Bab 24 : Tiupan Terkembang
Tangga samping tidak sama lagi bagi penghuni kos rumah tusuk sate, terlebih Mario. Dia berhati-hati saat meniti turun. Sampai-sampai, kuapnya menghilang begitu menemukan Suyitno mengintip dari dapur utama ketika kakinya menjejak anak tangga terbawah. Mario memekik, mengelus dadanya untuk mengusir kejut.
"Selamat pagi," sapa Mario.
"Pagi," balas Suyitno ramah. Sepersekian detik Mario merasakan keanehan pada bapak kosnya itu.
"Mau berangkat kerja?" Suyitno menambahkan sembari tersenyum. Suara alas cangkir tergeletak di meja keramik dapur terdengar, berikut suara adukan sendok. Anehnya, dia masih memamerkan senyumnya.
"I-iya, Pak. Kebetulan hari ini barang datang pagi." Mario mengangguk sungkan, "Permisi."
Ketika Mario akan melangkah kembali, Suyitno menghentikannya dengan bertanya,"Bagaimana kabar Nak Zainal?"
"Baik. Tadi pagi sudah pulang. Sepertinya sekarang masih istirahat," tandasnya.
"Datang jam berapa?"
"Tadi pagi," ulang Mario.
"Kenapa nggak dirawat di rumah sakit saja?"
"Zainal-nya yang nggak mau," balas Mario cepat, lalu mencoba pamit kembali. "Pak, saya berangkat kerja dulu."
"Iya, hati-hati."
Sembari mengaduk kopi pagi yang harumnya mengisi udara, senyum Suyitno belum juga raib ketika Mario menoleh dari sisi samping pintu pembatas, sebelum benar-benar pergi. Mario merinding sebadan-badan.
***
Menatap satu-satunya jalan menuju jalur utama, Mario dibuat ngeri ketika membuka pintu pagar dan menutupnya cepat. Selain perangai bapak kosnya yang mencurigakan, gesekan daun mangga tertiup angin mengingatkannya akan malam nahas Ganda bertemu penunggunya. Lekas Mario mengunci pintu pagar dan sedikit merunduk sebelum melangkah pergi.
"Cowok!" seru Sri dari balik kaca warung sambil menyisir rambutnya dengan tangan. Mario berhenti melangkah, menautkan alisnya. "Mampir dulu. Belum sarapan, kan?" lanjutnya setelah berdiri di ambang pintu. Lagu Goyang Dombret terdengar dari dalam warung.
Keraguan sempat mengisi benak Mario. Selain dia berbohong kepada Suyitno supaya tidak perlu berlama-lama mengobrol, dia juga malas mengulang cerita yang sama mengenai Zainal kepada siapa pun, termasuk Sri.
"Kebetulan barang datang pagi, Bu Sri. Jadi harus buka toko cepat untuk pameran."
Sri melangkah menuruni tangga warung, lalu menggandeng tangan Mario supaya turut. Sebenarnya, lebih ke pemaksaan. Mario tidak berkutik.
"Duduk dulu," Sri berkata ramah seperti biasanya. "Teh atau kopi?" tawarnya.
"Teh. Hangat," balas Mario, kemudian tertawa. Dia tidak menyangka segampang itu luluh.
"Mau dibuatkan mi juga?"
"Boleh. Mi kuah ya, Bu Sri. Terima kasih."
"Eh, maaf. Belum bisa. Gas-ku habis," Sri meralat tawarannya. "Tapi tenang saja, sebentar lagi tukang gasnya datang."
"Terus kalau nggak ada gas, tehnya bagaimana?"
Terdengar kursi bergeser di dekat Mario. "Itu juga nunggu. Kan lagi nggak ada gas. Gimana, sih?"
Mario mencureng. "Tahu gitu―"
"Temanmu bagaimana keadaannya?" potong Sri, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Bisa ditebak, pembahasan akan merembet ke kejadian dini hari tadi. Sri sengaja menunggu penghuni kos rumah tusuk sate yang lebih dulu terlihat untuk dimintai keterangan.
"Zainal sudah sehat, Bu Sri. Anaknya ada di kos. Lagi istirahat. Sepertinya belum bisa dijenguk dan belum bisa ke mana-mana soalnya masih pakai pelindung leher. Masih di-observasi juga sama pihak rumah sakit. Untuk sekarang, pokoknya dia aman."
