Chapter 09

Masih dalam mode tidak percaya, menurut Gadis ini bukan belanja tapi hang out ke mall. Windows shopping, lalu duduk ngeteh sambil menikmati lalu lalang orang yang melakukan hal yang sama. Sementara Lova memilih untuk bermain di playkidz. Awalnya Gadis ingin menemani Lova bermain tapi Fariz justru meminta untuk menemaninya duduk mengawasi Lova.

"Biarkan dia mandiri, kita duduk saja di sana sambil mengawasi. Sayang, Papa dan Mbak Gadis duduk di sana." Lova mengangguk.

Kembali rasa kikuk menghampiri Gadis. Perasaan tidak nyaman menyapa saat tatapan mata sarat makna memaksanya untuk menerima. Bukan, ini bukan tentang majikan dan pengasuh anaknya. Ini adalah tatapan laki-laki dewasa kepada wanita.

"Maaf, Pak. Saya ke toilet dulu, sebentar," kata Gadis menarik diri dari rasa tidak nyaman itu. Tapi mau sampai kapan?

Gadis memandang wajahnya di depan cermin yang ada di toilet yang sepi. Tubuhnya sudah mulai terisi di usia kandungannya yang hampir menginjak usia 17 minggu. Mungkin sebentar lagi dia tidak akan bisa menyembunyikan perut buncitnya. Sambil mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit dia berkata, "maafkan Ibu ya, Nak. Kita belum bisa pergi ke dokter. Ibu janji, bulan depan Ibu akan menyapamu."

Merapikan penampilan, tidak perlu berlebihan, Gadis sudah cukup menarik dengan penampilan sederhana tanpa pulasan make up tebal. Dia menggigit bibir bawahnya, memikirkan cara bagaimana dia harus menghindari papa Lova. Sejak malam dimana pertama kalinya Gadis membuatkan teh lemon untuk Fariz, sepertinya banyak hal yang berubah dari laki-laki itu kepadanya. Yang semula hanya diam, kini jadi sering bertanya. Awalnya Gadis berpikir itu baik karena untuk mengetahui perkembangan Lova sementara sang mama masih sibuk bekerja. Tapi semakin hari, yang Gadis rasakan pendekatan itu bukan hanya tentang Lova.

"Ini salah, atau jangan-jangan pengasuh Lova tidak tahan lama karena Pak Fariz? Tapi mengapa menurut Mbok Pur justru Non Lovalah yang membuat ulah untuk menarik perhatian orang tuanya?" Gadis bergumam lirih tapi tetap saja tidak menemukan jawabannya.

Kini Gadis berjalan kembali ke playkidz, awalnya dia ingin langsung menyusul Lova bermain. Tapi ternyata Lova justru duduk manis di samping papanya sambil menikmati satu cone eskrim.

"Nah itu Mbak Gadis." Suara Lova terdengar nyaring. "Mbak sakit?" Gadis menggeleng. "Kok lama banget di toilet? Kita ke bawah yuk, aku ingin main ice skating. Tapi aku mau Mbak Gadis ikut main juga."

Gadis terkesiap, bukan karena dia tidak bisa bermain ice skating. Tetapi saat ini, rasanya terlalu riskan untuk kehamilannya. Dia masih bingung memberikan alasan yang tepat untuk Lova.

"Mbak Gadis nggak bisa main, Non. Takut terjatuh nanti." Tiba-tiba Lova tertawa lirih. Sepertinya alasan klise yang dipakai Gadis justru menjadikan bumerang untuk dirinya sendiri.

"Papa kan ahli, Mbak. Nanti bisa diajari sama Papa, gampang kok. Pasti nanti cepat bisa." Fariz mengangguk setuju.

"Lova benar, Dis. Gampang kok belajar ice skating. Ya sudah, ayo kita ke lantai dasar." Gadis tidak bisa berkutik selain mengangguk. Tapi bibirnya bersuara, bukankah dia diajak kemari untuk belanja kebutuhan rumah.

"Bagaimana kalau Bapak saja yang menemani Non Lova bermain ice skating, saya belanja saja ke supermarket biar hemat waktu."

