ba ta tsa."

Selang 10 menit berlalu, Mai menutup buku iqro'nya dan tersenyum begitu Azzam menghampiri.

"Ikut abang, ya, Mai."

***

Pemandangan desa yang masih asri dan indah tertangkap oleh retina Rumaisha saat Azzam mengajaknya untuk ke rooftop gedung baru pesantren yang masih dalam tahap pembangunan. Sejuknya hembusan angin membuat kain yang dipakai Mai berkibar. Syukurnya, dzah Iyah tadi sudah mengajarinya untuk memakai peniti sehingga kain yang ia pakai tampak seperti hijab saat ini dan tidak membuat rambutnya terlihat.

"Abang ingin bicara apa sama aku?"

Rumaisha menatap sosok tinggi tegap Wildan-nya yang berdiri tidak jauh darinya. Laki-laki itu tampak tampan dengan peci hitam serta koko yang dipakai.

"Mai, jujur sama abang. Apa yang terjadi dengan kamu selama ini? Kenapa saat itu kamu bisa berada di sebuah kelab dan dalam keadaan tidak sadarkan diri?"

"Apa abang ... ingin membatalkan lamaran untuk Mai?" tanyanya takut-takut. "Apa Mai—"

"Rumai, tolong jangan berpikiran buruk dulu," Azzam menatap sekilas gadis itu lalu menunduk. "Pernikahan kita, sekalipun kamu adalah anak angkat, abang tetap ingin kedua orang tua angkatmu tau dan turut hadir.

"Aisyah sudah bercerita semuanya, mengenai kamu yang kabur dari rumah dan masalah keluarga yang kamu hadapi. Ketahuilah, Mai, abang seperti ini karena ingin dalam pernikahan kita nanti kamu tidak lagi memiliki beban dan luka."

Rumaisha terdiam, membiarkan Azzam berbicara saat ini dan menahan debarannya yang begitu kencang ketika laki-laki itu sudah membicarakan niat seriusnya.

"Sekalipun kamu bukanlah seseorang yang lahir dari rahim wanita keluarga Hartono, tetap saja merekalah yang merawat kamu hingga saat ini. Dan abang akan mengambil tanggung jawab mereka atas dirimu. Kamu paham maksud abang kan, Mai?"

Kepala gadis itu mengangguk.

"Abang ingin aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan baik, kan? Sebelum baktiku berpindah sama abang nanti?"

Azzam memberanikan diri untuk menatap sesaat manik mata gadis kecilnya. "Sejak dahulu, abang tahu kalau kamu ingin merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya. Maka dari itu, belajarlah untuk mengikhlaskan terlebih dahulu dan syukuri apa yang sudah terjadi dengan hidupmu selama ini, Mai. Baik atau buruknya saat itu, jadikanlah sebagai pembelajaran untuk ke depannya. Loh, Mai, kenapa kamu nangis?"

Wajahnya berubah panik ketika Rumaisha sudah terduduk dan menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan hingga terdengar suara isak tangis.

Jarak di antara mereka sedikit terkikis karena laki-laki itu kini sudah mendekati Rumaisha dan memberikan sapu tangannya.

"Rumaisha, maaf kalau abang salah bicara. Abang hanya—"

Kepala gadis itu merespon dengan gelengan beberapa kali. "Bu—bukan seperti itu. Mai hanya—" ia tidak lagi melanjutkan dan kembali menangis sesenggukan.

Dengan sabar Azzam menunggu sampai gadis itu tenang dan secara perlahan tangisnya mereda.

Kalau sudah halal pun, sebenarnya ia bisa saja untuk langsung memeluk gadis itu dan mengusap-usap puncak kepala hingga menghapus air mata. Namun keadaan ini bukanlah keadaan di mana ikatan mereka sudah sah dalam tali pernikahan.

"Rumai, apabila kamu sudah mengikhlaskan apa yang sudah terjadi denganmu, abang yakin Allah akan memberikanmu ketenangan hati dan kamu akan mudah dalam menggapai kebahagiaan yang hakiki," ujarnya begitu Rumaisha kini kembali menatapnya dengan mata yang masih berkaca.

"Abang Wildan."

"Iya, Mai? Abang masih di sini."

"Kebahagiaan Mai selama ini hanyalah kebahagiaan semu, terlebih ketika mama dan papa cerai, aku nggak lihat lagi kebahagiaan lain selain masih memiliki sahabat dan mama yang kuat. Mama yang mandul, ibu dari papa yang begitu menuntut, papa yang pasrah dan tidak memperjuangkan cintanya untuk mama, serta pengkhianatan seseorang. Itulah sebabnya Mai kabur dari rumah saat itu dan pergi ke kelab malam, karena hanya tempat itu satu-satunya yang terlintas yang tidak mungkin mereka berpikiran aku akan pergi ke sana."

Rumaisha terdiam sejenak.

"Mai baru tahu kalau ternyata abang ini adalah abang dari Ai yang sedang merencanakan pernikahan dengan gadis lain. Kenapa pada akhirnya abang memilih tidak melanjutkan pernikahan kalian dan malah melamar Mai? Mai tahu sekali perasaan gadis itu saat ini, seolah Mai merebut abang darinya. Mai nggak ingin seperti nenek Mary dan istri baru papa yang berbahagia di atas penderitaan mama Laura."

"Sebelum adanya ijab dan kabul segalanya bisa terjadi, Mai. Bahkan setelah ijab kabul pun juga bisa. Tidak ada yang tahu perihal jodoh, Mai. Ketahuilah, Allah yang memilihkan kamu untuk menjadi penyempurna agama abang dalam istikharah yang sudah berkali-kali abang lakukan."

"Abang—"

"Mengambil keputusan di saat itu memang sulit, Mai. Jangan merasa bersalah dan bantu abang untuk menghubungi keluargamu secepatnya. Karena abang ingin segera membantu kamu dalam mencapai kebahagiaan hakiki yang selama ini kamu impikan. Mencapai kebahagiaan bersama nantinya."

***

الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top