Bab 14 : Seperti Menunggu Giliran
Cerita kepala dan badan terpisah, dan gosong di toilet lantai dasar mal, berlanjut. Ditemani berita gosip di tivi, Zainal melanjutkan kisah Ade dini hari tadi dengan wajah tertekan. Sampai-sampai, dia meminta izin untuk tidak ikut pameran hari pertama.
Selepas koar-koar di grup WhatsApp, sore harinya tiga penghuni kos berkumpul di ruang tamu lantai dua. Dirga dan Ibnu absen. Keduanya beralasan masih ada pekerjaan di kantor.
"Hantu gosong itu ternyata arwah penasaran?" buru Ganda yang pernah mendengar cerita serupa dari Erna.
"Menurut Pak Ade, dulu sebelum bangunan mal dan bangunan-bangunan lain ada, tempat itu jadi ladang pembantaian pribumi oleh penjajah. Banyak sekali arwah gentayangan."
"Tapi badan sama kepalanya kok bisa pisah?"
"Sebelum dibakar, ada yang dipenggal kepalanya."
Ganda meneguk ludahnya. "Kejam banget. Apa semua orang yang sudah mati akan seperti itu?" Dia meralat perkataannya, "Maksudku, bukannya seseorang yang sudah mati akan terbebas dari rasa sakit?"
"Hanya yang masih punya urusan di dunia yang menuntut keadilan. Mereka akan gentayangan."
"Seharusnya mereka sudah tenang. Paling nggak, penjajah-penjajah itu nggak mungkin masih hidup sampai detik ini," mendadak wajah Ganda murung.
"Iya, ya. Tapi kata Pak Ade, mereka kayak nggak mau mati dengan cara seperti itu. Sampai-sampai orangnya nggak tega mau ngu―"
"Ini artis bukannya yang kemarin dilabrak terus direkam sama temannya itu? Niat banget pengin viral," potong Mario santai.
"―sir mereka," tandas Zainal. Keduanya menoleh dan memicing, mengira Mario ikut mendengarkan, ternyata asyik sendiri menonton tivi.
"Dari dulu dia suka bikin ulah," Mario melanjutkan. Tak sadar kedua temannta ingin mengulitinya hidup-hidup.
"Cantik ya aslinya," timpal Zainal. Ganda bergantian memelototi keduanya sekarang. Tidak habis pikir Zainal ikut terdistraksi.
"Memang ya, dunia makin tua. Banyak yang nggak tahu malu dan bangga aibnya tersebar se-Indonesia. Mereka apa nggak mikir kalau sampai orang rumah tahu? Apa nggak ditanya waktu ada acara keluarga? Nggak mungkin seliar itu, kan? Kalau sampai kejadian di aku, sudah pasti diusir dan dicoret dari kartu keluarga," gerutu Mario sok bijak.
"Menurutku, kamu nggak bakal laku jadi artis," sindir Ganda geram.
"E, kok bisa?" Mario membalas tidak terima.
"Ya, palingan sama juga kayak yang di tivi itu, jual sensasi biar dikenal orang tapi nihil prestasi." Ganda berdecak sebal.
Zainal tergelak. Tangannya terangkat, beradu tos dengan Ganda.
Alis tebal Mario bertaut. Dia mendorong jidat Zainal dan Ganda, bergantian. "Brengsek!"
Bukannya marah, tawa keduanya melahar.
"Tapi aku suka ending-nya pas di restoran. Seru waktu si anak ninggalin yang didamprat sambil tetep ngomel dan masih terekam. Tapi di tivi kok disensor?" Mario mencoba menetralkan suasana setelah Zainal dan Ganda menipiskan tawanya.
"Namanya juga tivi nasional. Nayangin video ada omongan pelacur, sudah pasti kena sensor KPI. Kasih surat peringatan, lama-lama bungkus acaranya. Apalagi kalau sampai jadi polemik," urai Ganda.
"Mirip kerjaan HRD, ya?"
Tak... tak... tak....
Bunyi tangga kayu terinjak cepat.
Ganda meletakkan telunjuknya di bibir. Dia sikut lengan Mario ketika Ibnu melangkah gontai dengan wajah memelas melewati mereka tanpa bicara apalagi menyapa. Kemudian, Ibnu memutar kunci kamarnya dan bersiap masuk.
Sepanjang perjalanan Ibnu ke kamar, Ganda menendang kaki Zainal pelan untuk memberinya kode memancing keributan.
"Palingan pas kerja tadi ngitung duitnya kurang, lalu disuruh nombok." Zainal berasumsi. "Memangnya apa yang bisa bikin mood dia jelek selain nggak punya duit sama kurang tidur?" sindirnya.
Sontak Ibnu berbalik badan, membuat teman-temannya terkejut. Apalagi dia langsung duduk dan mulai berbicara kepada ketiga orang itu sekaligus. "Aku masih ngerasa ada yang aneh sama kos ini. Apalagi pas naik tangga. Merinding. Kalian ngerasain juga, nggak?"
Ganda menggeleng. Mario meluruskan kakinya karena kesemutan. Zainal mengernyit.
