Bab 11 : Fajar Menyingsing

Ketawang. Tahun 1965.

Suyitno terjun ke dunia militer.

Bila ditarik garis ke belakang, usianya baru seumur jagung ketika kehilangan segalanya. Rumahnya dilalap api bersama kedua orangtuanya. Beruntung atau mungkin nahas, Suyitno selamat karena hujan lebat mengguyur. Kala itu dia didekap bapak dan biyungnya ketika api menjilat, hingga luka bakar keduanya tidak dapat diobati dan menyebabkan kematian. Kebakaran terjadi akibat pertikaian penggiat musala dan oknum politik sayap kiri.

Sejak itu, Suyitno diasuh berpindah-pindah, mulai dari pemilik warung yang mengajarkan menghafal segala umpatan, sampai Mbok Benik, penjual pecel pincuk di pasar. Mbok Benik dan Suyitno seolah berbagi nasib. Keduanya sama-sama kehilangan orang tersayang karena peristiwa memilukan. Bedanya, anak Mbok Benik meninggal dunia karena mabuk jamur dan ditemukan mengambang di sungai beriak tenang.

Memelesat bagai busur panah, usia Mbok Benik dan Suyitno tidak lagi muda.

Petang sebelum Mbok Benik meninggal dunia, dia memanggil anak angkatnya yang sudah beranjak remaja. Wanita itu berbaring lemah di ranjang beralas tikar. Karena suara Mbok Benik sudah di ujung tanduk, remaja itu harus menunduk dan menajamkan pendengarannya ketika ibu angkatnya bicara.

"Le, bocah bagus. Mbok pamit pergi―"

"Ke mana, Mbok?"

"Tempat yang jauh, tapi jangan nyusul cepat-cepat."

"Aku ikut!"

Mbok Benik menggeleng lemah. "Kau harus tetap hidup."

"Bagaimana caranya hidup kalau orang yang aku lihat setiap hari sudah tidak ada di dunia ini?"

"Raga Mbok memang sudah tidak di dunia ini lagi, tapi yakinlah, Mbok akan selalu bersamamu. Jadi kebanggaan Mbok. Kau tahu keinginan Mbok yang belum terkabul, kan?"

"Masuk militer? Untuk apa? Mereka tidak ada guna―" Suyitno menggunting kalimatnya sendiri. Dia tidak tega melihat mata Mbok Benik mulai berkaca-kaca.

"Supaya kau berguna dan bisa menolong orang-orang seperti bapak dan biyungmu yang tidak berdaya."

Tenggorokan Suyitno tersekat.

"Janji yo, Le."

Suyitno membisu.

"Le...."

"Iya."

Tarikan napas Mbok Benik tersendat sekali, lalu matanya menutup perlahan setelah menyusul telapak tangannya tergerak menumpuk di atas perut, tertata dengan sendirinya. Sontak, air mata remaja itu berderai.

Seperti menemukan jalan, Suyitno dengan mudah memasuki dunia militer. Mungkin karena tidak banyak peminat dan orang-orang lebih memilih menjadi petani atau pedagang, jadi kesempatan untuk menjadi anggota militer terbuka lebar. Jalannya pun tidak terlalu terjal.

***

Bersama satu peleton berjumlah 32 orang, tubuh ringkih Suyitno terlihat lemah di antara yang lain. Dia tidak terlalu tinggi, dan kurus. Namun anehnya, setiap kali latihan, Suyitno selalu mewakili grup yang bejumlah delapan orang dengan menjadi komandan regu. Ketangkasan yang diragukan semua orang, keliru. Adu taktik pun selalu mereka menangi. Termasuk, laga di ring tinju. Mungkin karena anak kampung, jadi hidup keras sudah biasa dilakoninya.

Hanya saja, pandangan meremehkan masih diperolehnya selama pendidikan militer. Beberapa kali Suyitno seperti tak punya daya ketika menunjukkan tajinya sebagai komandan regu, kecuali pada satu orang. Dia tidak terlihat meremehkan, pun tanggap. Hal itu membuatnya penasaran.

Satu malam ketika semua orang telah menempati barak dan terlelap, Suyitno menangkap derit halus ranjang di bawahnya. Dia awasi siluet keluar dari kamar dengan berhati-hati. Pintu agaknya membantunya kabur tanpa suara.

Sama seperti yang dilakukan orang itu, Suyitno berhati-hati ketika turun dari barak bertingkat. Matanya awas. Dia telurusi ujung ke ujung. Ketika dirasa aman, dia melangkah membuka pintu dan mengikuti pergerakan ke samping bangunan melewati koridor, lalu berakhir di sepetak serupa gang yang mengarah ke celah tembok mati.

Dari jauh, laki-laki itu melihat pendar cahaya. Cukup lama dirinya mengawasi, tetapi tidak ada pergerakan. Karena penasaran, dia mendekat. Setelah jarak menyempit, Suyitno pura-pura terbatuk. Wiwit tergeragap. Senter dan buku yang dipeganginya jatuh. Cepat-cepat dia mengusir keterkejutan, tetapi tidak sempat mengamankan barang bawaannya.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Siap, Komandan!" Wiwit memberi hormat terlebih dulu. "Saya sedang membaca buku," lalu menurunkan tangannya dan bersikap sempurna.

Sepertinya Wiwit pasrah mendapat hukuman dari komandan regunya. Suyitno melangkah memungut senter dan juga buku. Dia menatap Wiwit setelah menegak kembali. Laki-laki itu menepuk pipi Wiwit dengan buku yang dipegangnya. "Buku apa?"

"Budaya Jawa."

Diarahkannya senter ke judul buku bersampul hitam dengan gambar pria ber-belangkon. Suyitno terkekeh. "Apa ada buku tentang budaya berjudul Primbon Japa Mantra?"

