RR1 - Ibu-ibu Julit💍
"UMUR 24 KOK belum nikah? Awas lho, entar jadi perawan tua."
"Gak apa jadi perawan tua, daripada jadi janda muda, Bu."
Hanira Dineschara dengan santai menjawab pertanyaan sindiran seorang ibu berdaster merah yang tengah belanja sayur bersamanya. Sontak jawaban pedasnya membuat wanita itu mendelik.
"Hati-hati kalau ngomong. Anak saya nih, dari dia SMA udah banyak cowok yang ngejar, dari teman sekelas sampai anak Pak Kades," cerita ibu itu lagi. "Lha kamu, kok gak laku-laku?"
Hanira tersenyum tipis. "Bukan gak laku, tapi gak murah."
Double kill.
Muka ibu itu seketika merah padam. Jelas saja emosinya naik sampai ke ubun-ubun. "Wanita itu hakikatnya di dapur, kerjaan cuma pegang wajan sama piring. Urus rumah, urus anak, urus suami. Ngapain sekolah tinggi-tinggi, kerja mati-matian sampai lupa cari pacar. Toh, ujungnya juga nanti nikah cuma lari ke dapur," cerocosnya.
"Bener, tuh." Anaknya yang bertubuh pendek dan punya wajah cantik—tetapi mulai diserang penyakit kulit efek pemakaian berlebih skincare—itu menambahkan.
Hanira akan kalah?
Mana maen.
Perkara adu mental, dia jagonya.
"Yah, pemikiran miskin kayak gitu yang bikin wanita jadi korban KDRT. Salah pilih pasangan, gak punya kekuatan buat melawan saat mendapat kekerasan. Saya enggak mau jadi wanita yang cuma bisa nangis doang pas disakitin, Bu," Hanira tersenyum penuh kemenangan, "perkara saya sekolah tinggi, kan nanti perempuan bakal jadi seorang ibu. Anak yang cerdas lahir dari ibu yang cerdas. Jadi, pendidikan itu penting buat memutus kemiskinan. Bukan kemiskinan harta, tapi kemiskinan berpikir."
"APA?"
"Sama satu lagi, pemikiran kolot kayak gitu udah berlaku di zaman sekarang, Bu. Semua orang berhak punya prinsip hidup, tapi bukan berarti prinsip hidup Ibu bisa diterapin ke kehidupan orang lain. Kita berbeda meski sama-sama makan nasi," sambung Hanira yang jadi ngomel depan ibu-ibu. "Terus perkara saya kerja cari uang mati-matian buat apa? Ya buat hidup enak, Bu. Sama biar bisa nolong lebih banyak orang. Kan, kalau ada uang, gak perlu pusing mikirin listrik habis, gas habis, beras habis, mau makan gak ada lauknya. Apalagi kalau dapat suami yang cuma mukanya doang yang ganteng, tapi kelakuannya bikin setan insecure. Hehe."
Ultimatum dari Hanira sontak saja langsung membungkam mulut ibu-ibu julit itu. Plus membuat suasana belanja sayur yang biasanya ramai dengan gibahan itu sekarang benar-benar sepi.
"Bang, nih Rp200.000, saya bayarin semua belanjaan ibu-ibu di sini," pungkas Hanira sambil memberikan dua lembar uang merah pada tukang sayur.
Ibu-ibu langsung heboh, kecuali si wanita julit tadi dan anaknya. Hanira langsung beranjak dari sana dengan senyum penuh kemenangan yang terus mengembang.
Salah siapa menyinggung dirinya duluan? Kena ulti balik, kan mampus.
Cuma inilah alasan kenapa saat lembur dia lebih memilih menghabiskan waktu seharian full di rumah ketimbang main ke luar, ketemu ibu-ibu kompleks, terus gibah. Andai stok makanan di kulkas tak habis, Hanira enggan jalan keluar cari bahan masakan buat buka puasa nanti.
