Bab 49 : Babak Pamungkas

Ibnu meniti turun tangga induk dengan menatap penuh ejek. Dia tidak menyadari wajah memarnya sendiri. Sementara orang-orang yang sedang menunggunya turun, kelelahan seolah habis tawuran 24 jam nonstop.

Begitu kaki menyentuh anak tangga terbawah, Ibnu mulai bicara, "Padahal belum acara puncak. Lihat itu," telunjuknya terulur bersama kilatan petir dari luar, "Masih banyak yang antre."

Mario dan Ganda melihat banyak bayangan di luar rumah, berjubel di depan pintu berkaca separuh.

"Siapa yang merasuki Ibnu?" tanya Mario, entah kepada siapa.

"Wojogeni," balas Suyitno.

"Terima kasih telah memperkenalkanku, tapi aku tetap menagih janjimu," timpal Ibnu.

"Janji apa?" Ganda kebingungan.

"Nyawaku," Suyitno menjawab dengan tenang. Ganda dan Mario meneguk ludah.

"Dan kau," tunjuk Ibnu kepada Ade. "Terima kasih telah merusak pagar rumah ini," tawanya membahana. "Kalian semua bodoh, berjalan tidak pakai otak dan akhirnya terdampar di sini, bersamaku. Bisa-bisanya menganggap kami ini mainan yang bisa dipanggil atau diusir seenaknya. Terutama kau!"

Semua mata tertuju kepada Dirga saat telunjuk Ibnu terjulur padanya.

"Jadi, jangan salahkan kalau caraku membalas dendam seperti ini," imbuh Ibnu.

"Apa maumu?" tantang Ade. "Kamu nggak lebih dari dedemit sampah."

"Bukannya kau juga menginginkan dedemit sampah sepertiku ini dengan mengorbankan banyak orang?" Pandangan Ibnu menyisir wajah semua orang. Sesekali petir menyambar. Hujan belum reda.

"Kalian semua sebenarnya sama. Ada yang sombong, ada yang serakah. Orang-orang seperti kalian pantas kuseret ke neraka."

Mario menghadap pintu. Dia berniat kabur.

"Tidak ada pamit paling pantas untuk pendosa macam kalian," Ibnu menuntaskan kalimatnya.

Perasaan Dirga mendadak tak enak. Rumah terasa sesak. Sejak tadi, dia mengucap rapalan dalam hati untuk mengusir makhluk tak kasat mata. Namun mengingat jumlahnya, selain kelelahan, dia juga tidak bisa mengusir semuanya. Termasuk, mengusir Wojogeni yang seperti dibentengi prajurit nerakanya.

Ade yang berdiri di sebelah Dirga, gemetar seperti menahan kesakitan. Ketika Dirga meraih tangannya, dia tersentak. Panas menjalar. Saat menoleh, Dirga menyaksikan belasan sosok tak kasat mata mencoba merasuki Ade.

Argh....

Teriakan Mario membuyarkan konsentrasi Dirga.

Di dekat tangga induk, Suyitno yang sebelumnya tampak lemah, menekan leher Ganda dan Mario tinggi-tinggi. Tendangan dan cakaran di lengan Suyitno tak berhasil menghentikannya.

Dirga merasa perlu turun tangan meski dia melihat belasan sosok tak kasat mata antre merasuki Suyitno, Mario dan Ganda.

Tiba-tiba, teriakan Suyitno membahana. Tangannya dipuntir kuat-kuat oleh Ganda dan Mario. Ketiga orang itu mulai bertarung sengit. Mereka saling memukul, saling membanting, saling menendang. Ibnu tergelak menyaksikannya.

Tanpa Dirga sadari, cengkeraman Ade mendarat di bahunya. Dia terpelanting dalam sekali angkat. Teriakan Ade bergema bercampur deru hujan, petir, dan guntur.

Sepanjang menghindari perkelahian dengan Ade, Dirga mencoba mengusir satu demi satu arwah atau jin yang mulai merasuki tubuhnya. Di sisi lain, dia tidak bisa menghindari tendangan, pukulan, atau bantingan Ade.

