Pukul 03.00.
Sejak Dirga masuk kamar dan mematikan lampu, dia belum juga terpejam. Rasa bersalah mengambil alih. Dia sampai tidak terganggu dengan penampakan dari balik pintu kamar. Sekalipun makhluk astral itu mampu menerobos masuk, Dirga tidak peduli.
Tak... ctak... kreeek....
Dirga buru-buru turun dari setelah mendengar pagar depan digeser. Dia mampu mendengar gumaman antara Ganda dan Mario dari balik tembok kamar. Perasaannya campur aduk. Cepat-cepat dia buka pintu samping dan mendapati tiga orang temannya memasuki halaman. Anehnya, bapak dan ibu kos tidak muncul. Mereka mencoba tidak peduli.
Disambut senyuman tipis dan wajah lelah Ganda serta Mario, Dirga merasa lega luar biasa. Apalagi melihat Zainal, yang meskipun berpelindung leher, tampak utuh dan baik-baik saja.
Dirga segera memberondongnya dengan tiga pertanyaan sekaligus, "Kok cepat pulang dari rumah sakitnya? Kok kamu bisa jatuh, Nal? Apa ada yang mendorongmu dari tangga?"
Zainal menghela napas panjang.
"Sebentar dulu," balas Ganda, mewakili kelelahan semua orang. "Yang penting sekarang, kita masuk dulu. Di luar dingin."
Ganda dan Mario cekatan memapah Zainal. Dirga mengekor. Meski dengan langkah hati-hati dan sempat berhenti saat memandangi tangga samping, keempat orang itu sampai juga di ruang tivi lantai dua. Tampaknya Dirga urung menanyakan kembali pertanyaannya sebelumnya, ketika melihat Zainal duduk lemah sambil menegakkan punggungnya di kursi panjang.
"Kalau sudah begini, sebaiknya kita panggil Pak Ade aja ke sini. Supaya bisa bantu kita keluar dari masalah ini," saran Ganda tanpa diminta.
"Kenapa nggak kita complain saja dulu yang punya rumah?" balas Dirga.
"Jawabannya pasti template: Nggak ada apa-apa di kos ini. Kalian jangan nyebarin hoax." Ganda menirukan suara Suyitno ketika mengatakannya.
Bibir Dirga mengerucut. Dia setuju dengan perkataannya, walaupun rasanya tidak terima. Pemilik kos selalu benar.
"Menurutku, kos ini sudah nggak aman. Kalau aku punya duit lebih, aku bakal pindah malam ini juga." Mario menarik napas panjang. Mata pandanya tampak mengganggu, "kalau nanti aku kaya, aku juga nggak mau cari tempat kos yang murah banget. Pasti ada apa-apanya," kali ini menambahkan dengkusan, "Tapi semurah-murahnya kos ini, seingatku nggak pernah sehoror ini. Ya, kan?"
Tiga orang lainnya setuju.
"Bukannya nanti malah mencurigakan kalau bawa Pak Ade ke sini?" Dirga mengulang pokok bahasan sebelumnya. Sepertinya dia belum memercayai sepenuhnya keberadaan Ade, apalagi pertolongannya.
Ganda memfokuskan pandangannya ke tangga induk sambil menaruh jari telunjuk di bibir. Dia berharap tidak ada yang muncul dari sana, menguping. "Pelan-pelan ngomongnya. Aku bakal urus semuanya besok."
"Caranya?" Mario turut menebalkan keraguan di wajah Dirga.
"Bilang saja kalau Pak Ade mau cari tempat kos. Mumpung ada kamar kosong. Pokoknya, aku bakal bawa Pak Ade ke sini buat lihat-lihat dulu. Dan yang terpenting, pas nanti orangnya ke sini, kita harus kelihatan nggak mencurigakan. Kalian harus pura-pura nggak kenal Pak Ade. Ibnu nanti aku yang urus," balas Ganda, mencoba menenangkan. "Eh, Ibnu mana?" Dia baru sadar mengenai keberadaan temannya itu setelah menyebut namanya.
Kepala Dirga menyentak ke arah kamar Ibnu. "Tidur."
"Bisa?"
"Ya, bisalah. Kebo dilawan," Mario menimpali pertanyaan Ganda dengan melawak. Karena tidak ada yang tertawa, hal itu menyadarkannya bahwa bercanda di situasi yang tidak tepat. Mario merunduk. "Sori."
"Tapi aku kayaknya nggak bisa ikut," Dirga berkata sungkan. "Aku harus lembur beberapa hari ini."
"Sama," Mario bersepakat, mendongak dengan harap-harap cemas.
"Tenang, aku yang akan menemui Pak Ade di mal." Ganda seperti ingin menyudahi pembahasan mengenai Ade.
"Kalau ada pilihan nggak harus ke rumah Pak Ade, memang lebih aman ketemuan di mal. Takut," Mario membalas.
"Iya. Aku juga mikir begitu," tutur Ganda.