"Kata siapa kita akan belanja ke supermarket?" tanya Fariz bingung.

"Loh, bukannya tadi saya diajak keluar untuk belanja bulanan dapur, Pak?"

"Belanja bulanan dapur cukup Mbok Pur," jawab Fariz.

Gadis semakin bingung dengan jawaban Fariz, jadi untuk apa dia diajak ke mall? Kalau hanya sekedar hang out Fariz harusnya lebih leluasa quality time bersama Lova. Usia Lova harusnya sudah cukup mandiri untuk bertanggung jawab atas kebutuhannya, terutama untuk urusan di toilet.

"Tapi maaf Pak, tadi bukannya Pak Fariz sendiri yang bilang kalau kita akan belanja?" tanya Gadis pelan.

"Benar, saya yang bilang tetapi bukannya kita sudah belanja. Atau kamu masih kurang? Kita bisa belanja lagi kok."

"Maaf, maksud Pak Fariz?"

"Benar kan Gadis, kita tadi sudah belanja baju di butik untuk kamu. Sekarang juga sudah kamu pakai, apa masih kurang?" Gadis mendesah.

"Pa, ayo kita ke bawah." Lova sudah menarik tangan papanya.

"Kalau masih ingin lagi, setelah kita ice skating ya," tutup Fariz sebelum mengiyakan ajakan Lova.

"Terima kasih, Pak, tapi tidak perlu," jawab Gadis tegas.

Sepuluh menit kemudian, Lova merajuk saat Gadis menolak untuk turun ke arena. Sampai akhirnya, Fariz mengalah untuk mengambilkan sepatu yang sekiranya muat untuk Gadis.

"Pakai saja, Dis. Tidak perlu ke tengah, nanti saya bantu biar Lova tidak menangis di tempat umum." Menerima sepatu seluncur dari tangan Fariz kemudian memakainya.

Senyum semringah Lova terpancar saat mengetahui Gadis mulai masuk ke arena. Sembari mengulurkan tangan, Fariz mulai mengayunkan kaki, memberikan aba-aba kepada Gadis. Gadis menolak, matanya masih mengarah kepada Lova yang sudah mulai berputar.

"Ayo Mbak Gadis, pasti bisa, mudah kok." Saking bahagianya Lova, hingga dia lupa bahwa dia harus tetap berhati-hati sampai tubuhnya terbentur dengan orang lain dan membuatnya oleng.

"Non Lova...." Gadis berteriak, refleks kakinya bergerak cepat. Lupa bahwa dia harus bersandiwara tidak bisa bermain ice skating.

"Gadis...."

Lova tidak sampai terjatuh, saat Gadis berhasil meraihnya. Sementara Fariz sampai saat keduanya saling berpelukan. Tidak perlu menjelaskan, Fariz juga tidak butuh alasan mengapa Gadis berbohong. Yang terpenting adalah Lova bisa tersenyum bahagia.

"Kamu sesayang itu kepada Lova, Dis?" tanya Fariz saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah. Lova sudah tertidur karena kelelahan.

"Sudah menjadi tanggung jawab saya sebagai pengasuh Non Lova, Pak."

"Sikap kamu kepada Lova itu sudah seperti ibu yang sesungguhnya untuk anaknya. Berusaha untuk melindungi," gumam Fariz yang masih terdengar cukup jelas di telinga Gadis.

"Setiap ibu pastinya akan bersikap seperti itu, Pak. Bu Novana juga pasti akan melakukan hal yang sama saya rasa."

"Saya tidak yakin Nova akan seperti kamu, tanggap, cepat. Saya tahu kamu memang sesayang itu kepada Lova." Gadis diam tidak berniat menanggapi.

"Kalau dengan papanya Lova, apakah mungkin akan sesayang itu?" Tiba-tiba Gadis meremang. "Mau jadi ibunya Lova yang sesungguhnya, Gadis?"

Gadis menatap pemandangan di luar dari jendela. 'Hidup tidak sebercanda itu Bapak Fariz Baihaqi.'

------------------------------------->> 🐾🐾

to be continued
Blitar, 28 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top