Bab 3 : Terundang
Di dalam kamar, Mario menanggalkan pakaian dan menyisakan celana dalamnya saja. Meski berpenampilan gagah bak pesepak bola, tidak banyak yang tahu Mario jarang mandi. Saat ditanya alasannya, katanya mandi malam bikin gampang reumatik. Setelah mendengar jawabannya, teman-temannya sebisa mungkin menghindari masuk kamar Mario. Bahkan saat Ganda menceritakan pengalaman horornya, dia meminta Mario jaga jarak. Untung dia tidak tersinggung.
Tanpa menyingkirkan pakaian yang tergeletak di lantai, Mario merangkak naik ke kasur, menarik selimut lalu rebahan. Dihidupkannya beker dan bersiap menjelajah mimpi.
Di antara tidur ayamnya, Mario merasa telapak kakinya seperti ditiup. Bukan udara hangat, melainkan hawa dingin persis kesiut.
Sembari membetulkan posisi selimut, Mario mengerjap. Merasa ada yang ganjil, dia memicing untuk memastikan sosok samar berdiri di pintu kamar. Kantuknya seketika lenyap. Dia kembali menatap plafon sambil berpikir. Jantungnya berdetak cepat. Selimut sedada bakal memamerkan kaki jenjangnya saat ditarik untuk menutupi muka. Dia membayangkan sosok itu akan menggelitiki kakinya. Alhasil, Mario hanya mengubah posisi tidurnya. Miring, menghadap tembok.
Saat itulah kekehan terdengar, menyusul gumaman serupa rapalan.
Etan-Kulon-Kidul-Lor. Ewang-ewangono ingsun nandang....
Mario mulai ketakutan. Giginya gemeretak. Pelan, dia merasa kasur di belakangnya seperti tertumpu beban. Tengkuknya ditiup. Tiba-tiba, gumaman itu menipis lalu senyap.
Ingin rasanya Mario terpejam, tetapi bola matanya seperti dipaksa terbuka. Seolah ada yang menarik kelopak matanya hingga maksimal.
Tak lama, hidungnya mengerut. Aroma anyir tercium.
Allah, Tuhan kami. Raja dari segala raja. Engkau yang memiliki kuasa dan kehendak atas apa yang terjadi di dunia ini. Engkau...
Doanya belum tuntas ketika satu entakkan berhasil membalik bandannya, atau dia sendiri yang ingin mengakhiri ketakutannya dengan menamatkan wajah pucat tanpa senyum, ketika posisi tidurnya menghadap ke arah berbeda. Mulut sosok itu lebar, menganga.
Bersamaan dengan penampakan itu, Mario seperti disetrum. Dia beranjak dari kasur dan berlari. Beruntung kamarnya tidak terkunci, jadi dia bisa keluar dengan mudah, menyeberang, dan mengetuk kamar Dirga yang masih menyala.
"Sebentar," ucap Dirga pelan. Pintu kamarnya terbuka setelah terdengar bunyi anak kunci bergeser. Tanpa menunggu izin, Mario melesak masuk. Bulir keringat tercetak di dahinya.
Sedikit enggan karena aroma tak sedap mulai tercium, Dirga terpaksa menyilakan Mario duduk di kasur dan menawarinya minum. "Jangan lupa napas, ntar bikin repot."
Rencana Mario mengumpati Dirga balik, urung. Teringat teror yang baru dialaminya, lebih bijak diam daripada diusir.
Sembari menyesap segelas air, Mario mengedarkan pandangan. Baru kali ini dia memasuki kamar Dirga. Buku-buku tertata rapi di atas lemari, sementara mejanya digunakan untuk meletakkan alat tulis, celengan, pelembab wajah, termasuk wewangian dan juga laptop yang masih menyala. Ukuran kamar mereka persis, tetapi milik Dirga terasa lebih lapang.
"Ada apa?" tanya Dirga curiga.
Mario memandangi bagian bawah tubuhnya. Dia sadar ada yang janggal. Sepelan mungkin, tangannya bergerak menutupi pangkal pahanya.
"Mau diantar ambil baju atau pinjam bajuku dulu?" tawar Dirga saat menyadari keadaan Mario.
"Pinjam dulu aja, ya. Makasih." Aroma ketiak Mario menyebar, memancing senyum kecut Dirga.
"Kapan terakhir kali mandi?" Dirga membuka lemari pakaian.
"Pagi tadi."
Dirga menyodorkan kaus dan juga kolor. Mario gercep menerimanya.
"Untung aja masih satu ukuran. Eh, Mar, kurang-kurangin tidur telanjangnya. Kalau ada gempa, kan, repot."
"Baru kali ini aku ngalamin kejadian horor begini, Dirga." Mario mengindahkan perkataan cowok itu, tetapi bersemangat menyelipkan prolog ceritanya. "Ada yang masuk ke kamar dan tidur di sebelahku." Dia berpikir sejenak, menimbang-nimbang. "Benar kata Ibnu tadi. Semua ini gara-gara Ganda jadi kebawa mimpi buruk."
