Bab 5 : Ketukan

Sembari menenteng peralatan mengepel, Suyitno kembali ke dalam rumah. Gerakannya sedikit tertatih. Tak dimungkiri, usia lanjut jelas menggerogoti kelincahannya yang dulu dibanggakannya ketika masih berkecimpung di dunia militer.

Suyitno tiba di samping sumur tua. Sebelum membasuh tangan di pancuran, dia letakkan peralatan mengepelnya di sisi pojok dapur. Karena rumah dan sumur lawas, jika ingin mengisi pancuran wajib menggunakan kerekan. Begitu malam tiba dan talinya tertiup angin, benda itu akan berderit dan memancing bulu kuduk berdiri.

Setelah bersih, Suyitno masuk ke rumah induk melalui pintu dapur. Atap yang dipandanginya ketika berjalan adalah lantai tempat kos. Dia lalu tiba di ruang makan. Diperhatikannya Eti yang duduk sambil mendongak.

"Ada apa?" tanya Suyitno usai jarak terlipat.

Belum sampai mendengar jawaban sang istri, Suyitno menepuk pelan bahunya. Terkesiap dari lamunan, Eti tersenyum dan mempersilakan suaminya duduk.

"Waktu kamu di depan tadi, ada yang masuk ke rumah." Eti menunjuk tangga induk. "Apa kamu nggak lihat?"

"Perempuan yang mulutnya menganga kemarin itu datang lagi? Menyusahkan sekali. Dia nggak mau jawab pertanyaanku." Suyitno meraih punggung tangan Eti, kemudian mengelusnya lembut. "Kita butuh yang bisa diajak komunikasi, bukan cuma berkunjung."

"Sepertinya bukan perempuan kemarin itu. Kali ini bocah laki-laki. Aku hafal suara tawa dan larinya."

"Kamu sekarang bisa lihat mereka juga?"

"Cuma bisa merasa. Tuh―" Eti memandangi langit-langit rumah mereka.

Duk... duk... duk....

"Dia di atas?" Suyitno ikut menengadah. Anggukan Eti seperti suntikan semangat baginya. "Semoga yang ini benar-benar bisa bantu."

Tangan Suyitno terarah membelai rambut istrinya yang telah memutih. Kulit tangan mereka serasi, kusut. Keriput di sana-sini tidak juga melunturkan kecantikan Eti di mata Suyitno. Tatapan Eti selalu mampu menenangkannya.

"Aku usahakan buat tanya-tanya lagi kalau dia muncul. Kalau ini gagal, aku punya cara lain," tukas Suyitno.

"Cara lain apa?"

"Aku harus memastikannya dulu." Suyitno mengangguk-angguk sendiri. "Semoga bocah ini bisa membantu kita."

"Bocah?"

"Ya, bocah ini. Eh... bocah itu." Suyitno mengarahkan pandangannya ke tangga induk. Eti tidak mau ambil pusing. Dia lega mendengar harapan suaminya muncul kembali.

Suyitno yang sejak tadi mengelus rambut istrinya, mendadak menghentikan kegiatannya. Dia seperti teringat sesuatu, kemudian beringsut ke kamar di samping ruang tamu dengan langkah tergesa. Penyakit encoknya tiba-tiba lenyap.

15 menit berselang, Suyitno keluar dari kamar membawa beberapa perlengkapan. Dia menyisip, bersiap meniti tangga induk. "Aku pastikan dulu bocah ini bisa bantu kita atau nggak. Kamu tunggu di sini saja," pamitnya.

Bola mata Eti mengekori pergerakan suaminya setelah menyengguk. Segera Suyitno menjejak anak tangga yang jumlahnya tidak seberapa itu. Ruang tivi penghuni kos jadi tujuannya.

Tepat ketika Suyitno menyisir ruang tivi, seseorang membuka pintu kamar dan memberi salam padanya.

"Selamat pagi."

Wajah Ibnu menyembul dari balik pintu. Nyawanya belum genap. Karena tidak ada tanggapan, dia bergegas menuruni anak tangga samping. Seandainya tidak bertemu dengan bapak kos, Ibnu berniat menonton tivi sebentar. Kebiasaannya saban hari sehabis bangun tidur karena tidak ingin ketinggalan acara gosip.

Sesampainya di kamar mandi, Ibnu baru menyadari kebodohannya. Dia lupa membawa peralatan mandi karena saking paniknya. "Dasar bego," gerutunya.

Secepat kilat Ibnu kembali ke lantai atas. Namun, betapa terkejutnya, karena untuk kedua kalinya Ibnu mendapati tatapan tajam Suyitno ketika dia melongok ke tangga induk di samping ruang tivi. Mereka sama-sama memekik. Suyitno hampir saja terjengkang. Beruntung perlengkapan yang dibawanya tidak bertebaran dan jatuh menggelinding. Berkali-kali Ibnu meminta maaf ketika pamit kembali ke kamar, tetapi kengerian masih tertangkap jelas di mata bapak kosnya itu.

Cukup lama Ibnu berdiam diri di kamar. Sampai aroma keteknya tercium, dia baru beranjak keluar.

Sembari mengalungkan handuk serta membawa peralatan mandi, Ibnu melirik jarum jam dinding yang menunjuk angka delapan lebih lima belas menit. Itu artinya, satu jam lagi dia harus berada di depan mesin absensi, menyiapkan uang pecahan dan menghitungnya di depan pengawas, serta memeluk kotak kasir sambil berjalan menuju lantai satu. Setelah itu, seharian dia akan menghadap meja kasir untuk membantu pengunjung pasar swalayan menghabiskan rupiah demi rupiah mereka, mengisi troli dengan barang belanjaan, sebanyak-banyaknya.

