Bab 32 : Juara Terpilih

Jetis Lor. Tahun 1967. Malam hari di rumah Wiwit.

40 hari Wiwit melakukan puasa mutih, berlanjut puasa jinten. Selama tiga hari dia wajib tidak makan dan hanya minum, serta menahan diri dari sinar matahari. Dia genapi dengan tapa di Sendang Pengasihan selama tujuh malam dan di hari terakhirnya, dia bertemu penunggu sendang. Roro Kuning. Itu artinya, persyaratannya tuntas.

Sekarang, tinggal mengasah kemampuannya.

Bokor berisi kembang setaman, serutan akar lawang, sekapur sirih beruas kembar dan perasan kantil, ditata di atas meja untuk persembahan. Wiwit bersimpuh. Ade di belakangnya. Mereka duduk sedikit berjauhan.

Sembari terpejam, tangan Wiwit mulai menaburkan bubuk kemenyan dalam prapen, mirip tungku terbuat dari tanah liat dibakar. Asap dari baranya mulai menusuk-nusuk hidung. Mulutnya komat-kamit. Sementara Ade tidak melepas pandangannya dari rapalan Lik-nya. Dia terpikat sekaligus ngeri dalam satu waktu.

Dari dalam saku, Wiwit mengeluarkan kain putih polos. Beberapa helai rambut Suyitno ditalikannya pada salah satu getah damar, dan menindihnya tanpa kuncian.

Sesaat setelah hidungnya mengernyit, dia celup jari telunjuk dan jari tengahnya ke dalam bejana berisi darah ayam alas. Dia angkat perlahan jari bersaput darah ayam, lantas mengoleskannya di tepian getah damar yang sedikit bergerigi. Kemudian, dia celupkan kedua telunjuk kembali ke dalam bejana dan mengoleskannya ke kedua alisnya secara bersamaan.

Belum genap menghitung sampai lima, api dalam dimar ublik tiba-tiba membesar sebelum kembali seperti semula. Wiwit menyeringai, puas.

"Waktu kematianmu telah tiba, Suyitno," desisnya, lalu menggeram tanda rapalannya dimulai. Matanya menutup. Dia berkonsentrasi penuh.

Semua rambut di tubuh Ade berdiri. Dia merasakan hawa dingin menyentak kulitnya. Diedarkannya pandangan ke penjuru rumah. Dia merasa seperti ada yang mengawasi. Loncat-loncat. Terkikik. Meja makan berkeriuk seperti terkena... gempa lokal.

"Konsentrasi, Ade. Jangan sampai mereka menyeretmu ke alamnya," perintah Wiwit. Ade menurut. Dia memejam dan merapal mantra dalam hati. Detak jantungnya menukik, lalu menurun tajam persis jalan di Jetis Lor.

Sesuatu seperti menarik kelopak matanya supaya terbuka. Saat Ade melakukannya, tanpa sadar dia membelalak. Api di depannya membumbung meski tidak sampai menjilati atap rumah. Beberapa makhluk tak kasat mata tengah berpesta, termasuk arwah korban keganasan praktik ilmu hitam Lik-nya. Jumari dan Pakde Sujud ikut hadir. Ade mendengar geraman, termasuk bisikan, tumpang tindih beserta kekehan terdengar jauh.

"Lik Wit...."

Gemepak geblak ing lemah. Tumindak jeruji ing saworo. Loro guno ojo tangi. Jenenge sirah lumpiah. Yen tangi loro'o. Yen loro geblako. Yen geblak mati.

Wiwit mendesah panjang.

Gemepak ono ing awak. Mati lan turuo mergo loro getih. Getih ireng sing mbok pangkon. Getih putih sing mbok suwun. Si jabang bayine Suyitno....

"L-Lik Wit," panggil Ade sekali lagi.

"Ada apa?" Wiwit menggeram. "Kau pikir aku sedang menganggur?"

"Me-mereka ada di sini...."

Mata Wiwit sontak terbuka. Dia menyadari ada yang keliru. Seharusnya, keadaan rumahnya senyap, bukannya sesak.