"Maksudmu mimpi ketemu cewek wajahnya pucat, rambutnya panjang, terus mulutnya mangap?"
"Kok tahu?"
"Di film-film horor kan begitu penampakannya," Dirga berkilah.
Sembari bercerita, Mario mulai mengenakan pakaian pinjamannya. "Tapi kayak bukan mimpi tadi. Orang aku pas keluar kamar dia masih tiduran di kasur. Pokoknya serem."
"Itu tadi Mbak Kunti. Kamu juga sih nantangin." Dirga mendaratkan pantatnya di kursi, membelakangi Mario.
"Nantangin gimana?"
Tangan Dirga meraih tetikus, mematikan laptop, kemudian berbalik memandangi Mario yang kebingungan. "Sebelum masuk kamar, kamu tadi sempat ngomong kalau mau ketemu sama mereka, kan?"
"Tadi itu kan cuma bercanda."
"Memangnya mereka tahu?"
Wajah Mario mendadak pias. "Terus, gimana, dong? Masa malam ini aku harus pindah tidur ke kamar kamu? Kan, sungkan," akal bulusnya.
"Enak aja. Selain aku nggak mau ada orang lain di kamarku, kamar sempit buat berdua. Baumu juga asem."
"Janji bakal mandi, deh."
"Nggak mau."
"Pelit amat. Terus gimana?"
"Tau."
Mata Mario mulai berkaca-kaca. "please."
Sejenak Dirga merenungi nasib temannya itu. Iba. "Tapi ada syaratnya."
Mario mengangguk-angguk dan tersenyum lebar.
"Pertama, jangan bilang siapa-siapa kalau aku mau bantu," lanjut Dirga. "Resep ini turun temurun dari keluargaku."
"Turun temurun?"
"Kedua, jangan banyak tanya."
Mario memasang tampang pasrah. Sekilas, dia melirik laptop Dirga yang sudah mati. "Apa lagi? Kamu nggak lagi ngomong pakai bahasa kalbu, kan?"
Seringai tak bersahabat muncul di wajah Dirga.
"Maaf," imbuh Mario pelan. Sedikit menunduk.
"Mulai besok, kamu harus cuci kaki sama cuci muka kalau dari luar rumah. Sama bersihin ketekmu yang bau busuk itu. Mandi, biar aura jeleknya pergi. Mereka suka sama yang auranya gelap."
"Mentang-mentang kulitku gelap, terus kamu pikir auraku gelap juga? Menghina." Mario berdiri dan meninju pelan bahu Dirga agar menarik perkataannya. Temannya itu tidak tertawa apalagi marah mendapati reaksi Mario. Sebab, dia tidak sedang bercanda.
"Oke, maaf. Boleh dilanjut. Aku akan diam dan pasang telinga baik-baik."
"Ketiga, kamu mau tahu sosoknya seperti apa? Aku bisa bantu," canda Dirga.
Mario menggeleng cepat. "Nggak usah. Makasih."
"Terus, kamu punya sapu lidi di kamar?"
Mario mengernyit. "Buat apa ada sapu lidi di kamar segala? Kan, bisa pakai sapu rumah biasa?"
"Bukan buat nyapu, tolol. Buat ngusir kuntilanaknya, Mario Lambreta."
"Mario Larnbeta. Bukan Lambreta, dasar bencong salon," ralat Mario sambil memicing.
Dirga melebarkan bola matanya. "Ya. Larn-be-ta!"
"Jangan emosi. Guyon, Dirga. Guyon," berganti Mario yang terkekeh. "Dan aku bisa pastikan nggak ada benda itu di kamarku." Dia menambahkan gelengan untuk mempertegas keterangannya. "Apa nggak ada jimat gitu? Kayak di film horor yang pernah aku tonton. Atau, tulisan-tulisan di kertas dimasukin botol terus digantung di depan pintu, misalnya?"
Kesabaran Dirga sepertinya sudah diambang batas.
Cepat-cepat Mario mengembalikan suasana hati laki-laki itu. "Sori... emangnya buat apa sih benda-benda itu?"
"Kalau kamu punya sapu lidi, kebas ke seluruh kamar. Mirip ngusir ayam. Kalau nggak ada sapu lidi, ada gunting atau paku di kamarmu?"
"Dirga, kerjaanku jualan sepatu ya, bukan tukang bangunan apalagi penjahit," balas Mario galak.
"Mereka takut sama benda-benda tajam, goblok." tukas Dirga pedas.
Bola mata Mario membulat. "Oh, gitu."
"Ada?" Dirga memastikan.
Mario menggeleng. "Bisa nggak, kamu ke kamarku buat ngusir mereka? Biar nggak ganggu-ganggu lagi."
"Mana bisa." Dirga benar-benar kesal mendengarnya. "Kalau aku bilang kuntilanaknya sudah pergi dari kamar kamu, gimana? Tadi itu, dia cuma mau kenalan. Ini aku sekalian bilang ya, jangan ngomong sembarangan lagi, apalagi nantangin. Bisa-bisa mereka datang tapi nggak mau pergi. Mau?"
