1 | Rumaisha
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
***
Sudah menjadi rutinitas Rumaisha setiap Sabtu sore hingga malam minggu, gadis itu akan pergi ke suatu tempat untuk sekadar mencari angin atau melepas penat.
Dengan pakaian kasualnya—celana jeans, kaus baby pink bergambar surfer girl, dan sepatu kets putih—ia siap untuk pergi. Namun tidak lupa untuk berpamitan dengan Laura, Mami angkatnya.
"Hati-hati, Mai."
"Iya, Mami."
"Masukin ke dalam tas bukunya kalau nggak mau buku itu jatuh," pesan Laura.
"Mami kan tau, Mai akan tenang kalau buku ini dipegang oleh Mai sendiri. Mai pastiin bukunya nggak akan jatuh."
"Terserah kamu kalau begitu."
"Hmmm. I love you," diciumnya pipi Laura sebelum menutup gerbang rumahnya.
Rumaisha tersenyum dengan tangan mengelus pelan permukaan sampul buku tersebut. Orang-orang mungkin akan menamai buku ini sebagai diary, tapi bagi dirinya buku ini adalah 'buku kebahagiaan'nya. Di dalam buku tersebut terdapat 'Rumaisha's Happiness List' yang mana setiap ia berhasil mencapai salah satu hal yang menjadi list bahagianya, ia akan curhat panjang lebar di dalam buku itu. Tentang bagaimana ia bisa berhasil mencapai dan tanggal berapa itu terjadi.
Semuanya lagi-lagi karena saran Wildan dahulu sebelum ia di diadopsi. Wildan, semangat hidupnya Rumaisha kala itu.
***
"Kamu tidak main dengan mereka, Mai?" tanya Wildan melihat gadis berusia 6 tahun malah duduk menyaksikan teman-temannya bermain masak-masakan, sedang yang lain bermain lompat tali.
Kepala Rumaisha menggeleng. "Mai mau main sama mereka, nggak dibolehin. Katanya Mai lebih baik main boneka Mai sendiri aja. Begitu terus abang, Mai jadi takut."
Wildan tidak habis pikir. Awalnya mungkin ia maklum karena ia baru masuk di panti ini beberapa bulan yang lalu.
Saat itu, Rumaisha ditemukan di jalan oleh ibu Yeni, ia, dan dua anak panti yang habis dari pasaar dengan kondisi mengenaskan. Badannya kurus kering, tubuhnya dekil dan bau, sedang terdampar dipinggir jalan seorang diri. Ia meraung menahan perih, sementara di sebelahnya terlihat nasi bekas yang sepertinya bekas ia makan. Tidak ada satupun orang yang menolong—mungkin mereka kasihan namun jijik melihatnya—sehingga kemurahan hati ibu Yeni lah yang membawanya ke rumah sakit sebelum di bawa pulang ke panti.
Namun makin ke sini, justru tidak ada yang mau menerima Mai. Padahal satu panti itu sama dengan satu keluarga yang harus saling merangkul anggota keluarganya. Kalau ibu Yeni tau bocah perempuan itu dijauhi seperti ini, ibu Yeni pasti akan menegur mereka dengan teguran keras.
Sayang, ibu Yeni sedang sakit parah sehingga ibu Yeyen yang mengambil alih panti untuk sementara. Tidak ada yang berani dengan ibu Yeyen karena wanita tua itu jarang beramah tamah pada mereka dan hanya peduli pada orang luar sana yang ingin mengadopsi anak panti.
"Ya sudah, Mai ke kamar aja. Main sama abang. Tapi sebentar ya, abang ambil robot dulu biar robot abang bisa temenan sama bonekanya Mai."
"Abang mau main sama Rumai?"
"Iya. Rumaisha kan adik abang, teman abang juga. Kalau Rumai sendirian, nggak dibolehin gabung main dengan mereka, Mai ke kamar abang aja. Nanti kita main sambil belajar."
Sejak saat itulah, Rumaisha yang tidak sekolah belajar banyak hal dari Wildan. Hingga ia harus diadopsi oleh Laura, laki-laki itu memberikan sebuah buku kecil sebagai kenangan.
"Rumai tolong jaga buku ini baik-baik. Tulis semua mimpi-mimpimu di buku ini, ya?"