"Aneh gimana?" Ganda mewakili bertanya.
Tidak ada saran untuk mengecilkan suara, tetapi Ibnu melakukannya sebelum bicara, "Aku rasa kos ini berhantu. Aku rencana mau pindah dari sini."
"Pindah kos?" balas Mario.
"Memangnya sudah dapat tempat kos baru?" timpal Zainal.
"Yakin?" Ganda ikut-ikutan.
Ibnu menggeleng seraya menarik napas panjang. Dia menatap layar tivi yang masih menayangkan berita sekuter (selebriti kurang terkenal) sedang memamerkan hartanya sebelum menjawab, "Belum. Pokoknya aku mau pindah."
"Kamu tahu kos kita ini paling murah, kan? Kita pernah keliling buat cek harga. Belum lagi suasana di sini tenang, kecuali akhir-akhir ini. Kalau telat bangun juga nggak bakal kena SP. Cuma butuh beberapa menit jalan, sudah sampai mal. Terus, apa uangmu cukup buat pindah kos? Katamu harus berhemat karena belum jadi pegawai tetap. Jangan lupa cicilan hp-mu belum lunas. Kos sama kuliah adikmu juga siapa yang bayar?" Ganda memaparkan kenyataan pahit tepat langsung di muka Ibnu. Dia munculkan kembali curahan hati Ibnu ke permukaan.
Repetan Ganda bagai tamparan, tetapi Ibnu tak surut akal. "Gimana kalau kontrak aja? Berlima. Kan, lebih terjangkau?"
"Kontrak rumah dengan lima kamar memang harganya berapa? Ada yang seharga kos ini? Atau, kamu mau sekamar berdua? Kalau aku sih ogah," Zainal merespons.
Sekian detik merenung, Ibnu merasa tergencet dari segala sisi. "Aku takut kalau sampai diganggu sama hantu yang lain."
"Hantu yang lain? Memangnya ada banyak hantu di sini? Kamu bisa lihat mereka? Jangan-jangan, kamu lagi banyak pikiran terus berhalusinasi?" balas Zainal.
"Seumpama. Hantunya memang satu. Ya, tuyul yang aku lihat di tangga samping," Ibnu mengulurkan telunjuk dengan mata menerawang. "Sebenarnya nggak sengaja lihat. Dia ketawa, terus ketuk pintu kamar mandi sambil gangguin aku pas lagi di dalam."
"Banyak?" tanya Ganda sembari tersenyum jail. Sengaja dia memancing emosi temannya itu.
Ibnu memutar bola matanya. "Cuma satu. Memangnya di sini buka panti asuhan tuyul?"
Tawa Ganda meledak mendengar perkataan Ibnu yang cenderung lucu. Terlebih saat alisnya menyatu dan bibirnya ditarik ketat, bertolak belakang dengan wajahnya yang garang.
"Hantunya tuh kuntilanak," sanggah Mario. Dia mendapati pandangan aneh dari ketiga temannya saat memandang. "Yang ganggu tidurku waktu itu kuntilanak, bukan tuyul."
Ibnu berdecak sebal. "Sumpah, yang aku lihat waktu itu anak kecil mirip tuyul. Bibirnya aneh. Matanya aneh. Wajahnya pucat, terus kuping sama bibirnya aneh. Susah dijelasin. Sekarang aku masih merinding kalau ingat."
"Kalian berdua salah. Yang benar itu, di sini penunggunya genderuwo. Di halaman depan situ. Di pohon mangga persis ceritaku waktu itu."
Kemudian, hening.
Mereka mencerna informasi masing-masing. Karena Ibnu penakut dan mungkin mengarang cerita, jadi yang lain mencoba untuk mencari kelemahan pada pemaparannya barusan supaya mereka tahu kalau dia sedang berbohong atau tidak.
"Oke, kalau katamu tuyul, aku mau periksa dompetku dulu di kamar. Siapa tahu ada uangku yang dicuri," tukas Ganda, berniat beranjak dari posisi duduknya.
"Memangnya apa yang mau diambil dari dompetmu? Bon utang? Tuyul itu pasti pintar," cibir Ibnu.
"Sialan." Ganda menjitak Ibnu saat kembali duduk. Mario dan Zainal terkekeh.
"Serius dikit, kenapa?! Ceritanya belum dimulai, tapi dipotong terus," Ibnu mutung.
"Oke, oke. Lanjut," Ganda akhirnya mengalah.
"Waktu keluar dari kamar mandi sebelum berangkat kerja, aku dengar ada anak kecil ketawa dari luar kamar mandi, terus gedor-gedor pintu. Ngerasa keganggu, aku buka, tapi nggak ada siapa-siapa." Ibnu menggosok-gosok lengannya. "Duh, jadi merinding."
Ketika sedang seru-serunya mendengarkan Ibnu bercerita, tiba-tiba sebuah tas melayang dan terjatuh di kursi panjang, di belakang Ganda.
Bruk....
Mereka terlonjak. Jantung keempat orang itu serasa jumpalitan. Ibnu memekik.
"Setan alas," umpat mereka kompak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top