Meski sekarang sudah 2023, tetap saja masih banyak orang-orang kolot yang suka ikut campur hidup orang lain.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Saat dicek, layar menunjukkan pukul 16.00 dan ada panggilan masuk dari sebuah kontak bernama 'Mama'.
"Ya?" Hanira tak mengucap salam karena akan percuma.
"Kirimin Mama uang, dong. Dua minggu lagi mau lebaran, Mama butuh uang buat bikin olahan. Di kampung serba mahal nanti kalau mendekati lebaran. Gak usah banyak, lima juta kayaknya cukup. Sekalian buat kasih abang sama adik-adikmu juga."
Hanira menghela napas. Jadi anak kedua dengan dari tiga bersaudara dan empat saudara tiri membuatnya sering naik darah kalau dapat telepon dari kampung. Apalagi dia satu-satunya anak yang sukses sebagai owner salah satu produk kecantikan.
Wanita itu memencet tombol, bunyi 'klik' menandakan pintu telah terbuka. Dia melangkah masuk, melepas sandal jepitnya, dan merasakan hawa dingin menyegarkan dari AC ruangan.
Wanita di seberang telepon masih mengoceh ini-itu. Bahas A sampai Z yang poin bahasannya tetap sama, perkara uang.
"Males, ah. Ngapain rutin kirimin uang? Toh aku gak ikut nikmatin juga," celetuk Hanira yang sukses membungkam ocehan ibunya.
"Apa kamu bilang?" Suara wanita itu melengking. "Mau jadi anak durhaka kamu, ya? Heh, inget, ibumu masih hidup! Saudara-saudaramu juga masih ada. Sebagai anak perempuan yang Mama cintai, kamu harusnya bertanggung jawab atas kami!"
"Dicintai kalau ada duitnya doang? Kan, rata-rata pemikiran orang sini tuh gitu. Ada uang orang disayang, gak ada uang, ya mampus dia ditendang." Hanira minum segelas air dingin dengan santai.
Perkara menikah, sebenarnya dia kena trust issue gara-gara lingkungannya begini. Tidak perlu melihat orang lain, keluarganya sendiri saja begitu. Banyak sepupunya yang menikah dan jadi janda muda, sudah punya anak padahal masih di bawah umur, bahkan ada yang jadi korban KDRT tetapi tetap bertahan dengan alasan cinta.
Halah, cinta-cintaan tai kucing.
"Durhaka kamu, ya."
"Mama tuh yang durhaka. Anak sendiri gak diurus, malah sibuk nikah sana-sini sampai laki-laki se-RT kayaknya udah dicobain," balas Hanira pedas.
"HANIRA!" bentak mamanya murka.
"Apa? Gak boleh marah-marah, entar batal puasanya," jawab Hanira cuek.
"Mama sumpahin hidup kamu gak berkah—"
"Lah, buktinya aku sekarang masih hidup enak? Banyak harta, malah Mama tuh yang hampir tiap hari minta uang buat ini-itu. Emangnya suami Mama gunanya apa? Masa kerjaannya cuma tidur dan bikin anak doang. Mokondo itu. Kasihan, salah pilih suami." Omelan Hanira sudah setara dengan kecepatan cahaya.
Hening cukup lama. Hanira malah mulai sibuk mencuci sayuran.
"Jangan pelit-pelit sama orang tua sendiri," kata mamanya yang sepertinya kali ini menurunkan ego demi duit.
"Kalo sama Nenek aku gak akan pelit. Dari kecil kan aku diurus Nenek. Mama tuh cuma sibuk cari cowok, gonta-ganti selingkuhan di belakang Ayah. Bahkan, di hari pemakaman Ayah aja, Mama dengan tololnya bawa pria brengsek itu—"
"SUDAH! Kirim uang aja, buruan!" potong mamanya.
"Ogah. Cari aja uang sendiri." Hanira mengambil talenan dan mulai memotong-motong wortel yang telah dikupas.
