Bab 22 : Ketidaksengajaan Berbuntut Panjang

Keadaan yang gelap di dalam kamar biasanya membantu Dirga lelap, tetapi tidak malam ini. Pikirannya melayang, padahal fisiknya minta diistirahatkan. Begitu Dirga mengumpulkan keping-keping petunjuk yang berserakan, pusing menyerang.

Setelah pulang dan memeriksa keadaan Ibnu yang terlelap di kamarnya, Dirga kembali ke kamarnya sendiri dengan pikiran bercabang. Dia sedikit paham kenapa makhluk itu tidak seharusnya diusir, apalagi diundang kembali. Bagian terburuknya adalah sampai sekarang dia belum bisa mendeteksi keberadaannya lagi, selain informasi bahwa Zainal masuk rumah sakit karenanya.

Seraya menerka-nerka, penampakan Wojogeni yang terlihat berumur ribuan tahun terus mengikat perhatiannya. Terlebih aromanya. Aroma kesturi. Pernah sekali dia menghidu aroma itu di rumah sakit.

***

Dirga berjumpa Wojogeni untuk kedua kalinya di depan pintu pagar rumah kos, ketika gesekan antara daun mangga terdengar. Karena tidak berminat berurusan dengan makhluk tak kasat mata yang terus mengikutinya sedari rumah sakit, cepat-cepat dia membaca rapalan pengusir dari Mbah Putri.

Kulhu durhah.

Sato moro sato mati, janma moro janma mati, setan moro setan mati, buta moro buta mati, antu mara antu mati, iblis mara iblis mati. Ngaliho sing adoh nek kelakuanmu olo. Ojo ganggu aku, ojo ganggu konco-koncoku. Nek awakmu ora iso nulungi uripku, mending mangkato.

Nyingkriho sing adoh, rupamu olo. Ngaliho sing adoh, kelakuanmu olo.

Sekali ucap, dia berhasil mengusirnya.

Ketika itu, jarak mereka hanya sejengkal, dengan wajah menyeramkan karena bola matanya merah, rambut tergerai, serta tungkai panjang tak sempurna. Gerakan tangannya patah-patah seperti ingin menggaruk apa pun di hadapannya. Semuanya terasa janggal ketika diingat-ingat. Dirga merasa ngeri hanya dengan menatap, apalagi berada satu napas dengan makhluk itu. Dia tegas menolak.

***

Mundur ke beberapa jam sebelum Wojogeni mengikuti Dirga sampai ke rumah kos tusuk sate....

Malam itu Dirga pulang larut. Bersama Agus, mereka membesuk Sander yang dirawat di rumah sakit. Keduanya berangkat menggunakan sepeda motor Agus.

Tiba di rumah sakit, Dirga merasa ada yang aneh. Rumah sakit terlihat remang, bahkan dari tempat parkir. Berjalan melalui koridor yang temaram, awalnya Dirga merasa ada yang aneh dengan IGD yang terhubung langsung dengan bangunan utama. Tiba-tiba, sepasang mata melongok dari balik pintu kaca, sampai-sampai dia membuang pandangan karena saking terkejutnya. Hal itu disadari oleh Agus. Dia bertanya curiga. Dirga membalas dengan gelengan.

"Rumah sakitnya angker?" tanya Agus setelah beberapa kali menangkap basah pandangan janggal Dirga. "Kamu tadi ngapain balik ke kantor segala? Kan nggak terlalu ngeri kalau kita bareng sama yang lain?"

Dirga akhirnya menyerah, memandang Agus yang segera menelan ludah. "Ada yang ngikutin kita dari masuk rumah sakit sampai sekarang," terangnya, pelan.

Agus menyesal bertanya. Untuk menetralisir keadaan, dia mempercepat langkahnya mengikuti Dirga yang juga menambah kecepatan berjalannya.

Seketika Agus merapatkan jarak. Dia lalu mengarahkan pandangan ke kanan-kiri dengan manik mata awas. Agus mencoba menggerakkan lidahnya yang tiba-tiba kelu. "Nggak lucu kalau niatmu mau nakut-nakutin."

"Kamu yang nanya," balas Dirga tak mau disalahkan.

Selesai berkata seperti itu, Agus merinding. Selain celingukan, tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya. Sepertinya, Dirga enggan menyimpan ketakutannya sendiri.

Berkali-kali Agus mengumpat dalam hati karena tidak ingin menantang sesuatu yang tidak terlihat. Berkali-kali pula dia menyipit ke arah Dirga. Namun, berkali-kali itubpula Dirga memberi jarak dengan cara mengibas-ngibaskan tangannya. Tak lupa, dia memasang wajah galak supaya temannya itu tidak merapatkan jaraknya lagi.

"Jancuk," umpat Agus lirih.

"Jangan mengumpat di tempat asing." Dirga deg-degan setelah mendengar makian Agus.

Agus berdecak jengkel. "Nggak usah kebas-kebas tangan segala," sepertinya dia tidak menghiraukan perkataan Dirga.