Bruak....

Satu korban tumbang.

Kepala Mario terarah ke layar tivi. Dari ekor matanya, Dirga bisa melihat temannya itu tidak bergerak. Tidak berapa lama, pintu depan menjadi sasaran Suyitno. Dengan menggunakan punggung Ganda, dia melemparkannya kuat-kuat dan berhasil menjebol pintu rumah berbentuk kupu tarung.

Satu korban kembali ambruk. Ganda tidak bergerak di bawah kaki Suyitno.

Masih menghindari pukulan Ade, dan sesekali menepuk bagian tubuhnya untuk mengusir makhluk-makhluk tak kasat mata, Dirga merasa bersalah tidak bisa menolong teman-temannya. Di sisi lain, yang merasuki Ade sudah bisa dihitung dengan jari.

Mendadak, Ade terdiam. Dia seperti tidak tertarik lagi dengan keberadaan Dirga yang sedang mengatur napas. Ade berlari menyusul Suyitno yang berniat kabur. Entah ilmu apa yang digunakan Suyitno hingga bisa mengerahkan sosok tak berwujud itu untuk membantunya melarikan diri. Namun, jalan yang ditempuh agaknya terjal.

Ade meraih leher bagian belakang Suyitno. Bersamaan dengan itu, banyak sekali arwah yang merasuki Ade kembali, termasuk Irul yang sebelumnya hanya berdiri di ambang pintu.

Dalam sekali hitungan, Ade menarik kuat-kuat Suyitno dan mengembalikannya ke dalam rumah dan mendarat di lantai.

"Injak dia!" Ibnu berteriak.

Sebelum Suyitno berhasil bangkit, Ade lebih dulu menjulang di hadapannya.

Pintu rumah kini terbuka lebar. Cahaya petir dari luar tampak maksimal ketika kaki Ade mulai menggencet kepala Suyitno. Jika sebelumnya kepala Suyitno berdenyut terinjak istrinya, kali ini dia tidak merasakan apa-apa. Sebelum Ade menginjak batang lehernya, sosok tak kasat mata yang merasuki Suyitno berbondong-bondong keluar. Tenaganya mendadak tersedot habis.

"Mati kau!" teriak Ade.

Saat itulah, Dirga melihat beberapa nyawa yang telah Suyitno renggut, mengumpulkan tenaganya di satu titik. Di kaki Ade. Makanya, entakan terakhir berhasil memecahkan kepalanya. Matanya mendelik, meski dunianya menghitam. Sebelum meregang nyawa, Suyitno hanya bisa mengingat istrinya yang terkapar dan kemungkinan besar akan dijumpainya kelak, di neraka.

Tidak sampai hitungan detik, atas perintah Wojogeni dalam tubuh Ibnu, seluruh penghuni tak kasat mata yang menyesaki rumah Suyitno dan yang keluar dari tubuh Ade, berlomba-lomba merasuki Dirga. Namun, gagal. Mereka seperti terpental.

Bruk....

Bruak....

Dirga terpaku menyaksikan Ade menumbukkan dirinya ke sembarang tempat. Saat itulah, dia menyadari satu arwah tertinggal di tubuh Ade.

Mas Irul.

Dia pasti ingin terbebas, atau balas dendam?

Karena tinggal bertiga, otomatis usaha Dirga untuk menyelamatkan nyawa Ade dan Ibnu masih melambung tinggi. Dia melangkah menuju posisi Ade yang masih membenturkan tubuhnya ke tembok.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Ibnu mengumpankan jotosan tepat mengenai rahangnya. Dirga tersungkur, tidak menyadari tubuhnya sudah selemah itu. Apalagi, perisainya seperti menipis karena sedari tadi coba ditembus oleh makhluk-makhluk suruhan Wojogeni.

"Pak Ade, sadar!" teriak Dirga, posisinya masih tersungkur.

