Bab 27 : Pemancing Andal

Beberapa kali arwah Irul muncul dan membuat Dirga terkejut. Selain pucat, ketidakramahan juga melekat di wajahnya yang tirus. Terlebih saat Ade berselisih jalan dengan Irul. Dirga hanya bisa menebak, ada yang tidak beres dengan arwah yang masih berkeliaran di dunia. Mengira-ngira lebih jauh lagi, sepertinya Irul ingin kembali ke alamnya, tetapi tidak bisa. Atau, Ade sengaja membelenggunya? Mendadak Dirga merinding memikirkan kemungkinan itu.

Kini, di ruang tamu Ade, Dirga segera duduk setelah dipersilakan. Pemilik rumah pamit ke belakang untuk membuatkannya minum. Meski sungkan, Dirga merasa kesempatan meminta minum bisa digunakannya untuk memeriksa rumah Ade.

Baru saja Dirga berdiri dari tempat duduk, Irul langsung menjulurkan telunjuknya ke salah satu pintu di ruang tengah, sedikit jauh dari dapur. Meski bingung karena Irul seperti bisa menebak niatnya, mau tidak mau Dirga mengangguk dan melangkah cepat. Karena tidak bisa memprediksi apakah arwah itu benar-benar membantu atau malah menjebloskannya ke dalam masalah, Dirga berkeyakinan bahwa tidak ada salahnya memercayainya.

Ketika Dirga menempelkan tangan di pintu yang ditunjuk Irul, benda itu tidak terkunci. Dia mendorongnya, kemudian mengintip melalui celah. Suasananya temaram. Sedikit ragu, dia mendorong pintu lebih lebar dan melangkah masuk, membiarkan pintu terbuka untuk mempermudah melarikan diri jika dirasa perlu.

Begitu masuk, aroma wewangian langsung menusuk penciuman. Dirga memicing, memusatkan perhatian. Jantungnya berdentam.

Sebuah meja persembahan terlihat.

Dirga mendekat, memperhatikan satu persatu peralatan dan juga perlengkapan di atas meja. Matanya terkunci pada mangkuk berpasir. Bibirnya gemetar.

Kenapa ada foto Pak Suyitno dan Bu Eti di sini? Dirga membatin sembari meneliti foto lain. Foto Zainal juga?

***

Terdengar suara lirih dari arah dapur. "Pak Dirga, maaf. Gas saya kebetulan habis. Minum air putih saja nggak apa-apa?"

Tidak ada jawaban.

"Pak Dirga!" panggil Ade kembali seraya mengeraskan suaranya dari arah dapur.

Lagi-lagi, tidak ada balasan.

Sembari menekan dispenser air, Ade memanggil kembali nama Dirga. Namun, tidak ada sahutan. Akhirnya setelah gelas minum penuh, Ade tergesa kembali ke ruang tamu.

Dari arah dapur, betapa lega perasaan Ade ketika melihat Dirga masih ada di ruang tamu. Dirga menunduk sambil memandangi ponselnya.

Pantas saja, lagi main hp. Ade melangkah dengan tenang.

"Pantesan ditanya nggak menyahut. Ternyata lagi main hp, tho," kata Ade lantang dari arah dapur.

Dirga mendongak, menekan kegugupannya. "Maaf. Ada apa, Pak?"

"Gas saya kebetulan habis. Jadi saya cuma bisa kasih air putih saja. Nggak apa-apa, ya, Pak?"

"Ng―" Betapa terkejutnya Dirga menyadari pintu kamar yang dimasukinya tadi belum menutup sempurna. Mungkin karena terburu-buru, dia tidak memperhatikannya. Ya Tuhan, bodoh sekali. Apalagi kurang beberapa langkah Ade bisa melihatnya. Ketegangan kembali merambati benaknya.

Tiba-tiba, seperti ada angin yang mendorong dari dalam kamar, pintu itu menutup perlahan.

"Terima kasih," ucapnya dalam hati. Kemudian, Dirga membalas Ade dengan tenang. "Nggak apa-apa, Pak. Maaf, merepotkan."

"Sama sekali nggak merepotkan. Silakan diminum."

Dirga menerima uluran gelas dengan wajah sungkan. "Terima kasih."

Tegukan Dirga terasa tidak nyaman. Ade seperti ingin segera membahas perihal apa yang membuatnya sampai bertamu.

"Ada perlu apa Pak Dirga mencari saya?" tanya Ade.

Dirga meletakkan gelas minumnya sebelum membuka mulut, "Soal pocong yang Pak Ade bahas tadi siang...." Irul menggeleng. Dirga kebingungan mengartikan, tetapi lebih bingung lagi mencari alasan atas kedatangannya malam ini. Akhirnya, dia berkata seperti niatan awalnya bertamu. "Kenapa Pak Ade menyebutnya sebagai eksekutor?"

Punggung Ade menempel pada bantalan kursi. Dia meraih sebatang rokok, memantiknya sembari mencari celah kebohongan dari raut wajah Dirga. Tapi, untuk apa?

Detik berlalu. Wajah Dirga masih memperlihatkan ketidaktahuan. Dia bahkan ikut menempelkan punggungnya di bantalan kursi, menunggu Ade buka suara. Sampai akhirnya rokok Ade hampir habis karena beberapa kali diisap kuat-kuat, barulah dia bersuara.

