bab tiga : Pil Ajaib Pemusnah Galau

Masih sepi.

Yang penasaran ntar ke sebelah aja.

***

  3 RBN

 Ananta Dahlia kembali ke rumah sekitar pukul lima sore. Itu juga kalau tempatnya tinggal saat ini bisa disebut rumah. Dulu ibunya punya toko roti dan cukup terkenal. Sejak badai dalam rumah tangga orang tuanya, mereka berdua memutuskan untuk mengungsi ke ruko yang memang sudah dibeli mami Ananta setahun pertama sejak usahanya didirikan. Papi secara tidak langsung sudah mengusir mereka dan pada akhirnya tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi. Cinta kedua orang tuanya sudah usai dan Ananta cuma sebagai simbol saja bahwa dulu pernah ada dua orang anak manusia yang dilanda cinta. 

 Ananta menghela napas kuat-kuat saat melihat rolling door bagian depan ruko tertutup, sementara ruko-ruko di sebelahnya tetap buka. Dia memandangi karat pada gembok serta rumput liar di bawah kakinya tanda tempat tersebut tidak terurus dan memutuskan untuk berjalan memutar lewat gang kecil di samping ruko-ruko tersebut. Dia selalu masuk dan keluar lewat pintu belakang. Lebih nyaman melakukannya dan orang-orang akan mengira kalau ruko tempat mereka tinggal saat ini memang kosong dan tidak terurus.

Kalau pelakor itu tahu kami masih di Jakarta, dia bakal senang. Apalagi kalau lihat Mami gila.

Ananta membuka pintu belakang ruko yang dipasangi terali. Dia amat cekatan melakukannya. Untung saja bagian belakang ruko telah dicor dan dia tidak perlu repot menyiangi rumput walau sebenarnya, semakin tidak terawat tempat itu, semakin tenang hatinya.

Pintu belakang terbuka dan Anata masuk dengan cepat sebelum akhirnya dia kembali menguncinya. Bagian belakang tampak gelap dan dia langsung menuju dapur toko roti yang dipenuhi oleh meja dan rak stenlis. Dia melewati dapur dan tidak menoleh lagi ke arah depan yang sama gelapnya dengan dapur. Ananta lebih memilih cepat-cepat berbelok ke tangga lantai dua yang dijadikan tempat tinggal, sedangkan lantai tiga dijadikan studio mini oleh gadis muda tersebut. Ilmu dari Teddy digunakan Ananta untuk belajar mengambar dan melukis. Sisa-sisa harta ibunya yang tidak terpakai kadang dijual oleh Ananta dan dia sisihkan sedikit untuk membeli alat gambar. Dari situ juga dia mendapatkan rupiah yang amat berguna buat menyambung hidup. 

Kadang dia juga berjualan kue dan dititipkan di tukang sarapan. Tapi, tidak sering karena Ananta kadang kelelahan, terutama bila mami sedang kumat.

Hari ini dia tahu kalau obat ibunya tinggal beberapa biji dan hanya cukup bertahan hingga akhir minggu. Tanpa obat penenang dan pereda kecemasan, dia tidak bakal bisa tidur nyenyak dan Ananta mesti menelepon perawat puskesmas yang selalu baik kepadanya untuk minta dijadwalkan jadwal pengambilan obat. Sebagai caregiver, dia juga merasa ingin sekali mencicipi obat mami. Siapa tahu kekesalannya bakal menguap.

“Naa balik, Mi.” Ananta membuka pintu. Dia sengaja tidak mengganti pakaiannya dan tetap memakai T-shirt hitam tengkorak tadi. Malah, dia juga sempat mengganti rok dengan celana. Agar ibunya tidak kaget saat melihat anak gadisnya.

Bukan. Dia bukan anak gadis mami. Irmala Dewi tidak pernah menganggapnya anak perempuan dan dia terpaksa harus merelakan rambutnya demi menjaga perasaan wanita yang telah melahirkannya tersebut.

“Na? Trisna? Mas Trisna sudah pulang? Mami kangen.”

Ananta menjatuhkan tas ranselnya ke lantai dan tidak bergerak dari tempat dia berdiri saat sang ibu menubruk badannya dengan keras. Tenaganya selalu lebih besar dari orang normal dan Ananta berusaha tidak jatuh karena pelukan tersebut.

“Iya.” Ananta menjawab pendek. Kedua pipinya diciumi dengan penuh semangat dan rambut pendeknya dielus berkali-kali, “Anak Mami semangat belajarnya, katanya mau jadi tentara. Tapi, kenapa kamu nggak tinggi-tinggi? Obat peninggi badan sudah dimakan? Minta beliin Papi lagi.”

Ananta ingin berkata kalau papi sudah tidak peduli lagi dengan mereka atau abangnya Trisna sudah pergi lebih dulu menghadap Ilahi karena gagal jadi tentara. Tapi, dia selalu menahan keinginan itu. Mami sebenarnya sudah tahu dan hal itulah yang membuatnya hilang akal. Tapi, jika melihat Ananta berdandan seperti kakak laki-lakinya, wanita itu akan bersikap tenang dan tidak histeris seperti biasa. 