Wiwit mematung. Dia tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan laki-laki itu setelah berhasil membongkar kebohongannya. Dia lalu sedikit merunduk.

"Apa istimewanya buku ini?" Suyitno menambahkan.

Wiwit mendongak. Meski dipayungi gelap, dia tahu komandannya itu tertarik dengan buku miliknya.

***

Usianya 17 tahun ketika pertama kali berkenalan dengan hal-hal klenik. Belum pernah Mbok Benik atau pengasuh sebelumnya mencekoki Suyitno dengan hal-hal mistis karena terlalu sibuk mencari uang. Mereka memang tidak dekat dengan agama, tetapi tidak pula ingin berkawan setan. Pencetusnya, tentu saja buku bersampul hitam milik anak buahnya.

Suyitno menafsir, buku itu tergolong tua jika dilihat dari sampul yang usang dan kertasnya yang menguning.

Terdapat kecanggungan saat keduanya sama-sama membaca buku. Berkali-kali Suyitno mendorong kepala Wiwit ketika ikut membaca. Wajahnya masam mendapati perilaku semacam itu, dan sepertinya ada keinginan kuat untuk mendamprat karena buku itu miliknya. Namun, dia urung melakukannya.

Lambat laun, mereka berkawan.

Keduanya tidak lagi sembunyi-sembunyi ketika membaca buku. Beruntung, enam orang lain yang tinggal di barak yang sama tidak tertarik akan hal itu.

Namun, ada hal mencurigakan setiap kali Wiwit menatap bagian atas lemarinya.

Lama-lama, Suyitno merasa Wiwit menyembunyikan sesuatu darinya. Benar saja. Ketika memiliki kesempatan memeriksa bagian atas lemari anak buahnya itu, dia menemukan buku bersampul merah ditumpuk bersama koper besar.

"Untuk apa buku ini disembunyikan?" Suyitno menunjukkan buku itu di hadapan Wiwit sehabis mandi.

"Lancang!" Wiwit merebutnya.

Cukup lama, akhirnya ketegangan mengendur. "Benar kata orangtua saya. Terkadang yang membahayakan seseorang itu adalah rasa penasarannya," Wiwit terkekeh.

"Sontoloyo," maki Suyitno.

Tanpa menunggu komando, Suyitno memiting lehernya. Mereka tergelak bersama. Suasana mencair.

"Sebenarnya belum saatnya kau baca kitab ini, bukannya saya menyembunyikannya," terang Wiwit setelah pitingan terlepas. "Kau tahu, di dalam kitab ini semuanya dijelaskan terperinci. Apa saja yang patut dan tidak patut dilakukan supaya selamat. Termasuk, kawin. Kau lahir kapan?"

"Untuk apa tanya tanggal lahirku?"

"Supaya mudah menjelaskan, saya beri contoh langsung."

"8 Agustus."

Wiwit mengangguk, menunggu kelanjutannya. "Tahun?" tanyanya, tak sabar.

"Perlu?"

"Iya."

"1948," balas Suyitno patuh.

"Kita selisih setahun. Seharusnya kau memanggilku Mas." Wiwit membuka lembar demi lembar kitab seperti mencari harta karun. Suyitno berdecak.

Wiwit mengernyit.

"Ada apa?" tanya Suyitno khawatir.

"Kau perlu jimat. Ada sifat yang harus dikunci dan ada ada sifat yang perlu dikuatkan." Wiwit menyesal berkata serius ketika memandangi Suyitno yang tidak mampu membendung tawanya. Dia menepuk dahi Suyitno hingga mengaduh. Suyitno geram. Dia lupa Suyitno adalah komandan regunya. Enam orang lain di barak hanya menggeleng-geleng melihat kelakuan absurd keduanya.

"Maaf," ucap Wiwit pelan. Jimat? Suyitno membatin.

Wiwit mengeluarkan kalung dari dalam kaus oblongnya. "Saya kenakan ini sembunyi-sembunyi."

Suyitno mengamati bandul dari batu sebesar kelingking.

"Namanya Besi Kursani," imbuh Wiwit. "Benda ini harus saya jaga karena sudah ada sebelum saya lahir, turun temurun dari leluhur saya di padepokan."

"Kegunaannya?"

"Sebagai penangkal untuk yang berusaha mencelakai. Baik yang terlihat maupun tidak. Diisi sesuatu dari alam gaib."

Suyitno menelan ludahnya. Dia membayangkan batu sebesar kelingking itu berayun dan mengenai kepalanya. Mungkin akan benjol atau otaknya tercecer mengingat penjelasan tak masuk akal darinya. Wiwit memamerkan batu itu seperti dukun menyembuhkan penyakit pasiennya.

Hawa tak enak menggelayut ketika Wiwit merogoh sesuatu dari balik saku celana setelah menyembunyikan kalungnya. "Saya juga punya dua kuku macan sebagai perlawanan. Besi kursani ibarat tameng, kuku macan pedangnya. Sekali tebas, bisa raib semua. Kepala bisa lepas dari badan."

Suyitno terpaku ketika Wiwit memamerkan kuku macannya dan bergerak seperti sedang menebas. Spontan, Suyitno tergelak lagi. Namun hanya sebentar, karena tersadar teman sealirannya tidak ikut tertawa.

Seharusnya komandang regunya terus mentertawakan dan membuat Wiwit meradang dan tak mau membagi ilmunya.

Namun, seolah mendapat bisikan, Wiwit diingatkan untuk melanjutkan misinya, "Selain punya jimat, apa kau tidak tertarik dengan mereka yang tidak boleh disebut namanya sembarangan? Saya bisa menunjukkannya padamu, betapa menariknya dunia mereka yang tak terlihat itu. Saya jamin, kau akan menyukainya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top