Chapter 07

Jika kemarin hanya soal Lova, kegiatan serta kebutuhan Lova. Kali ini Fariz sengaja pulang cepat untuk mengetahui sesuatu. Tentang Gadis.

Lova masih bergelut dengan buku-bukunya saat sang papa tiba. Tidak menyadari bahkan Gadis juga masih asyik membantu Lova membuat PR hasta karya yang harus dikumpulkan keesokan harinya.

"Mbak Gadis, ini benar begini?"

"Jangan ditempel dulu, lemnya masih belum setengah kering Non, nanti kemana-mana." Lova kemudian memilih berbaring di pangkuan Gadis. Bocah tujuh tahun itu terlihat manja dengan mbaknya, sedangkan Gadis tidak merasa terbebani dengan ulah Lova. Justru Gadis memanjakan Lova dengan sentuhan-sentuhan kecil yang mencubit hati Fariz sebagai ayahnya.

Ada perasaan hangat menyelubung di hati kecil Fariz. Betapa tidak, sentuhan keibuan yang harusnya Lova dapatkan dari sang istri yang notabene adalah ibunya kini justru diperoleh dari pengasuhnya.

"Mbak, setelah ini kita bikin brownis ya. Aku lapar tapi nggak mau makan nasi." Gadis mengangguk kemudian meminta Lova untuk menempelkan terkahir kalinya pekerjaan tangan yang mereka buat. Setelah itu keduanya merapikan dan bergegas ke dapur.

Bergelung dengan bahan kue, mixer dan oven. Tidak sampai tiga puluh menit Gadis menyelesaikan pekerjaannya. Memasukkan adonan kue dalam loyang ke oven.

"Selesai, sambil menunggu kuenya matang, kita mandi dulu yuk. Non Lova mau mandi sendiri atau mau dimandiin Mbak Gadis?"

"Kata Mbak Gadis Lova sudah besar harus bisa mandi sendiri kan? Malu nanti sama adiknya Lova kalau dia sudah lahir."

"Pintar, ayo mandi, Mbak Gadis siapkan pakaian gantinya."

Tidak satu pun cengkerama mereka yang terlepas dari pantauan Fariz tanpa keduanya tahu. Pengamatan detail Fariz seolah menguatkan asumsinya bahwa Gadis memang berbeda, Gadis terlalu pintar sebagai seorang pengasuh putrinya. Tapi Fariz justru semakin suka, dia tidak salah memilih orang untuk mengasuh buah hatinya.

Gadis kembali ke dapur bersama Lova saat Fariz memilih untuk duduk di kursi bar yang menghadap ke dapur.

"Papa sudah pulang?" kata Lova mengagetkan Fariz yang sedang asyik dengan bacaannya.

Menoleh sejenak kemudian tersenyum menyambut Lova yang senang dengan kehadirannya. Mencium putrinya kemudian beranjak dari tempat duduknya berpindah ke meja makan. Mendengarkan cerita Lova meski dia telah mengetahui semuanya sendiri.

"Mbak Gadis ini jago bikin kue, Pa. Nanti Papa cobain, pasti besok minta dibuatin lagi." Lova tertawa lirih membuat Fariz sengaja dengan terang-terangan meminta jawaban Gadis melalui tatapan matanya.

"Non Lova terlalu berlebihan, saya hanya melihat resepnya dari google kemudian mempraktekkannya," jawab Gadis klise.

"Mbak, aku mau susu ya."

"Pak Fariz berkenan untuk dibuatkan minum apa?" Lagi-lagi kalimat formal yang sangat sopan itu bergema di membran timpani Fariz.

"Teh lemon dengan sedikit gula." Gadis kembali ke dapur. Mengangkat kue yang telah matang di oven sambil menunggu air yang dia jerang mendidih.

Membawa nampan berisi susu, lemon tea, dan juga brownis yang masih hangat rasanya pas untuk menemani cerita di sore manis dengan senyuman yang tercipta dan raut bahagia Fariz juga Lova.

Fariz begitu menikmati legitnya brownis buatan Gadis ditambah dengan minuman yang dirasanya cukup pas. Takarannya sesuai, jelas saja Lova menyukai Gadis, karena selain Gadis pintar membantunya menyelesaikan tugas sekolah, Gadis juga piawai memanjakan lidahnya.