"Nikmati saja pertunjukannya." Ibnu mengedikkan kepala ke arah Ade. "Kau tahu, kalau hari ini dia selamat, kalian semua yang mati. Kau pun tahu yang merusak pagar rumah ini adalah Ade. Yang mengundang mereka juga dia. Aku hanya menambahkan sedikit bumbu, tidak boleh ada yang keluar dari sini hidup-hidup. Belum lagi apa yang dilakukannya selama ini dalam hidupnya juga kejam. Santet, teluh, guna-guna. Bahkan dia tega menjadikan keluarganya sendiri lebon. Jadi, neraka tempat yang pantas untuknya."

"Setan!" teriak Dirga sambil berusaha merapal doa dan memohon kepada Irul supaya berhenti merasuki Ade.

Ibnu tergelak. "Kau tidak akan berhasil. Dendamnya terlalu kuat. Sudahi kesia-siaanmu dan biarkan tuntas."

"Pergi kamu ke neraka," sentak Dirga.

"Tanpa kau suruh pun, aku akan ke sana. Tapi aku akan membawa kalian semua."

Ade terkapar dengan darah dan lebam di mana-mana setelah berhenti membenturkan tubuhnya. Kemudian, Irul keluar dari tubuh Ade dengan wajah semringah, seolah undur diri. Itu berarti, nyawa Ade tidak tertolong lagi.

Dirga meraung. Tatapan bengisnya tertuju kepada Ibnu. Dia merapal lagi doa sembari memasang kuda-kuda.

"Sekarang giliranmu!" seru Ibnu jemawa. "Kau pun tidak kalah buruknya dengan mereka. Yang kau miliki sekarang, ditukar dengan nyawa orangtuamu. Coba tanya ke Mbah-mu di neraka sana. Kau memang anak sial."

Bukannya melawan, Dirga merasa harus melarikan diri dari rumah itu jika ingin selamat dan membalas Wojogeni. Tenaganya sudah habis terkuras. Rapalannya juga tidak mempan karena terlalu sesaknya rumah Suyitno dengan makhluk halus.

Ketika sampai di pintu depan yang jebol, Ibnu berhasil menendang Dirga sampai terjerembab ke halaman depan. Saat berbalik badan, Ibnu tengah berdiri di hadapannya, bersiap menyerang dengan kakinya. Dirga pikir, barangkali dia memiliki takdir yang sama seperti Suyitno. Mati dengan kepala pecah. Dia pasrah menjemput mautnya.

Dhar....

Sedetik, petir menyambar tubuh Ibnu sampai terpelanting. Telinga Dirga berdenging. Matanya memburam.

Sebelum memejam, Dirga sempat menyaksikan Wojogeni keluar dari tubuh Ibnu dan terbakar. Seketika dia teringat cerita Mbah Putri. Jika hujan dan petir menyambar di luar, dilarang berkeliaran di jalan atau berteduh di sembarang tempat. Sebab, jika jin mengikutimu, maka sebagai algojonya adalah petir itu sendiri.

Dirga benar-benar menutup matanya setelah menarik napas sekali.

***

Gelap. Sunyi. Hampa.

Tiga kata itu seolah buyar setelah muncul suara memanggil namanya.

"Dirga, bangun!"

Kemudian, suara lain menyusul melubangi pendengarannya.

"Bangun, Dirga! Cucu Mbah."

Dirga tersentak. Dia langsung terduduk, memandangi sekitar.

Riak bengawan, rumpun bambu, serta dua orang tersenyum padanya. Mbah Putri bersama seseorang yang tidak Dirga ketahui, duduk di sebelahnya.

"Maafkan Mbah, Dirga." Ngadirah membesut hidungnya. Tangisnya menderai. "Ini semua gara-gara kamu Sami," tukasnya.

"Mbah Sami?" tanya Dirga, memotong niatan orang yang tidak dikenalnya itu membalas.

"Iya, yang kau cari selama ini," bocah perempuan itu tersenyum dan membelai rambut Dirga dengan lembut. "Oalah, Bocah Bagus. Hidupmu kok sengsara sekali gara-gara Mbah Ngadirah-mu."

"Eh?!"

"Dianggap sial pula."