"Untuk apa, abang?"
"Hmmm ..., begini. Semisal kamu bermimpi untuk sekolah yang tinggi dan dapat ranking satu terus menerus, bagaimana perasaaanmu?"
"Mai pasti akan bahagia, abang. Kan mimpi Mai terkabul."
"Nah, untuk itulah abang kasih Mai buku ini. Mai tulis seluruuuh mimpi-mimpi Mai. Karena satu mimpi akan membawa kebahagiaan. Semakin banyak mimpi yang kamu capai, kamu pasti akan merasa bahagia. Jangan pernah merasa lelah dalam mengejar kebahagiaanmu, Mai," pesan Wildan sebelum ia dibawa masuk ke dalam mobil keluarga barunya
***
Gadis itu bersyukur bisa ditolong oleh almarhumah ibu Yeni hingga akhirnya bertemu Wildan. Karena kalau tidak, mungkin saat ini masih luntang-lantung di jalan, tanpa peduli mimpi untuk mencapai kebahagiaan, dan mengais sampah demi seonggok makanan.
Abang Wildan benar, segala pencapaian Mai berhasil membuat Mai bahagia. Tapi kenapa kebahagiaan itu hanya terasa sebentar saja, ya, bang? Semua kebahagiaan itu membuat Mai merasa puas, tapi tidak cukup bertahan lama di hati Mai. Apa memang tidak ada kebahagiaan yang abadi ya, bang?
TIIIN!
"Astaga! Ma-maaf, bang," Mai membungkuk sopan dengan wajah bersalah ketika ia hampir ditabrak karena menyebrang tanpa melihat kendaraan yang melintas.
"Lain kali kalau jalan jangan sambil ngelamun, neng!"
"Iya, bang. Maaf."
***
Setelah hampir setengah jam ia berjalan, kini Rumaisha duduk sembari menikmati angin senja pada salah satu taman kota membuat perasaannya tenang dan damai. Ditemani dengan segelas kopi yang ia beli pada coffee shop, tangannya menulis beberapa rencana yang akan ia lakukan usai kuliah.
Sebagian orang yang telah menyelesaikan kuliahnya mungkin akan segera membuat surat lamaran kerja, namun dirinya merasa belum ingin melakukan hal tersebut. Ia masih ingin 'berpetualang' sebelum memutuskan untuk fokus meniti karir.
"Saya boleh duduk di sini?" tanya seorang pria berperawakan tinggi dan berbadan kekar. Ia dapat melihat otot-otot pria itu yang tertutup oleh kaus hitam dan kemeja yang digulung hingga siku.
Taman pada sore hari memang ramai, bahkan beberapa orang ada yang membawa keluarga kecil mereka untuk bermain hingga menjelang maghrib. Dan satu-satunya tempat duduk yang luang adalah di sebelahnya ini.
"Silakan, Mas."
Pria itu tersenyum dan berujar 'terima kasih' sebelum duduk. Setelahnya ia mengeluarkan laptop dari ransel dan tidak ada pergerakan lain selain sepuluh jemari pria itu yang lincah menari di atas keyboard.
"Menurutmu ibu hamil itu biasanya ngidam apa ya?" tanya pria itu tiba-tiba.
Rumaisha sempat mengernyit bingung seolah berkata 'mas nanya ke saya?' yang sepertinya pria itu dapat menangkap jelas maksudnya dan segera mengangguk.
"Beda-beda atuh. Saya belum pernah merasakan hamil, tapi sepenglihatan saya dan dari yang saya sering baca di novel juga seringnya ngidam mangga muda, Mas," jawabnya. "Istrinya sedang hamil ya tapi belum merasakan ngidam ingin sesuatu? Memang nggak semua ibu hamil merasakan ngidam kok. Masnya jangan takut, mungkin ngidam dia ngidamnya bukan sekarang."
Pria itu tertawa mendengar penjelasan Rumaisha yang tentu saja dibalas dengan tatapan bingung, merasa tidak sedang melucu.
"Saya belum punya istri. Apakah wajah saya terlihat seperti wajah-wajah orang yang sudah berkeluarga?"