Seketika bola matanya penuh. Bersamaan dengan pelototan itu, tenggorokannya terasa gatal. Wiwit berdeham untuk mengusirnya sampai terbatuk berkali-kali. Ada sesuatu seperti mendaki dalam perutnya. Garukan di lehernya semakin menjadi-jadi. Kuku tangannya berbekas darah.

Uhuk....

Muntahan Wiwit tampak tak biasa. Selain darah, ada binatang-binatang kecil menggeliat bersama genangan cairan pekat di lantai. Jarak beberapa detik, dia muntah kembali. Kali ini muntahannya lebih banyak, pun binatang yang menggeliat seperti yang ada di kakus. Belatung.

Ade berniat menolong Lik-nya yang sedang menggelepar di lantai sambil menendang apa pun untuk mencari udara, ketika pintu rumahnya tiba-tiba menjeblak, terbuka. Ade sampai lupa sebelum melakukan ritual sudah mengunci pintu rumah atau belum. Dia tidak lagi peduli. Sebab, penampakan di hadapannya jauh mengerikan. Bola mata Wiwit hampir keluar dari cangkangnya. Tubuhnya bersaput darah.

Dalam satu kedipan mata, seseorang itu bergerak seperti angin, lalu berbisik kepada Ade. Segera tinggalkan tempat ini. Pergi bersamaku. Kau tidak mau menyusul Lik-mu ke alam baka, bukan? Diadili sebagai dukun santet. Aku tidak yakin kau bisa melihat matahari esok hari jika bersikeras tinggal di sini.

Ade berdiri susah payah, kemudian menyusul langkah seseorang yang tidak dikenalnya itu. Yang pasti, seseorang itu tidak berbeda jauh usianya dengannya. Badannya ceking, gelap. Bola matanya kecil.

"Kamu siapa?" tanya Ade takut-takut ketika langkahnya beberapa kali tersaruk batu pegunungan yang mencuat. Dingin serta gerakan pepohonan hutan membuat nyalinya ciut.

"Koko. Aku ditugaskan guru kalian supaya segera datang ke sini menjemputmu," balasnya pelan.

"Siapa?"

"Tidak usah banyak tanya. Cepat kabur dari sini daripada digorok warga."

- - -

Kedungglugu, 1967. Beberapa saat setelah terdengar dentuman dari atap rumah.

Peluh tercetak jelas di dahi Suyitno. Saat menyeka ujung bibir dan lubang hidungnya sekaligus menggunakan punggung tangan, cairan berwarna merah menempel, sebagian merembes ke lantai rumah. Aroma anyir menguar. Dia menarik napas satu-satu sambil mengedarkan pandangan.

Suasana rumahnya gelap, sebelum Suyitno menyesuaikan penglihatannya. Dia masih bisa merasakan kehadiran Wojogeni di rumahnya.

Tiba-tiba, dengkulnya melemah. Dia lalu bersimpuh. Sebelum Eti mendekat, tangan dan wajah suaminya itu terangkat. Dia menggeleng dan menggumam dalam gelap, "Tetap di situ!"

Eti terpaku, "I-iya, Mas."

Benar saja. Tidak berapa lama terdengar suara dari kegelapan. Suara serak perempuan. Penunggu Hutan Gunung Wilis yang diharapkannya hadir dan bisa mengabulkan keinginannya.

"Kau memangbpemenangnya," Wojogeni tergelak. "Aku tidak menyangka membantu seseorang yang lemah sepertimu. Kau tidak puasa. Tidak pula nenuwun, tetapi berhasil memusnahkan musuhmu dalam sekali percobaan."

"Ja-jadi?" tanya Suyitno dengan suara bergetar.

"Ya, dia sudah mati, dan aku akan mengabulkan permohonanmu," potong Wojogeni. "Termasuk, memberimu apa yang diminta temanmu itu. Bukankah begitu maumu, Orang tamak?"

"Matur nuwun." Suyitno mencoba tidak tersinggung.

"Tapi sebagai baktimu padaku, berikan aku darah bayi saat bulan penuh. Aku pastikan dalam setahun, kau akan jadi orang berbeda. Tidak akan ada yang meremehkanmu."