"Bukan aku nggak mau kamu nempel di lenganku. Dia yang nggak kelihatan itu, sekarang nempel di dekatku. Eh, kamu malah nempel di sebelahnya. Aku kibas-kibas itu buat dia, bukan buat kamu. Sekarang ini kalian―" Dirga memotong ucapannya sendiri dengan berbisik, "dempet."

Kalau saja Agus tidak ingat berada di rumah sakit, mungkin dia akan mengumpat kembali ketika melewati koridor rumah sakit yang seperti tak ada ujungnya itu, sambil menjauh sejauh mungkin dari lengan Dirga.

Setelah pintu kamar nomor 20A terlihat, keduanya baru bisa menghela napas lega. Apalagi ketika menangkap samar-samar suara yang mereka kenal dari balik pintu. Teman-teman kantornya sedang tertawa-tawa dengan yang sakit, yang jelas terdengar paling kencang tertawanya. Mungkin mereka sedang menghibur Sander yang tergolek di rumah sakit karena tekanan darah tingginya kumat.

Begitu Agus membuka pintu, Dirga membeku. Keningnya berlipat memastikan yang dilihatnya nyata atau tidak. Terlebih, saat hidungnya menangkap aroma kesturi. Makhluk cantik yang menempeli Dirga sedari masuk rumah sakit mendadak raib. Besar kemungkinan karena makhluk yang ada di hadapannya kini sedang memasang tampang tak bersahabat. Dengan mata semerah darah, rambut hitam menjuntai, makhluk itu berhasil memancarkan aroma pertikaian.

Namun anehnya, hal itu berlangsung hanya sampai makhluk cantik yang ada di sebelah Dirga raib. Setelahnya, keramahan terbit, dan tak dapat ditampiknya. Senyum lebarnya begitu mengganggu. Makhluk tak kasat mata itu memilih posisi berdiri di atas kepala Sander yang sedang menegakkan punggungnya.

"Selamat malam, Mas," sapa Dirga dari balik punggung Agus.

"Lama banget?" cecar Sander.

"Gara-gara nyelesein kerjaan kantor dulu, jadi ditinggal sama yang lain. Maaf, ya." Agus menyodorkan bungkusan berisi buah-buahan, yang langsung disambut istri Sander dengan sigap.

"Kok repot bawa bingkisan segala," Sander berbasa-basi.

"Ya, kalau nggak mau, boleh aku bawa pulang lagi, nggak?" Agus bercanda.

"Tega?"

Yang lain ikut tertawa setelah Agus membalas dengan mengangguk kecil.

"Terima kasih sudah menjenguk," kata Sander sambil mempersilakan mereka duduk. Dia pun melanjutkan ceritanya mengenai penyakit darah tingginya yang minta perhatian. Sampai Sander harus menginap di rumah sakit selama dua malam. Seperti biasa, penjelasan itu keluar secara berlebihan.

Sementara itu, Dirga melangkah pelan menuju tempat duduk yang ada di samping tempat tidur Sander dengan perasaan waswas. Dia takut makhluk itu berulah.

"Semalam seperti ada yang nyekik sampai susah napas. Untung akunbisa baca doa, jadi yang nyekik kayak hilang gitu aja. Seingatku, antara mimpi atau bukan, yang nyekik matanya merah."

"Mas, jangan cerita yang seram dong. Aku lagi sendirian di rumah―" sambar Lia dengan wajah takut-takut. Admin kantor itu berkata dengan memelas supaya Sander menghentikan ceritanya.

"Apa Mas pernah bersentuhan dengan dunia lain?" potong Dirga tiba-tiba, lalu mendapat pandangan menusuk dari Lia yang duduk paling dekat dengan istri Sander.

Dahi Sander berlipat-lipat. Yang lain terdiam mendengarkan, sementara Agus menggeleng sama seperti Lia. Keduanya berharap mereka tidak melanjutkan cerita.

"Memangnya ada apa?" Sander bertanya balik.

"Nggak apa-apa. Kalau iya, mungkin ada hubungannya dengan cekikan semalam," ulang Dirga sembari mempertajam pendengarannya.

Makhluk itu tersenyum.

"Dulu sekali, waktu di Gunung Kawi, aku sama teman-temanku iseng pengin ketemu sama yang nggak bisa dilihat dengan mata telanjang. Melihatnya harus dengan mata batin."

Dirga tidak percaya Sander begitu percaya diri mengakui, terutama hal klenik semacam itu.

"Terus, ketemu?"

"Iya. Ketemu."

"Maaf, Mas. Kalau boleh tahu, dulu Mas minta apa?"

Orang-orang sepertinya sedang mengobrol sendiri-sendiri, sebab tidak ingin terlarut dalam cerita horor Dirga dan Sander, terutama Lia dan Agus. Jadi, Sander meminta Dirga mendekat, kemudian berbisik, "Aku minta tahan bacok, dan berhasil."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top