Rahang Ngadirah mengencang. "Kamu bukan anak pembawa sial, Dirga. Sebagai orang yang mengajarimu rapalan dan menyuruhmu bela diri, Mbah tersinggung dengan perkataannya. Tapi jangan dengarkan Wojogeni. Dia punya seribu cara untuk mengelabuhi kita semua."

"Mengelabuhimu, Dirah," Sami menambahkan.

Keduanya tertawa. Dirga kebingungan merespons situasi yang melingkupinya sekarang.

"Bagaimana tidak? Kau umpankan sendiri cucumu ke Wojogeni. Ini semua gara-gara obsesimu ingin memilikinya."

Ngadirah terdiam. Separuh hatinya membenarkan, dan sisinya rasa bersalah menumpuk. "Maafkan Mbah, Dirga," katanya pelan.

"Kami tidak mendengarnya, Dirah," Sami berkata jail.

"Maaf!"

"Mbah Ngadirah dan Mbah Sami kok bisa ada di sini?" tanya Dirga, berharap dapat mengupas satu demi satu pertanyaan dalam benaknya. Dia merasa waktunya tidak banyak.

Keduanya tersenyum. Sami yang lebih dulu mengurangi senyumnya, setelah sadar tidak pada tempatnya.

"Saya menunggu Dirah di sini. Ingin bicara padanya kalau saya sudah baik-baik saja. Tapi Ngadirah tidak muncul-muncul juga. Malahan, dia pasang badan," terang Sami lembut. Kesedihan masih membekas di wajahnya.

Alis Dirga bertaut.

"Ternyata, Sami selama ini mencoba datang ke mimpi Mbah," Ngadirah mengambil alih. "Tapi dia selalu bisu setiap kali muncul di mimpi Mbah. Itu pun hanya beberapa kali, sebab katanya susah. Belum lagi karena kita punya ilmu, jadi arwah Sami tidak bisa mendekati Mbah. Berlaku juga sama seperti kami yang tidak bisa mendekatimu langsung. Hanya lewat remah-remah. Sampai akhirnya Sami berhasil bilang ke Mbah kalau dia sudah memaafkan semua kesalahan Mbah. Mbah bisa mendengarnya sewaktu nyawa Mbah sudah ada di ubun-ubun. Sayangnya, waktu itu Mbah tidak sempat memberitahumu. Maafkan Mbah."

Keduanya berlinang air mata. Pundak mereka naik turun. Anehnya, Dirga tidak ingin marah. Dia benar-benar lega mendengarnya. Dirga merasa tuntas memenuhi keinginan Mbah Putri. Malahan, kini ketiganya bisa bertemu langsung.

"Gara-gara kami, teman-temanmu harus mati," Sami sedikit tersendat saat mengatakannya.

Kali ini, penyesalan menghantui. Dirga menunduk, menangis tersedu-sedu. Keduanya memeluk Dirga lebih erat, lebih hangat, kemudian menangis bersamanya.

"Apa yang sudah digariskan tidak mungkin bisa kita lawan. Kamu harus tahu, semua orang pasti mati. Tinggal tempat dan caranya saja yang berbeda," kata Ngadirah mencoba menenangkan.

Dirga mengangguk-angguk sembari mengusap air matanya yang meluber ke mana-mana.

"Cucumu kalau menangis ternyata jelek juga," Sami berkelakar.

Keduanya tertawa, tetapi Dirga jengkel dibuatnya.

"Biar lega, bagaimana kalau kita mandi dulu. Mumpung airnya jernih. Sudah lama kan, Mi?" tawar Ngadirah.

"Iya, Dirah. Dirga juga harus ikut."

Keduanya berdiri dan langsung terjun ke bengawan berair tenang. Dirga ikut nyemplung.

Begitu menyentuh air, kesadaran Dirga langsung kembali. Dia mengerjap, mengamati plafon bercat putih. Lampu tingkap tepat di hadapannya. Seketika, Dirga menghidu aroma karbol. Kepalanya berdenyut. Seluruh tubuhnya nyeri.

Setelah mengamati sekitar, dia menyadari tengah berbaring di rumah sakit setelah dokter jaga dan seorang perawat datang menghampiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top