Sri manggut-manggut dan tidak menyela sekecap pun penjelasan Mario.
"Assalamualaikum."
Mendengar salam seseorang dari luar warung, keduanya melongok melalui kaca. Mereka beradu tatap beberapa detik setelah tahu siapa yang mengunjungi warung Bu Sri sepagi itu.
"Alaikum salam," balas Sri sambil beranjak dari kursi. Saat Mario berniat beranjak dari tempatnya juga, Sri sudah lebih dulu memelotot. Alhasil, dia kembali menempelkan pantatnya. Nyalinya menciut.
"Koen ancene gak genah (kamu itu memang tidak patut)," omel tamu Sri.
"Opo seh (apa sih), Djum?" balas Sri sembari mengumbar tawanya. "Isuk-isuk kok wis ngilokne wong gak genah (pagi-pagi kok sudah memaki orang tidak patut)."
Djum―penjual isi ulang tabung gas berusia 40 tahun lebih, berbadan kekar dengan rambut keriting mi dicepol di atas―berdiri di ambang pintu sambil mencangking gas melon. "Gara-gara koen, isuk-isuk aku wis padu ambek bojoku (karena kamu, pagi-pagi aku sudah bertengkar sama istriku)."
"Lha kok iso (kok bisa)?" Sri tergelak.
Tangan Djum merogoh ponsel dari dalam saku dan menunjukkannya kepada Sri. Sri terkekeh mengingat pesan yang dikirimkannya subuh tadi. Menurut Sri, pesannya biasa saja. Dia hanya mengirim pesan untuk mengisi ulang tabung gas dan menambahkan emoticon cap bibir di akhir ketikan. Mana tahu kalau pesan itu dibaca istri Djum dan menjadi perkara rumah tangga sahabatnya itu.
"Kalau dicium beneran sih nggak apa-apa tiap hari diomeli sama istriku." Djum mendekatkan layar ponselnya ke muka Sri lagi. "Lha ini cuma gambar, thok."
"Lambemu (mulutmu)!"
Mereka tergelak. Sri lalu mempersilakan Djum masuk untuk menuju dapur yang menyatu dengan meja makan, dan hanya dibatasi multipleks. Penjual gas itu langsung bertindak setelah Sri mengambil tempat duduk untuk mengawasinya.
Djum duduk di lantai supaya mempermudah pekerjaannya. Saat menoleh, dia baru sadar ada orang lain selain Sri di warung. Mario mengangguk kecil sewaktu pandangan mereka segaris.
"Kamu juga ditawari Sri buat di-openi (rawat)?" tanya Djum dengan mimik muka jail.
"Heh," Sri menepak pundak liat Djum. Saking kerasnya sampai Djum mengaduh. "Ngawur koen (sembarangan kamu)."
"Guyon, Sri, guyon. Kamu ini kalau bercanda ke orang lain nggak pernah dipikir, tapi kalau dibercandain balik nggak mau. Iya kan, Mas? Eh, Mas siapa namanya? Mas mirip pemain bola."
"Saya Mario, Pak Djum. Saya bukan pemain bola, cuma jual sepatu bola."
"Panggil Lik Djum saja seperti yang lain."
"Iya, Lik Djum."
"Mario ini yang nge-kos di depan situ lho, Djum." Tunjuk Sri ke rumah tusuk sate dengan dagunya. "Yang biasa ganti tabung gas di kamu juga."
"Oh, kos angker itu?"
Mario melongo. Susah payah dia menelan ludahnya, sementara Sri menyengguk lambat.
"Seingatku, kamu tahu ceritanya juga, kan? Yang bikin geger sekampung dulu itu?" Sri mencoba menegaskan.
Djum melepas selang tabung gas lalu mengambil karet serta pisau untuk pekerjaannya. Dia berhenti sebentar dan menoleh kepada Mario yang sepertinya menunggu kelanjutkan ceritanya.
"Yang mati bunuh diri waktu itu?"
"Ho oh."
"Bu Sri pernah cerita ke saya juga, kan?" Mario memutar kembali ingatannya. Sri mengangguk-angguk lagi.
"Iya, yang kamar pojok itu. Tapi aku lupa kamar yang mana." Sri menepuk lagi pundak Djum. "Kamu masih ingat kamar yang mana? Waktu itu kamu ikutan nolongin, kan?"
