Bab 6 : Peran Terbagi
Belum tuntas ketakutan Ibnu mendapati ketukan pintu, terdengar tawa renyah menyusul. Sebenarnya dia enggan membuka pintu, tetapi yakin kali ini pelakunya adalah Zainal seperti tuduhan Eti. Karena itu, dia memutuskan memutar anak kunci untuk melabraknya.
"Pergi atau aku hajar!" Ibnu spontan menurunkan pandangannya. Dia bergidik ngeri. Mendadak dengkulnya lemas. Sosok yang dia lihat di tangga samping tersenyum dan dalam satu kedipan, sosok itu berlari menuju tangga lalu menghilang.
Kerikuhan menggigiti benak Ibnu. Pandangannya mendadak kosong. Tangan Ibnu melungsur menutup pintu kamar, lalu bergegas menyeberang ke kamar Zainal.
Seraya menenangkan detak jantungnya, Ibnu mengetuk pintu berkali-kali, tetapi tak juga mendapat sahutan. Otaknya membentangkan dua jawaban. Zainal mati suri atau pura-pura tuli. Saat mendekatkan telinga untuk memastikan, dengkuran halus Zainal tertangkap.
Ibnu melirik ke arah tangga samping, sementara tangannya terus mengetuk pintu. "Nal, buka!"
Akhirnya pintu terbuka setelah beberapa kali ketukan melayang. Berikutnya, wajah Zainal cukup mewakili kalau dia sangat terganggu, mencureng.
"Ganggu orang tidur aja," Zainal menguap sambil menggaruk-garuk perutnya. Kaosnya menyembul memperlihatkan pusarnya.
"Aku―"
"Kalau mau pinjam duit, nggak ada. Lagi bokek," potong Zainal. "Kamu ini doyan bikin kepala orang nyut-nyutan," erangnya sengak. Tangannya mulai menjamah ubun-ubunnya yang sudah seperti sarang burung. Iler terlihat di ujung bibir. Sayangnya, bukan iler walet. Iler Zainal tidak bisa dijual. Bau, iya.
Ibnu tampak jengah, tetapi belum bisa menutupi ketakutannya. Bibirnya bergetar seperti orang kepedasan. "A-aku nggak semiskin itu buat minjem duit sama teman yang sama-sama miskin kayak kamu. Aku masih punya empati."
Zainal mendengkus jengkel.
"Kalau kamu butuh informasi akurat soal sekarang ini sudah siang atau masih pagi, matahari udah nongol dari tadi," tambah Ibnu sambil menunjuk arah pintu samping. "Makanya, jendela kamar dibuka biar bisa ganti udara. Biar oksigen nyampek ke otakmu. Kamar juga nggak bau apek."
"Cerewet!"
Ibnu tahu diri untuk tidak melanjutkan ceramahnya, karena kamar Zainal dan kamar Mario itu 11-12. Bedanya, kamar Zainal lebih manusiawi. Berpikir sejenak, Ibnu teringat dengan niatan awalnya mengetuk kamar temannya itu. Seharusnya, Ibnu berterima kasih kepada Zainal karena sekarang dia merasa lebih tenang atas kehadirannya. Akan tetapi, tawa bocah itu seperti terendap dalam liang telinganya. "Kamu tadi dengar ada bocah ketawa, nggak? Atau, dengar suara ketuk-ketuk pintu kamarku?"
"Nggak dengar apa-apa selain suara orang mau robohin pintu kamarku."
"Heh!"
"Aku tadi mimpi hampir makan enak sebelum ada yang kurang ajar bangunin pake gedor-gedor pintu."
"Ngerasa, nggak, kalau kos ini lama-lama angker?" Ibnu tak acuh. Dia malah bersedekap sambil meneliti sekitar. Lagi-lagi, dia merasa seperti diawasi. "Kayaknya aku mau pindah dari sini. Lama-lama takut."
"Bagus, lah. Nggak bakal ada lagi yang ganggu jam tidurku. Hidup lebih tenang. Suara berisikmu juga bakal hilang. Termasuk, nyanyian fals-mu itu."
Ibnu meninju lengan Zainal, tersinggung. "Nggak berisik, ya. Kupingmu aja yang bermasalah."
Jeda mengalun di antara keduanya. Zainal bahkan berniat menutup pintu kamarnya kembali karena sudah tidak ada lagi bahan ejekan untuk Ibnu. Dia memilih balik tidur karena sengaja menutup tokonya hari ini.
"Ini aku beneran nanya. Kamu tadi nggak dengar suara ketawa bocah?" lanjut Ibnu.
"Budeg, ya?"
"Jawab aja!"
"Nggak, Ibnu Jamil KW 10. Oke? Aku mau lanjut tidur. Permisi." Kali ini Zainal benar-benar menutup pintu kamar setelah mendorong tangan Ibnu supaya tidak terjepit, tepat di depan mukanya.
Merasa diusir, gurat kekecewaan dan amarah muncul sekilas. Ibnu lupa memasang wajah memelas. Padahal, Zainal tidak peduli jika Ibnu melakukannya. Karena menurutnya, perpaduan antara sifat sensitif dan cerewet Ibnu kurang pas menemani rahang tegas dan cambang yang bila dibiarkan sehari saja akan menjadi hutan belantara. Kecuali matanya yang teduh, tidak ada kelembutan pada penampakannya.