***

Ibnu sibuk berdendang dan mengetuk-ngetukkan tangan di pintu kamar mandi mirip penabuh dalam orkestra, sebelum perutnya bergejolak.

Sayup-sayup terdengar suara tawa bocah sambil berlari-larian di tangga yang menyatu dengan atap kamar mandi berbentuk terasiring. Lekukan itu mengambil seperdelapan jatah tinggi kamar mandi yang berada persis di atas Ibnu yang sedang berjongkok, tanpa peredam. Berkali-kali dia menangkap suara langkah naik-turun tangga, dan berakhir di balik pintu kamar mandi. Sepertinya bocah itu sedang berada di depan sumur tua, di dekat tempat mencuci baju, di depan kamar mandi.

Sunyi tercipta.

Ketidakberesan di luar kamar mandi mengunci pikiran buruk Ibnu. Dia takut terjadi apa-apa dengan bocah itu. Dia ngeri membayangkan bocah itu tercebur sumur, walaupun dia ingat sumur tua itu selalu tertutup papan kayu. Tidak mungkin bocah itu mampu mengangkatnya.

"Ganggu orang aja," gerutunya sambil menguras isi dalam perut.

Ketukan pintu terdengar.

Kening Ibnu berkerut. Sebenarnya dia malas mendapati gangguan. Seringnya ketika jongkok di WC, ada saja orang yang menggedor pintunya. Seperti kali ini. "Sebentar lagi. Belum selesai," tandasnya.

Tidak ada balasan atau sekadar langkah kaki menjauh. Untung Ibnu sudah selesai buang air besar dan tergerak menuntaskan kegiatan pagi harinya yang lain yaitu mandi. Lekas Ibnu menyabuni badannya yang kering berotot. Dia bersenandung lirih untuk mengusir hawa dingin yang dihasilkan air dalam bak mandi ketika membelai kulitnya yang mulus.

Tok tok tok....

"Antre!" bentak Ibnu.

Kekehan menelusup halus.

Tangan Ibnu terjeda, gemetar. Dia yakin mendengar tawa itu dari luar kamar mandi. Tawa yang aneh. Ibnu cepat-cepat melanjutkan kegiatannya dengan wajah tegang. Bahkan, menyabuni mukanya tanpa memejam.

Ketukan pintu terdengar kembali.

"Brengsek! Anak siapa sih pagi-pagi bikin emosi," Ibnu mengumpat lirih dan berjanji akan memarahi siapa saja yang berani melepas setan kecil ini.

Tidak sampai 10 menit, dis selesai mandi dan mengeringkan badan. Dia membuka pintu kamar mandi dan memasang tampang galak, bersiap mengumpat.

"Siapa ketok-ketok pintu tadi?" Ibnu ber-monolog. Pandangannya menyusuri dapur yang berada persis di sebelah kanan kamar mandi, sementara pintunya tertutup rapat.

"Ada apa?" tanya Eti, tergopoh-gopoh membuka selot pintu samping yang menembus langsung dapur bersekat anyaman kawat. Cat rumah warna pandan membuat suasana dapur temaram. Ditambah lagi lampu dop warna kuning menambah kesan jadul. Perpaduan yang aneh.

"Ada yang iseng ketok-ketok pintu kamar mandi, Bu," jawab Ibnu, setengah protes.

"Siapa?"

"Nggak tahu. Kalau tahu, nggak mungkin saya tanya. Suaranya masih piyik. Setelah lari-lari di tangga, terus ketok-ketok pintu kamar mandi. Padahal saya baru masuk. Baru juga guyur badan, eh diganggu lagi. Anak siapa sih, Bu? Nakal banget."

"Ibu nggak dengar apa-apa selain suara kamu yang fals waktu nyanyi. Ibu juga nggak terima tamu yang bawa anak kecil. Pelakunya temanmu yang jail itu, mungkin?"

"Maksud Ibu siapa? Zainal, Ganda, atau Mario?"

"Zainal. Dua orang yang kamu sebutkan sudah berangkat kerja."

Ibnu tidak sengaja mengintip bagian atas tangga samping, tersadar ada sosok asing sedang menguping. Bocah berkepala plontos, bercuping lancip dengan lingkar mata hitam dan badan ringkih tak berbaju, membalas tatapannya. Sosok itu sempat tersenyum samar sebelum mengabur.

Jari telunjuk Ibnu terulur, gemetar.

Hanya dengan 10 langkah menjejak dari anak tangga terbawah, koridor menuju kamar di lantai dua terlihat. Ibnu tertegun mengamati hal yang tidak pernah muncul di pagi hari, kepadanya, sebelum-sebelumnya.

Eti spontan mendongak mengikuti telunjuk Ibnu. "Nggak ada apa-apa di situ. Jangan bercanda. Ora ilok (nggak baik)."

Ibnu bergidik ngeri membayangkan sosok yang menunggunya di tangga samping ketika telunjuknya turun perlahan. Sambil memasang tampang memelas, Ibnu menoleh ke arah Eti. "Saya boleh lewat tangga induk, nggak, Bu? Buat ke atas?" pintanya sopan. Jantungnya seperti meronta ingin keluar.

"Kamu ini ada-ada saja. Orang sudah dibuatkan tangga sendiri masih juga pakai tangga orang lain," Eti mencibir. Namun, terenyuh juga melihat kerjapan memelas Ibnu. "Ya, sudah. Kali ini boleh."

Sesampainya di anak tangga teratas melalui tangga induk, Ibnu meluncur menuju kamarnya. Cepat-cepat dia membuka pintu mendengar dengkuran Zainal. Setelah pintu menutup, dia baru bisa bernapas lega. Sialnya, ketenangan itu hanya bertahan sebentar.

Ketukan pintu terdengar lagi....

"Siapa di situ?!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top