"Apa Pak Dirga tahu kenapa pocong bisa muncul di dunia ini?"

Dirga menggeleng lemah. Selain tidak menyukai sosok tak kasat mata itu, dia tidak pula berminat mencari asal-usulnya, kepentingannya, atau apapun yang berkenaan dengan hantu bertali seperti guling itu.

"Kemunculan pocong selalu ada sebabnya, tapi saya juga hanya tahu sedikit. Mungkin, ada dendam yang membuat mereka nggak bisa diterima bumi atau jin yang menyerupai dan berniat mengganggu kehidupan kita."

Dirga mengangguk lambat.

"Yang patut diwaspadai, karena mereka termasuk level tinggi, jadi dia hanya mau bekerja sama untuk mengganggu kita dengan yang levelnya sama atau yang lebih tinggi."

Kok mirip ayam geprek? Pakai level segala, Dirga membatin.

"Jangan samakan pocong yang saya bahas dengan makanan pedas itu," kata Ade seolah bisa membaca isi pikiran Dirga.

"I-iya, Pak. Terus, apa hubungannya dengan Wojogeni? Kenapa dia bisa jadi eksekutor? Dan, kenapa harus di rumah kos tusuk sate?" tanya Dirga supaya bahasan tentang pocong bisa ringkas dan jelas.

"Nah, itu pertanyaan yang belum bisa saya jawab sekarang sebelum berkomunikasi langsung dengan mereka. Mungkin caranya adalah dengan berkunjung ke kos tusuk sate untuk mencari tahu."

"Kapan Pak Ade bisa ke sana?" tanya Dirga, bergas.

"Lusa saya libur."

"Kenapa nggak besok saja, Pak?"

"Saya masuk pagi."

"Kalau begitu, sore saja sepulang kerja. Bisa?"

Ade berpikir sejenak. "Baiklah. Besok sore saya ke sana. Pak Dirga juga harus siap-siap."

"Iya, Pak." Dirga menggaruk kulit kepalanya yang tidak gatal. "Hmm, soalnya perasaan saya agak nggak enak kalau membiarkan masalah ini berlarut-larut. Saya kasihan sama Zainal dan Ibnu."

"Saya tahu bagaimana terganggunya seseorang dengan makhluk-makhluk tak kasat mata itu."

Setelah anggukan Dirga berakhir, sepertinya tidak ada lagi pembahasan. Air putih dalam gelas pun sudah tandas. Jadi, hal lain yan perlu Dirga lakukan adalah pamit pulang.

Ade dengan senang hati mengantarnya sampai pintu depan. Sebelum berlalu, Dirga sempat bertanya, "Kenapa penunggu pohon ketapangnya nggak berisik seperti biasanya, Pak?"

"Kurang tahu. Sepertinya ada orang yang berhasil menjinakkan mereka."

Perkataan Ade terbawa Dirga sampai pulang. Dia masih berpikir bahwa orang yang mencegatnya sebelum masuk ke rumah Ade mampu menguarkan aura misterius. Sepertinya, usianya tidak jauh beda dengan Ade. Namun, menilik pakaian yang biasa saja, Dirga jadi ragu. Potongannya terlampu umum untuk disebut dukun. Malahan, penampilan Ade lebih masuk akal disebut dukun. Mata orang itu sipit seperti salah tempat dengan kulitnya yang legam. Rambutnya pun keriting.

"Mau ke rumah Ade, Mas?" tanya lelaki itu pelan sebelum Dirga memasuki pekarangan rumah Ade. Dirga sengaja turun dari ojek online sedikit jauh dari kediaman Ade.

"Iya, bapak siapa?"

"Koko."

"Pak Koko juga mau ke rumah Pak Ade?"

Koko menggeleng. Dirga menatap bingung.

"Saya kebetulan lewat."

"Oh...."

"Mas mau periksa sesuatu di rumah Ade, ya? Kalau iya, coba ke ruang tengah. Kalau ada meja persembahan berisi macam-macam bunga dan wewangian nggak biasa, orang-orang yang ada di sekitar Mas mulai malam ini dan seterusnya harus hati-hati."

"Maksud Pak Koko apa?"

"Saya hanya memberitahu apa yang bisa saya rasakan dan lihat dari mata batin saya. Sepertinya, aura Mas begitu menarik perhatian."

Suara berisik dari pohon ketapang tiba-tiba menyeruak. Dirga sampai mengernyit. Kemudian, mereka sama-sama memandang ke arah pohon ketapang. Koko menunjuk pohon itu dan berkata lirih, tetapi tertangkap jelas oleh telinga Dirga.

"Diam!"

Makhluk-makhluk itu pun mendadak bisu.

Koko tersenyum, lalu mempersilakannya masuk. Anehnya, Dirga menurut dan tidak bertanya lagi. Orang itu bahkan tidak bertanya siapa namanya. Hanya saja, perkataan Koko mengenai meja persembahan begitu menarik minat Dirga. Selain ingin mengetahui masalah pocong, dia juga berniat memastikan bahwa Ade adalah seorang dukun, persis seperti yang dipikirkannya selama ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top