Dari posisi duduknya, Zainal hanya bisa tersenyum sembari meneliti keadaan sekitar. Sekian detik beradu pandang, dia merasakan kejanggalan di diri Dirga. Zainal bersiap menepis segala prasangka. Namun, niatan itu raib ketika melihat pantulan sesosok makhluk gaib di kaca pembatas antara koridor dan ruang tivi lantai dua.
***
Matahari seolah datang terlambat ketika ditunggu-tunggu hadir. Sampai cerita Zainal hampir habis, di luar masih gelap.
Ganda dan kawan-kawannya seperti skeptis menjalani hari-hari belakangan di rumah kos. Hanya Ade harapan mereka satu-satunya.
Sejak Zainal pulang dari rumah sakit, hanya Ibnu yang masih terlelap di kamar. Tidak ada satupun dari mereka ingin mengganggu tidurnya, sampai satu persatu pergi ke kamar masing-masing untuk mendaratkan kepala barang sejenak. Kantuk tidak dapat mereka kompromi. Tinggal Dirga dan Zainal di ruang tivi.
Dirga yang sebelumnya letih, mencoba mengalihkan perhatian ketika memandangi Zainal yang tampak berbeda. Sesuatu telah mengubahnya dalam waktu singkat. Sesuatu yang sepertinya akan memburuk seiring waktu berjalan.
"Aku tahu wujudnya. Dia salah satu penunggu kos yang nggak bisa diprediksi kedatangannya. Tapi sekarang, aku bisa merasakannya."
"Mereka?"
"Kuntilanak yang menemui Mario. Genderuwo pohon mangga Ganda. Si Tuyul kamar mandi Ibnu. Dan, hantu jemuran."
Zainal menerawang jauh ke acara tivi yang entah sedang menyiarkan apa. Sepertinya dia terlalu menegakkan lehernya. "Hantu jemuran itu memperlihatkan diri. Aneh, kan?"
"Bukannya kamu bilang ngantuk, terus jatuh dari tangga soalnya belum sempat menginjak tangga teratas, lalu terpeleset? Aku belum tuli dan belum pikun, Nal."
Zainal terkekeh.
"Memangnya kamu nggak takut sama dia?" tanya Dirga kembali dengan wajah kesal.
"Nggak."
Dirga terdiam, menunggu perkataan Zainal selanjutnya. Dia mengalihkan pandangannya kembali ke layar tivi. Dirga menyadari, sepertinya benak Zainal sedang melayang jauh. Dia merasa ada hal penting yang akan diketahuinya sebentar lagi jika bersabar.
"Sepertinya dia mau mencelakaiku. Aku mau dijadikannya tumbal kalau sampai kepalaku kena pinggiran cor. Aku yakin ini ada hubungannya dengan keluargaku. Dengan Gunung Kawi," terang Zainal dengan tawa yang sepertinya salah alamat.
"Jangan ngomong begitu." Rasa bersalah Dirga makin menusuk. "Memangnya dia ngomong apa? Mereka, kan, jarang mau berkomunikasi?"
Zainal mengangguk pelan. "Ya, itu tadi. Aku mau dijadikan tumbal."
"Beneran?"
"Serius."
"Kalau begitu, kita harus segera pindah dari sini."
"Sepertinya sudah terlambat," Zainal menatap nanar.
"Kamu kok bisa bilang begitu?"
"Mereka, terutama sosok yang mencelakaiku itu nggak akan melepas target yang sudah dikunci."
"Aku masih sanksi dengan hal-hal semacam itu. Kamu pasti salah paham, Nal."
"Mereka nggak bisu. Aku ngeri waktu lihat matanya. Kayak macan nemu kambing yang mau diterkam. Dipepet di pojok jurang, terus pilihannya cuma mati tertangkap atau jatuh ke jurang."
Zainal menyibak kaosnya dan memperlihatkan dadanya yang bidang kepada Dirga. Satu tanda berwarna kebiruan terlihat. "Ini bekasnya tadi sebelum aku jatuh dari tangga. Dari sentuhannya aku bisa tahu niatnya. Saat itu, aku kira bakal mati―"
"Sepertinya besok kamu harus periksakan lagi kepalamu," potong Dirga supaya Zainal tidak meneruskan kalimatnya yang terdengar mengerikan seraya mengembalikan singkapan kaosnya.
"Kenapa?"
"Takut ada benturan di kepalamu terus otakmu jadi nggak beres." Dirga tertawa kecil. Zainal menepak lengan temannya itu.
"Semprul." Zainal mengembuskan napas panjang sambil tertawa geli. "Tumben-tumbenan kamu becanda garing gitu. Mulai ketularan Mario, ya?"
"Kamu beneran nggak mau tidur?" tanya Dirga, mengalihkan topik pembicaraan setelah menyelesaikan tawanya. "Mataku tiba-tiba berat."
Zainal menggeleng lambat dan memandang jauh ke depan. "Nanti saja aku tidurnya. Kalau kamu mau ke kamar duluan, silakan."
"Ho oh."
Dirga beranjak dari kursi panjang. Mario juga menghentikan kegiatannya menguping di balik pintu kamar. Dia yakin ada yang tidak beres dengan Zainal. Untuk ukuran seseorang yang nyaris mati, reaksi Zainal terlalu tenang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top