"Serius?"
"Serius buat apa? Kalau kuntilanaknya sudah pergi, iya. Kalau nantangin, iya banget."
Mario berdecak. "Memangnya kamu bisa lihat mereka?"
"Kadang-kadang aja," koreksi Dirga.
Gurat di wajah Mario masih menunjukkan ketidakpercayaan.
"Bisa lihat sedikit. Kalau mereka mau memperlihatkan diri," imbuh Dirga.
Mario mendekat, penasaran. "Kira-kira, di kamarmu ini ada penunggunya, nggak?"
Dirga menggangguk. Air mukanya begitu tenang saat menatap Mario yang mendadak panik.
"Di mana?" tanyanya sembari mengawasi tiap jengkal kamar Dirga yang mungkin menampakkan hal ganjil sebelumnya.
"Dia ada di sebelahmu waktu kamu duduk tadi. Sekarang, dia sudah geser."
"Kamu lagi bercanda, kan? Nggak lucu!" Mario tertawa kecil, meremas tengkuknya.
Jari telunjuk Dirga terarah kepada sosok tak terlihat, di posisi duduk Mario sebelumnya. "Dia tadi yang ada di kamarmu, rambutnya panjang, kan? Sekarang dia lagi nunduk di kamar ini, terus―"
"Stop!"
"Nah, karena sudah nggak ada Mbak Kunti-nya di kamarmu, mendingan kamu balik. Di sini malah ada penunggunya...."
Mario menggeleng kuat-kuat. "Paling nggak, di sini aku nggak bakal ketakutan sendirian," potongnya cepat sambil memutar kunci pintu kamar Dirga. "Anterin aku ke kamar mandi, ya."
"Ogah."
"Kamu mau nyium ketekku semalaman?" Mario mengangkat lengannya tinggi-tinggi.
"Siapa juga yang ngizinin kamu tidur sini?"
"Apa kamu mau aku nggak tidur semalaman terus besoknya kena serangan jantung soalnya minum kopi seharian biar nggak ngantuk di toko?"
"Teori dari mana itu?"
Mario menggerakkan alisnya. Berniat bercanda, tetapi dia lebih memilih wajah mengiba daripada tertawa. Terpaksa Dirga berdiri mengantar Mario ke kamar mandi karena kasihan.
"Thanks, Dirga. Malam ini aja biar aku tenang. Mulai besok dan seterusnya aku bakalan ngelakuin apa yang kamu saranin tadi."
Kegiatan di kamar mandi tergolong cepat. Lima menit kemudian Mario sudah keluar dengan badan segar. Dia sempat menggigil lalu secepatnya kembali ke kamar Dirga dan bergelung. Untung kasur yang disediakan pihak kos masih muat untuk dua orang. Mario semringah begitu berbaring dan menggesek-gesekkan kakinya, kemudian merentangkan kedua tangannya.
"Ngapain?" tanya Dirga.
"Sini aku peluk sebagai tanda terima kasih."
"Najis!"
Mario memasang tampang pura-pura kecewa. "Awas aja kalau nanti malam minta ndusel."
"Setan!"
Mereka tergelak.
Karena cukup mengganggu, Dirga memperhatikan kembali sosok yang sedang memeluk Mario dari arah belakang. Sosok itu sepertinya sadar diawasi sedari tadi. Dia memicing, Dirga membalas menegur dalam hati, "Keluar, kami mau istirahat. Tempatmu bukan di sini."
Sosok itu lenyap sebelum Dirga berbaring di sebelah Mario. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar.
"Kamu percaya kalau Ganda bisa lihat genderuwo?" tanya Mario asal.
"Memangnya kenapa?"
"Aku sempat ragu. Reaksinya terlalu santai. Sekarang aja dia bisa tidur nyenyak di kamar. Sampai aku tidur di kasurmu tadi, aku ngerasa dia masih ngikut. Beberapa kali tengkukku kayak ditiup." Mario mengganti posisi tidurnya dengan membelakangi Dirga. "Ah, sudahlah. Aku mau tidur. Makasih banyak udah diizinin tidur di sini."
"Malam ini aja."
"Iyo."
Dirga ikut mengubah posisi tidurnya dan saling membelakangi. Matanya menatap ke arah pintu seolah punya kemampuan menembus tembok atau kayu. Dia merasa sosok itu masih berdiri di baliknya.
Perasaannya tak enak.
Dirga ragu apakah memberi saran kepada Mario tadi adalah tindakan benar. Dia menyadari terlalu berbahaya membeberkan sekelumit jati dirinya, berkenaan dengan kemampuannya melihat hantu. Untung Dirga cepat sadar untuk berhenti sampai di situ. Sebab jika diteruskan, Mario akan tahu bahwa dia memiliki kemampuan mengundang atau mengusir mereka yang tak bisa dilihat oleh mata normal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top