Rumaisha meringis. Pria di hadapannya malah terlihat muda, gagah, dan menawan. Tapi kan tidak menutup kemungkinan jika ia sudah menikah. Apalagi dengan maraknya pasangan yang menikah muda saat ini, jadi ia sebenarnya tidak salah kan jika mengira pria itu sudah menikah? Ditambah ia sempat bertanya mengenai ngidamnya ibu-ibu hamil kebanyakan.
"Saya sedang membuat cerita. Biasanya cerita yang saya buat bergenre science fiction, tapi kali ini ditantang untuk berbelok ke genre romance," ceritanya tanpa diminta oleh Rumaisha. "Jadi saya ambil cerita perjalanan hidup wanita yang sudah menikah. Tetapi karena di sini saya sebatang kara dan berteman dengan pria single semua, jadi saya sedikit bingung."
"Oalaaa." Rumaisha manggut-manggut.
"Ah, iya. Saya lupa memperkenalkan diri. Saya Gilang. Menulis adalah hobi dan pekerjaan sesungguhnya yaitu seorang guru."
Tangan pria bernama Gilang terulur dan dibalas jabatan singkat serta senyum tulus Rumaisha. "Saya Rumaisha, Mas. Baru saja mendapat gelar sarjana pendidikan tahun ini. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa pekerjaan saya akan sama seperti mas Gilang yaitu menjadi guru."
***
"Jadi namanya Gilang?"
"Hmmm ...."
"Rumaaai! Gue serius, ish!" rengeknya kesal karena merasa keberadaannya dianggap angin lalu oleh sahabatnya yang satu itu.
Rumaisha masih sibuk menatap layar smartphonenya. Sesekali ia tertawa kecil yang membuat Ratu bergidik ngeri melihatnya.
"Terus aja gue dikacangin, Mai. Kalau kayak gini mending lo balik aja ke 'istana' lo sana!" usir Ratu. "Jangan chat gue, jangan jadiin gue 'tong sampah' lagi, haha-hihi aja sama smartphone sampai kewarasan lo hilang."
"Baper banget sih mba'e," kekeh Rumaisha melihat Ratu yang kalau sudah ngambek benar-benar terlihat jelek dengan bibir mengerucut lima senti. "Iya, namanya Gilang. Dia baik, tampan, menawan. Apalagi yang lo mau tau dari dia? Huuum?"
Ratu yang tadi kesal hingga memalingkan wajah dari sahabatnya kini menoleh. Ia membenarkan posisi duduknya dan kembali menghadap Rumaisha dengan wajah berbinar.
"Deskripsiin lebih rinci, Mai. Please, gue penasaran," mohonnya.
Gadis itu tertawa keras. "Tinggal stalking instagram-nya, Ratuuu!"
"No, no, no. Gue maunya lo yang cerita."
Rumaisha menyerah. Ia mengambil biskuit coklat sebelum memulai cerita. "Dia itu guru di sebuah SMA Jakarta gitu. Kelihatannya emang muda, tapi ternyata umurnya jauh di atas kita. Nggak bisa dibilang jauh banget, sih. Tahun ini dia bilang umurnya baru menginjak kepala tiga."
"Kalau dia ganteng, setua apapun gue nggak masalah. Emang wanita dan cogan itu tidak bisa terpisahkan, Mai. Pasti akan bertekuk lutut."
Sahabatnya itu memang tergila-gila sekali pada pria tampan yang hidup di muka bumi ini. Siapapun itu. Mau dia adalah seorang artis, pejabat, bahkan yang berkeliaran di jalan, kalau ganteng ia mau. Matanya bahkan seperti disetting auto-focus cogan kalau sudah bertemu kaum adam yang-bagi Ratu-hot dan cocok untuk dirinya.
"Ya pokoknya gitu, Ra. Perhatian juga. Sesekali kalau udah pulang ngajar dia mampir ke taman kota yang sering gue datangi. Kita ngobrol berdua dan bahas random sampai menjelang maghrib. Sekaligus nyari inspirasi untuk ceritanya."
"Orangnya nggak posesif kan? Yang dikit-dikit ngatur lo dan cerewetnya udah kayak emak-emak yang pengen liat anaknya kawin?"
"Nikah!"
"Sama aja!" cibir Ratu tidak mau kalah.
"Iyalah, Ra. Kalau dia ngatur-ngatur dan posesif, dari awal juga udah nggak mau gue temenin. Lagian gue ini kan gadis bebas, kecuali kalau kita udah ada hubungan."