"Beneran jadi anak durhaka kamu, ya! Heh, asal kamu tahu, rezeki anak itu datang dari doa orang tua, ya—"
"Emangnya Mama pernah salat dan doain aku?" sela Hanira. Intonasi bicaranya masih santai dan tenang.
"Ck!" Sulastri kalah telak.
"Gak usah minta uang sama aku terus, ya? Anak Mama kan banyak. Apalagi anak tiri Mama tuh yang selalu Mama manjain." Itu sindiran pedas Hanira atas sikap ketidakadilan mamanya. "Aku bentar lagi mau nikah, jadi berhenti ganggu hidupku, oke?"
"Boleh, selama kamu transfer rutin 10 juta per bulan ke Mama!"
Hanira tertawa terbahak-bahak. "Lah? Mending aku sumbangin duit segitu buat anak yatim piatu atau bangun masjid, ada pahala buat kubawa ke akhirat. Terus duit segitu dikasih cuma-cuma ke kalian? Boleh, boleh. Tapi gantiin gender suami mama dulu tuh jadi wanita!"
Lantas, sebelum suara Sulastri kembali meledak, Hanira lebih dulu mengambil ponsel, memutus panggilan, kemudian memblokir semua akses sosmed mamanya.
Hanira menghela napas. Bodo amat dah dosanya numpuk setelah pertengkaran tadi. Kesabarannya sudah habis menghadapi kelakuan keluarganya ini.
Tiba-tiba ponselnya berdering lagi. Hanira menjerit tertahan sebelum suaranya lenyap saat melihat si penelepon.
"Pasti kamu lupa ya kalau hari ini ada acara reuni di Ngahuleung Kafe?" Suara Vey langsung meledak begitu telepon tersambung.
Hanira tepuk jidat pakai wortel yang belum dikupas. "ASTAGHFIRULLAH LUPAAA!"
"Ck, si dodol! Cepetan woi, ini bentar lagi udah bukaaa!" omel Vey gemas.
Hanira melirik jam. Pukul 16.30 WIB. Mampus!
"Bisa—"
"Gak ada cancel-cancel-an. Cepetan sini! Kursimu udah dipesan, di tempat yang paling mahal!" potong Vey.
"Tapi aku telaaaat. Nyampe sana kayaknya bakal Isya." Hanira heboh sendiri.
Vey mengumpat. "Bodo amat. Itu urusanmu! Cepetan dandan dan berangkat!"
Hanira langsung lari meninggalkan sayurannya yang baru selesai dipotong-potong. Dia berlari menuju kamarnya. Untung dia sudah mandi dan beruntungnya lagi, dia ini tipe wanita yang dandannya singkat lagi cepat.
Sambil mendengarkan omelan Vey, Hanira akhirnya siap pergi. Dia mengambil salah satu kunci mobilnya yang bertuliskan huruf H.
"Btw, Vey, kamu bisa gak, cariin aku sesuatu?" sela Hanira yang enggan mendengar cerocosan sahabatnya itu karena mulai melebar ke mana-mana.
"Apa?"
"Cariin aku duda tajir dong. Ketua lagi capek jadi independent women, pengin dapat pria spek Wattpad yang hartanya gak habis tujuh turunan," jawab Hanira yang sekarang sudah masuk ke mobilnya.
"Kamu habis kepentok pintu?" tanya Vey polos.
"Enggak, cuma pengin manasin tetangga biar lambe mereka makin lemes," jawab Hanira. "Katanya aku ini gak laku. Heh, lihat aja, entar kalau aku dapat duda tajir melintir, kupamerin ke rumah mereka satu per satu!"
Vey sepertinya tengah menahan tawa. "Tapi kenapa harus duda? Berondong kan banyak."
"Brondong skip, gak doyan. Doyannya pria matang biar enak diajak adegan dewasa," jawab Hanira tanpa berpikir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top