Bab 18 : Cerita Penampakan
Sementara itu di rumah kos tusuk sate....
Suyitno menapaki tangga kayu dari rumah induk. Tiba di anak tangga teratas, dia sigap memeriksa ruang tivi. Kosong. Dia memilih duduk di kursi panjang, kemudian memejam selepas melihat jam dinding. Suyitno bersedekap. Mulutnya komat-kamit. Ketika matanya membuka perlahan, seorang bocah berdiri di hadapannya.
"Terima kasih sudah mau muncul," Suyitno menghela napas lega. "Tolong kasih saya petunjuk."
Sebelum malam ini, sebenarnya Suyitno pernah mengundang bocah itu, tetapi tidak membuahkan hasil. Ketika kali ini berhasil, tetapi belum mendapat balasan, Suyitno mulai jerih.
"Tolong saya," pintanya penuh harap.
"Rumahmu menarik," bocah itu bersuara. "Tapi aku tidak tahu caranya keluar dari sini. Sepertinya ada yang membelengguku."
Mungkinkah ini ulahnya?
"Apa kamu mengenalnya? Maksud saya, apa kamu pernah bertemu dengan... Wojogeni? Saya khawatir dia tersesat dan nggak tahu jalan pulang," tutur Suyitno.
Bocah itu menggeleng, lamat-lamat penampakannya memudar.
Suyitno harus menelan pil pahit sekali lagi. Dia bangkit dari kursi sambil membatin.
Ada apa sebenarnya dengan rumah ini? Kuntilanak muncul di teras depan, masuk ke rumah, lalu hilang. Sekarang muncul tuyul yang nggak bisa diharapkan.
Suyitno melenguh panjang ketika menuruni tangga induk. Dia mencoba mengurai informasi yang datang sepotong-sepotong layaknya benang kusut, bahkan sampai tidak sadar saat istrinya memanggil.
***
Kembali ke rumah Ade....
Usai menandaskan jamuan makan malam, Ade menggiring tamunya ke ruang tamu. Terdapat meja panjang berukir dan berpadu manis dengan kandelir di atasnya. Lagi-lagi, cahayanya seperti hidup segan mati tak mau.
Setelah mempersilakan duduk, Ade menawarkan rokok tingwe. Zainal mengambil sebatang, kemudian keduanya memantik dan mengepulkan asapnya dengan santai.
"Maaf, saya kurang suka bahas masalah serius di meja makan," Ade membuka percakapan.
Ganda memajukan posisi duduknya, lantas menatap Ibnu yang berniat bicara. Karena merasa temannya itu akan mewakili, otomatis Ganda menelan kembali desakan kalimat di tenggorokannya. Dia hanya perlu mengoreksi jika ceritanya melenceng.
"Tempat kos kami akhir-akhir ini terasa angker. Mereka yang tidak terlihat mulai mengganggu. Persis tebakan Pak Ade," Ibnu mengurai.
Ade mendengarkan.
"Beberapa hari lalu saya ketemu tuyul," Ibnu melanjutkan. "Sampai sekarang saya masih takut, selalu terbayang," ungkapnya.
Ade mengangguk-angguk sambil sesekali mengisap rokoknya. Dia lalu mengalihkan perhatiannya kepada Mario.
"Kejadian yang menimpa saya juga persis dialami Ibnu. Bedanya, saya ketemu kuntilanak. Saya juga ketakutan waktu itu. Ada saksinya. Dirga," Mario menerangkan.
Mau tidak mau, Dirga menyengguk.
"Saya nggak pernah ketemu hantu sebelumnya," imbuh Mario sembari mengusap wajahnya gusar. "Ganda juga pernah mengalaminya," pandangannya teralih kepada orang yang disebutnya barusan.
"Kalau saya ketemu genderuwo," Ganda menangkap umpannya.
"Kalian ingat sejak kapan kejadian itu bermula?" Ade mencoba menyibak misteri setelah meyakini informasi dari para tamunya selesai. "Lalu, siapa di antara kalian yang paling lama tinggal di kos itu?"
Ganda mengangkat telunjuknya ragu-ragu. "Saya yang paling lama tinggal. Tapi seingat saya nggak pernah ada kejadian seperti ini sebelumnya."
Ade melemparkan pandangannya ke Dirga. "Pak Dirga mungkin tahu penyebabnya?"
Yang ditanya terpaku mendapati pertanyaan tiba-tiba semacam itu.
"Apa mungkin Pak Dirga mengusir makhluk itu?" lanjut Ade, seperti sedang bermain tebak-tebakan. Sengatan dari pertanyaan tersebut menyadarkannya jika Ade memang bukan orang sembarangan.
"Saya nggak ngerti maksud Pak Ade."
"Mungkin saya bisa merangkum gangguan yang akhir-akhir ini muncul di kos kalian."
Mereka memasang telinga baik-baik.
"Sepertinya ada yang berhasil mengusir yang terkuat di antara mereka. Sosok itu marah. Dia perintahkan anak buahnya untuk mengusik penghuni kos." Ade menjentikkan abu rokoknya.
"Terus, bagaimana caranya supaya kami nggak diganggu lagi?" kejar Ibnu.
"Pak Dirga mungkin tahu caranya?" Ade melempar bola panasnya.
Helaan napas Dirga dan petunjuk Ade sontak memancing pandangan menelisik dari teman-temannya. Mereka beradu tatap dengan wajah ketakutan, kentara tidak dibuat-buat.