"Fix, Mai! Gilang ini berpotensi besar menjadi kebahagiaan yang lo cari selama ini," ujarnya bersemangat.
Rumaisha tampak ragu. "Lo yakin?"
"Seratus persen gue yakin. Apa lagi yang lo raguin? Semenjak hari itu, Gilang selalu membuat lo nyaman kan?"
"Hu-um."
"Berusaha buat lo bahagia, kan?"
"Yes, you're right."
"Dia nggak pernah buat lo nangis juga kan, Mai? Yang ada malah hati lo berdebar keras kalau ada di dekat dia? Tolong koreksi kalau gue salah."
"Sayangnya, apa yang lo omongin semuanya benar," ringis Rumaisha.
Ratu menimpuk kesal wajah Rumaisha dengan bantalnya. "Terus apa lagi yang lo raguin, beb? Gue nggak ngerti sama jalan pikiran lo! Kebahagiaan apa yang lo maksud? Kalau semua yang gue katakan tadi benar dan udah memenuhi kriteria yang lo buat itu, lantas kenapa lo masih ragu, Mai?"
"Tapi di list kebahagiaan gue, nggak pernah ada hal menyangkut soal pasangan Ra."
"Iya, di list kebahagiaan lo emang nggak ada. Tapi gue inget lo pernah nulis kriteria untuk cowok yang kira-kira bisa buat lo bahagia. Udahlah, Mai, nggak usah diambil pusing. Tinggal lo terima ajakannya untuk menjadi pacar yang mungkin bisa sampai ke ajakan lamaran nikah beberapa tahun lagi. Siapa yang tahu, kan?"
Semua yang dikatakan oleh Ratu memang benar tanpa ada yang perlu ia koreksi. Gilang jelas memenuhi kriteria mengenai pasangan yang ia buat beberapa tahun lalu, ketika ia melihat Ratu bahagia memiliki pacar tanpa melupakan dirinya. Tetapi entah kenapa masih ada perasaan ragu.
Bahagia pasti selalu berkaitan dengan hati yang berdebar-debar jika ingin bertemu dengannya-dalam konteks seorang individu pada lawan jenisnya. Tapi bersama Gilang, ia tidak yakin apakah itu akan bertahan lama. Apalagi ini merupakan yang kali pertama dirinya menjalin hubungan lebih dari seorang teman pada pria.
"He will be one of your happiness. Nggak perlu pusing-pusing cari 'kebahagiaan' lagi karena lo udah nemuin 'kebahagiaan' lo. Trust me."
"Dan kalau lo salah?"
"Gue siap dijadiin samsak ketika lo marah atau lo bisa melakukan hal yang lo mau ke gue lebih dari pada itu. Pilihan lo cuman satu, jalanin atau tinggalin. Gue sebagai sahabat hanya bisa mendukung. So, apa pilihan lo, my beb?"
Rumaisha pada akhirnya mengangguk. "I'll try."
Tangan panjang Ratu dengan cepat memeluk tubuh sahabatnya dengan erat. Gadis itu tahu betul 'kebahagiaan' apa yang selalu ia cari dan pertanyakan sejak dulu, dimulai dari masa seragam putih-biru dongker dan bertahan sampai saat ini.
Di saat keadaan Rumaisha yang sedang bahagia tingkat tinggi, hingga masa gadis itu menjadi gadis yang rapuh serapuh-rapuhnya, selalu ada Ratu di sisinya. Bahkan melebihi 'keluarga'nya yang gila kerja meskipun ia sangat dimanja dan hidup dalam kelimpahan harta.
"Are you ready?"
"Yes, I am."
"Kalau begitu, jemput 'kebahagiaan' lo sana. Smartphone lo berisik banget, pengen gue banting aja rasanya. Untung gue ngeh sama nama 'Gilang' yang terpampang di layar."
Rumaisha tertawa dan melihat cermin untuk merapikan dirinya. Sesuai saran dari sahabatnya, ia akan mencoba memulai hubungan dengan pria bernama Gilang itu. Sosok yang menawan sejak kali pertama bertemu.
Semoga ia merupakan kebahagiaan yang kamu cari selama ini, Rumaisha.
***
الْحَمْدُ للَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top