Suyitno manggut-manggut. Eti menelan ludahnya. Dia tidak habis pikir, suaminya berani bermain dengan kegelapan. Dia ingin protes karena tidak mau bernasib sama seperti bapaknya. Namun, ketakutannya lebih besar daripada nyalinya.

"Baik, akan saya lakukan." Seketika dimar ublik menyala. Suyitno mengerjap.

Dari tempatnya berdiri, Eti memperhatikan penampakan suaminya. Darah merembes dari lubang di tubuhnya. Yang paling tidak Eti pahami, suaminya itu menyeringai, seperti pemenang keluar dari arena pertarungan dengan membawa piala.

- - -

Gemah, 2002

Janji Wojogeni tidak diragukan lagi.

Kehidupan Suyitno dan Eti berubah pesat. Belum sampai setahun, dia dipindahtugaskan ke salah satu kota cukup jauh dari tempatnya semula. Kota Atlas. Berpuluh tahun tinggal di sana, pundi-pundi keuangan mereka meningkat pesat, termasuk karier militer Suyitno. Beberapa kali dia ditugaskan di luar kota dan di luar negeri. Terutama di daerah konflik untuk memberantas GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Daerah Istimewa Aceh, konflik sampai pembebasan Timor-Timur, serta misi perdamaian di Negara Kongo.

Namun, setiap kali bertambahnya harta atau naiknya pangkat, kehidupan mereka terlampau kosong. Eti mengalami dua kali keguguran. Sejak itu, dia tidak pernah lagi merasakan kehamilan.

Di usia matang mereka, Suyitno memilih pensiun dini. Dia ingin hidup tenang di desa. Di sebuah rumah gedongan lapuk, kusam, dan kosong, persis hati mereka. Segalanya terasa kontras dengan capaiannya selama ini. Seolah, mereka tidak bisa menikmatinya. Mungkin inilah yang dinamakan kutukan.

Kau bisa memiliki segalanya, tetapi tidak tahu bagaimana cara menikmatinya.

Terkadang, angan melayang jauh sekaligus mengempaskan.

Nahas, di satu malam dengan bulan membulat penuh, satu lengkingan kecil membuyarkan segalanya.

Suyitno dan Eti sedang mengadakan ritual pemujaan untuk Wojogeni. Dalam benaknya, dia merasa ada yang mengawasi rumahnya. Cepat-cepat Suyitno memeriksa melalui kaca jendela depan, sementara Eti sedang membereskan bayi perempuan mungil dengan luka menganga di bagian leher. Besoknya, bisa dipastikan daging mungil itu berubah menjadi sajian kuah untuk diantarkan ke beberapa tetangga mereka dengan jarak rumah cukup jauh satu sama lain.

Langkah Suyitno kembali bergas menuju tempat istrinya berada. Dadanya masih naik turun saat bicara, "Bahaya. Kita harus secepatnya pergi dari sini."

"Bahaya apa, Pak?" tanya Eti, bingung. Tangannya masih sibuk menyeka percikan darah di luar wadah baskom.

"Sepertinya ada yang mulai curiga dengan ritual kita. Aku takut kalau sampai warga tahu. Bayinya tadi sempat menjerit."

"Jangan ngomong sembarangan. Kita tunggu beberapa waktu, baru nanti kita putuskan untuk pergi atau tetap tinggal."

"Sebaiknya kamu turuti kata-kataku kalau tidak mau ditangkap sebagai dukun ilmu hitam."

Eti susah payah mengangguk sekaligus menelan ludahnya. Sebab, tidak ada candaan di wajah suaminya yang mulai berkeriput itu. Kewaspadaan sepertinya enggan minggat.

Akhir tahun 2002, akhirnya Suyitno dan Eti memilih pindah setelah berhasil menjual asetnya. Mereka bermukim di satu kota berangin di Jawa Timur.

***

Di salah satu pojok rumah Suyitno, Wojogeni tengah menyeringai. Selain kekosongan hati, kewaspadaan berlebih adalah efek dari pemenuhan permintaan para pengikutnya, sampai tersadar bahwa pengorbanan mereka tidak sepadan, baik di dunia maupun di kehidupan kekal, di Neraka kelak.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top