"Caranya adalah dengan memanggilnya kembali. Bernegosiasi." Ade mematikan rokok dan beranjak dari tempat duduknya. "Mohon maaf karena sudah malam dan saya perlu istirahat, jadi pembahasan horor malam ini sampai di sini dulu. Terima kasih sudah berkunjung."
Licik, umpat Dirga dalam hati.
***
"Kamu bisa mengusir hantu? Bisa panggil mereka?" pertanyaan Ibnu terputar seperti kaset rusak.
Dirga diam sambil memasukkan kunci sepeda motor dan bersiap menuntun sampai di depan pagar rumah Ade.
"Sejak kapan? Kok nggak pernah cerita? Kok nggak pernah praktik waktu kita ngobrol di ruang tamu?" Ibnu membubuhi pertanyaannya sebelumnya.
"Ya, begitulah," jawab Dirga datar.
"Kapan?"
Dirga hanya menggeleng dan mulai menuntun sepeda motornya. Tiba-tiba, angin berisik. Pandangannya tertuju pada pohon ketapang yang sedang menggerak-gerakkan daun dan dahannya. Tengkuknya meremang. Langkahnya berat.
"Sejak kapan?" Ibnu mengulangi pertanyaannya.
Dirga mendengkus jengkel. "Sejak dulu. Aku lupa tepatnya. Yang pasti, sejak aku bisa tahu di mana genderuwo atau di mana pocong biasa tinggal, aku mulai tahu kalau kadang-kadang mereka muncul untuk memberitahu kita bahwa itu wilayah mereka. Seperti kucing menunjukkan daerah kekuasaannya dengan cara mengencinginya. Awalnya aku juga susah buat lupa. Takut keterusan. Jadi, pelan-pelan aku cari cara buat mengusir mereka kalau tiba-tiba muncul. Nggak selalu berhasil, tapi lumayan berguna."
"Ada rapalannya?"
"Tentu saja ada."
"Bisa ajari aku, nggak?"
"Buat apa? Sebaiknya nggak usah. Aku saja ingin menghilangkannya. Mereka terlalu menakutkan buat dipandangi terus-terusan dan cenderung merepotkan."
Ibnu meneguk ludahnya susah payah.
"Tiba-tiba penasaran," Zainal yang sebelumnya hanya mendengarkan karena bersebelahan dengan Dirga, akhirnya bertanya, "Kira-kira di rumah Pak Ade tadi ada penunggungnya, nggak? Soalnya begitu masuk, hawanya agak nggak enak. Di ruang makan juga, hawanya agak lain..."
"Agak lain gimana?" timpa Ibnu karena Zainal menghentikan perkataannya di saat yang tidak tepat.
"... hawa-hawa lapar."
Ibnu menggeplak helm Zainal sambil memaki, sementara korbannya hanya terbahak.
"Banyak," balas Dirga tanpa aba-aba.
Keduanya langsung menghentikan kegiatan masing-masing. Beberapa pasang mata ikut menatap Dirga. Namun, hanya Zainal yang berani menimpali. Niatan sebelumnya untuk melucu, sirna, "Masa, sih?"
"Hmmm...."
"Memangnya ada di mana aja?"
"Di pojok ruangan yang ada guci-gucinya, ada penunggunya. Di belakang pintu, nangkring di atas lemari, juga ada. Termasuk satu arwah yang entah kenapa ada di rumah Pak Ade. Tapi yang paling banyak, yang tinggal di pohon ketapang itu."
Mereka sontak memperhatikan pohon ketapang dari balik punggung.
"Mereka bergelantungan di dahan sambil terus ngelihatin kita. Nggak kehitung jumlahnya." Dirga mengangkat sebelah alisnya. Namun karena terkendala suasana remang pekarangan rumah Ade, yang lain tidak mengetahui usahanya itu. "Rupa mereka aneh. Mirip monyet tapi kakinya panjang, sementara tangannya pendek. Ada satu seperti bosnya, di tengah-tengah di antara mereka―"
"Kalau bosnya bagaimana bentuknya?" potong Zainal.
"Taringnya panjang hampir menyentuh tanah. Tangannya banyak. Beberapa memegangi pohon ketapang, sementara tangan yang lain terjulur ke anak buahnya seperti tali kekang. Matanya yang merah mirip penjahat kelas kakap."
Suasana hening meliputi mereka berlima ketika kembali menekuri jalanan. Mereka pulang tanpa mampir-mampir. Bahkan Mario yang biasanya cerewet mendadak alim, hingga sepeda motor mereka berhasil menembus pekatnya malam dan terparkir rapi di tempat parkir kos.
Ganda baru berani mengumpat setelah sampai kosan. Kekesalannya tercetus karena lampu depan gang yang mati, sementara yang lain sedang memikirkan apakah malam ini mereka harus mandi atau tidak.
Setiap langkah menjejak tangga samping, Dirga masih memikirkan perkataan Ade ketika mereka berpamitan. Bukan cuma soal Wojogeni, tetapi ada sesuatu yang gelap melingkupi keberadaan Ade.
"Mendadak saya penasaran dengan tempat kos kalian." Ade mengulum senyum ketika mengantar tamunya ke depan pintu untuk berpamitan pulang. "Saya pengin mampir lihat-lihat. Siapa tahu ada yang menarik."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top