"Benar kan, Pa. Kue buatan Mbak Gadis enak?" Fariz mengangguk setuju. "Makanya, Papa pulang kantornya jangan malam-malam biar bisa merasakan kue-kue buatan Mbak Gadis." Mata Fariz seketika membola. Ucapan jujur dari putrinya membuatnya sadar, tidak ada yang lebih baik dati mengejar memperoleh uang yang banyak jika dibandingkan dengan kehangatan yang dia terima sore ini.

Bukan hanya sikap Lova yang begitu manis, Fariz juga merasakan bagaimana bahagianya jika dia diperhatikan pasangan hidup. Meski hanya sekedar untuk menikmati secangkir teh hangat. Bukan dari tangan pembantu, tetapi atas inisiatif dan keinginannya untuk memanjakan pasangan.

Mengapa otak Fariz menjadi berkelana, bagaimana seandainya jika dia menjadi pasangan hidup Gadis? Mungkin sorenya akan selalu penuh canda dan tawa. Kehangatan di ranjang pun semakin terjaga. Dibandingkan dengan hidup semunya yang sekarang. Memiliki pasangan hanya sebuah formalitas, semua berakhir dengan dalih capek karena sibuk mencari uang. Sementara kebutuhan fisik yang lain tidak bisa terpenuhi.

Fariz mulai menghitung, kapan terakhir kalinya dia melakukan kegiatan itu dengan Novana. Rasanya tidak lagi bisa mengingat saking lamanya. Melihat Gadis sepertinya naluri lelaki yang telah lama tertidur kini menggeliat kembali.

Gadis berniat ke dapur saat mendapati Fariz duduk termenung di meja makan seorang diri. Malam telah larut, tapi dia berniat untuk menyeduh susu hamil sebelum tidur. Sayangnya Fariz lebih dulu menangkap langkah Gadis sebelum dia kembali ke kamar.

"Dis....? Belum tidur?" sapa Fariz dengan panggilan berbeda.

"Iya Pak, maaf, saya tidak tahu kalau Bapak ada di sini."

"Kamu mau apa?"

"Tadi, em, anu, itu...." Gadis bingung harus menjawab apa, dia hanya pengasuh, tidak ingin dicap aji mumpung menggunakan fasilitas di rumah majikan.

"Anu....?"

"Maaf Pak, saya mau buat minuman. Tapi nggak jadi besok pagi saja," jawab Gadis melangkah pergi tapi langkahnya tertahan ketika suara Fariz terdengar.

"Sekalian, buatkan saya teh lemon seperti kemarin."

Meski kikuk akhirnya Gadis tergerak untuk membuatkan teh majikannya. Sembari dia menyeduh susu untuk dirinyanya sendiri.

"Kamu mau kemana?" tanya Fariz saat Gadis berlalu setelah meletakkan teh di hadapannya. "Temani saya minum teh di sini, sekarang."

"Maaf Pak, tapi nanti kalau Ibu melihat jadi salah faham."

"Ibu juga belum pulang." Gadis melihat jam yang menggantung di dinding. Sudah lima belas menit melewati jam 11 malam. Pekerjaan apa yang membuat majikan perempuannya ini harus pulang selarut itu?

"Maaf Pak, tapi saya tidak bisa. Tidak baik juga berdua-dua, sementara tidak ada orang lain di dekat kita."

"Kita juga tidak ngapa-ngapain. Hanya duduk dan minum teh."

"Tapi Pak...."

"Saya lelah, Dis. Lelah dengan drama kehidupan kami. Sepertinya uang telah mengubah naluri kami sebagai orang tua, menelantarkan untuk memberikan perhatian kepada Lova. Padahal dia sedang sangat membutuhkan itu. Kami lupa, uang kami tidak akan pernah bisa menggantikan itu untuk Lova." Gadis bergeming. Untuk pertama kalinya dia mendengarkan curahan hati majikannya.

"Terima kasih atas semua yang telah kamu lakukan untuk Lova. Jujur semua itu telah membuka mata saya sebagai seorang ayah." Fariz terdiam sejenak.

"Apa yang harus saya lakukan untuk menyembuhkan psikis Lova yang mulai memilih untuk menjauhi mamanya?"

Pertanyaan yang membuat Gadis sadar. Dia tidak akan bisa menggantikan posisi seorang ibu untuk Lova, tidak ingin dan tidak akan bisa.

------------------------------------->> 🐾🐾

to be continued
Blitar, 26 Mei 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top