Ibnu berbalik menuju kamarnya yang berada persis di sebelah kamar Mario. Dalam diamnya, dia terus berpikir. Tidak mungkin ada setan atau jin yang menampakkan wujudnya di siang hari. Namun dia juga meyakini apa yang dilihatnya barusan sungguh nyata.
Saat Ibnu akan menutup pintu kamar, dilihatnya Suyitno mengendap-endap dari tangga induk. Hari ini total tiga kali Ibnu melihat Suyitno sebelum berangkat kerja. Rekor. Kecurigaannya langsung membumbung tinggi. Dia menutup pelan pintu kamar, lalu mengintip melalui lubang kunci.
Ibnu baru berani membuka pintu kamarnya setelah wujud Suyitno menghilang dari lubang intip. Secepatnya dia melangkah menuju jendela kaca di dekat tangga induk untuk melongok. Dia memijak sisi tangga induk dan susah payah menyeimbangkan diri supaya tidak terlihat oleh pemilik kos, apalagi sampai melakukan gerakan akrobatik.
Bola matanya melebar.
***
Selepas mengitari ruang tivi menuju koridor kecil memanjang berbatas jendela kaca tak berteralis, Suyitno sampai di tempat tujuan. Di balkon menyaru taman kecil dekat kamar seterika, Suyitno berdiri menantang matahari. Dicangkingnya tembikar dan anglo kecil, ditumpuk, berisi kembang setaman. Sesuatu seperti kain berwarna putih lusuh menjadi alas tangannya.
Selepas mengusap wajah dengan satu tangan seperti beres berdoa, Suyitno duduk bersila. Dengan seminim mungkin suara, dia menata perlengkapan yang dibawanya. Setelah siap, Suyitno menunduk. Bibirnya komat-kamit. Matanya terpejam. Kedua tangannya melapisi dengkul.
Seolah berhasil melipat waktu, Suyitno melabuhkan pandangan ke asap yang tertiup angin setelah menyalakannya menggunakan geretan. Dia yakin pesan yang dititipkannya kepada alam telah sampai. Kembali Suyitno menaburkan serbuk di atas anglo, lalu memindahkan kembang setaman dari tembikar ke atas kain putih lusuh.
Dia percepat pergerakan tangannya ketika merogoh serbuk kemenyan dari dalam saku, lalu menaburkannya kembali setelah memutar anglo. Asap kembali mengepul. Seruaknya memenuhi indra penciuman.
Pergerakan terukur Suyitno hampir khatam setelah mengasapi bungkusan kain putih lusuh berisi tanah kuburan dan kembang setaman. Kedua sisinya ditali, mirip pocong.
Tengkuk Suyitno seperti ditiup, membuatnya spontan menoleh. Saat itulah, dia menyadari seseorang mengawasinya dari balik jendela kaca.
Sempat tebersit niatan untuk menangkap basah sang pengintip, tetapi Suyitno memutuskan untuk melanjutkan kegiatan mengundang makhluk tak kasat mata itu. Dia berniat melakukan komunikasi dua arah, secepatnya. Toh, dia melakukan ritual ini di rumahnya sendiri.
***
Jantung Ibnu seperti loncat ketika Suyitno tiba-tiba menoleh. Untung dia cepat-cepat menunduk dan menyeimbangkan tubuhnya. Hampir saja dia terjungkal dari tangga induk karena saking terkejutnya.
Pikiran Ibnu segera menggiring liar ke alam bawah sadarnya, bahwa di dalam bungkusan itu adalah tanah kuburan. Persis yang dituduhkan teman-temannya selama ini.
Baru kali ini Ibnu melihatnya.
Selama ini dia tidak ingin percaya rumor, jika di malam-malam tertentu Suyitno membawa sejumput tanah untuk tatakan, menyalakan hio dan menata bunga di sekeliling sejumput tanah di dekat pagar depan. Ibnu selalu berpikir positif, bapak kosnya sedang menyalakan aromaterapi. Sementara teman-temannya mencurigai tanah yang digunakan adalah tanah kuburan. Saat Ibnu menyanggah, yang lain menyerangnya dengan kalimat: Sejak kapan ada aromaterapi beraroma hio? Terus, kalau bukan tanah kuburan, lalu tanah apa? Tanah sengketa?
Karena merasa tidak aman, Ibnu berbalik pelan menuju kamarnya. Ber-laku ndodhok (berjalan jongkok) persis abdi dalem kasunanan.
"Itu tadi pesugihan, kan? Aku harus secepatnya keluar dari sini daripada jadi tumbal," gumamnya, sedikit berlebihan. "Ganda harus tahu hal ini. Biar dia bilang ke anak-anak yang lain buat segera pindah, atau bilang ke bapak kos kalau kegiatannya itu mengganggu."
Bersama raihan tangannya di gagang pintu, Ibnu memeriksa jam dinding di ruang tivi. Dia mematung.
Jam sembilan? Ya Allah, aku telat masuk kerja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top