Tiba-tiba Mario merinding. Tebersit enggan di benaknya. Dia ingin menghentikan pembahasan, tetapi mendapat informasi dari mereka bisa jadi petunjuk untuk langkah kawan-kawannya selanjutnya. Siapa tahu Ade juga butuh informasi mengenai kamar pojok. Jadi, Mario mempertajam pendengarannya.
Djum mengernyit. Dia mengarahkan pandangannya kepada Sri dengan wajah memelas. "Tapi nanti aku dimarahi sama Bu Eti dan Pak Yit kalau sampai anak kosnya kabur semua," kemudian, dia menoleh ke arah Mario. "Lupakan saja, Mas."
"Nggak apa-apa, Lik Djum. Kami nggak mungkin kabur."
"Mereka ini anak-anak miskin, Djum," seloroh Sri seperti motor tanpa rem. "Nggak mungkin kabur soalnya sudah aku suruh pindah dari dulu nggak ada yang mau. Harga kosnya Bu Eti kan memang di bawah rata-rata."
Mendengar penjelasan Bu Sri kenapa bikin telingaku panas, ya? Mario memasang tampang masam.
"Jadi, aman?" Djum meminta persetujuan. Mario dan Sri mengangguk lambat.
"Aku lupa kapan tepatnya. Sepertinya nggak terlalu lama. Tiga atau empat tahun lalu. Iya, kan, Sri?" Djum mencoba mengingat-ingat.
"Ho oh," balas Sri. Mario ikut memasang tampang serius.
"Sayangnya aku nggak terlalu kenal sama yang kos. Jadi, nggak paham keseharian mereka." Djum melanjutkan pekerjaannya. Tanpa memandang kedua pendengar setianya itu, dia membuka kembali omongan. "Tapi yang aku dengar, keduanya memang pendiam dan lagi ada masalah keluarga."
Djum berdiri dari lantai untuk mencoba menyalakan api kompor setelah menarik otot-otot pinggangnya. Bunyinya sedikit meriah. Setelah memastikan semuanya aman dan menyelesaikan pekerjaannya, Sri menawarkan teh hangat. Dia buatkan dua gelas teh, satu untuk Mario, satu untuk Djum, sambil memintanya melanjutkan cerita.
Selagi mengiakan, Djum memantik rokoknya. Dia embuskan asapnya sembari menawari Mario sebatang, tetapi ditolaknya halus. Mario memilih berkonsentrasi mendengarkan cerita.
"Waktu itu hujan. Kejadiannya sore hari. Dua kamar, yang satu ada di pojok―"
"Kamar pojok yang mana, Lik Djum?" potong Mario cepat karena letak kamar adalah bagian krusial dari informasi yang akan didapatkannya.
"Kamu tahu ruang tivi? Nah, kamar anak yang bunuh diri ada di sebelah ruang tamu, sementara kamar anak yang hampir gila atau mungkin sekarang sudah gila, ada di tengah."
Sri menyodorkan gelas teh kepada kedua orang itu. Mario menyeruput teh hangat pemberian Sri seperti kehausan, sambil memandangi kedua orang itu lekat. Terutama Sri, karena informasi sebelumnya darinya tidak valid. Dua kamar pojok yang diutarakannya keliru.
Ya, Tuhan. Kamar tengah itu kan ada kamarku dan kamar Dirga? Mario membatin sembari memegangi tengkuknya.
"Ada apa?" tanya Sri setelah kembali duduk di sebelah Mario.
"Sri!" Seseorang memanggil nama pemilik warung. Mereka bertiga menengok ke arah yang sama, ke arah pintu. Ketiganya hapal pemilik suara itu.
"Iya, Pak Suyitno," balas Sri diikuti Mario yang beranjak dari tempat duduk setelah menghabiskan teh hangatnya. Dia tidak ingin sampai bapak kosnya curiga.
Djum mengamati kedua orang itu. Dia memantik lagi sebatang rokoknya, lalu mengembuskan asapnya. "Nikmat mana yang kau dustakan," gumamnya seraya tersenyum lebar.
Karena takut lupa, Mario segera mengirim pesan kepada Ganda setelah pamit undur diri kepada Sri, Djum, dan juga Suyitno.
[Aku nanti ikut kalau mau ketemu Pak Ade. Ada informasi penting yang harus kalian tahu].
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top