“Sudah, Mi. Belum waktunya kali. Ananta membahas pendek. Ibunya mengangguk-angguk dan berjalan mundur sambil bersenandung dan menggoyang-goyangkan kepala tanda hatinya dengan senang, sementara Ananta sendiri berjalan menuju kabinet plastik murahan tempatnya menyimpan obat-obatan sang ibu. Sekarang sudah jadwal minum obat.

“Minum, Mi.” suruh Ananta kepada ibunya. Dia telah menyiapkan segelas air untuk diminum.

“Nggak mau, Naa. Mami nggak haus. Kenapa suruh minum. Itu nggak enak rasanya.” tolak Irmala Dewi. rambutnya acak-acakan. Ananta tidak sempat menyisir rambutnya saat pergi pagi tadi. Tapi, dia memandikan ibunya dan menyuapi wanita itu makan. 

“Minum obat dulu, Mami Cantik …” rayu Ananta dengan sabar. Dia kemudian sadar, di antara temaramnya cahaya lampu lantai dua, ada aroma kotoran manusia yang menyentuh indra penciumannya.

“Mami berak?” tanya Ananta yang sebenarnya sudah tahu hal itu telah terjadi, “Ayo habisin obatnya, terus cebok.”

Irmala menangis dan mengatakan kalau dia tidak suka minum obat. Berkali-kali dia mengatakan Ananta amat jahat dan langsung bergulingan di lantai. Kotoran dari celana dalamnya langsung jatuh dan gerakannya membuat feses tersebut makin menempel di lantai. 

“Jangan gini, Mi. aku capek mesti bersihin tai mami juga. Mami ngerti dikit, minum obatnya.” Ananta menahan ngilu. Mami masih berontak dan kini menangis makin keras.

“Irmala Sayang, minum obatnya. Nanti Papi Aldo datang. Habis ini mandi, dandan yang cantik.”

Aldo adalah nama ayah Ananta. Kehadirannya selama bertahun-tahun amat ditunggu oleh Irmala. Mendengar namanya disebut, Irmala langsung diam dan menerima cangkir pemberian putrinya.

“Mas Aldo datang? Janji?” tanya Irmala lagi dan tanpa ragu menerima pil dari putrinya. Dia minum dengan semangat hingga air tandas dan mengembalikannya sambil tersenyum-senyum menatap langit, sedangkan Ananta langsung berdiri dan menarik tangan ibunya.

“Sekarang kita mandi lagi.”

“Mas Aldo datang. Mas Aldo datang. Mas Aldo datang. Mami harus cantik, Naa. pakein lipstik Mami.” Irmala bersorak gembira. Senyumnya merekah amat lebar dan dia terlihat sangat bahagia.

Ananta memejamkan mata selama beberapa detik dan menghela napas panjang sebelum akhirnya dia mengantarkan sang ibu ke kamar mandi yang gelap gulita dan memandikannya dengan air mata bercucuran.

***

Azan Magrib terdengar saat Ananta akhirnya kembali ke kamar. Tas sekolah sudah dia lempar di permukaan kasur. Setengah bajunya basah akibat memandikan dan mengepel kotoran bekas mami tadi dan dia duduk di lantai sambil menghela napas berkali-kali akibat kelelahan.

Mami semakin kuat sementara dia sendiri sepertinya tidak bertambah walau usianya sudah menginjak tujuh belas, beberapa bulan lagi dia bakal menjadi 18 dan Ananta sudah punya KTP sendiri. Setiap bangun tidur, tubuhnya seperti habis dipukuli orang sekampung. 

Ananta memeriksa lengan kanannya, tadi mami hampir jatuh dan dia menahannya hingga sikunya menabrak dinding. Semoga saja dia masih bisa melukis. Itu satu-satunya hal yang dia bisa. Kemampuan memasaknya tidak berkembang banyak, walau saat mami sadar dia sering diajari membuat kue.

Paling tidak, dia harus mengumpulkan modal supaya bisa membuka lagi toko impian ibunya.

“Tapi, gue nggak bisa masuk sekolah baking. Paling banter kursus doang …” Ananta bicara sendiri. Dia kemudian sadar kalau sesuatu menyesakkan membuatnya sulit bernapas dan dia menarik simpul dari dalam kaus sehingga kemudian lembaran kain dengan lebar sepuluh senti yang membelit dadanya dia tarik. Benda itu adalah kain stagen bekas mama melahirkan dirnya dan Trisna dulu. Di depan ibunya yang kadang hilang ingatan, dia mesti berakting menjadi abangnya. Untuk itu, dia harus menyembunyikan dadanya yang terus tumbuh.

Dulu, waktu SMP, dia masih bisa membiarkannya. Tapi, seiring berjalannya waktu, mami makin curiga dan tidak terima.

“Mami punya dua anak, Mas Trisna dan Ananta. Dua-duanya juga dipanggil Na. Yang satu sudah pergi, tinggal aku. Harusnya Mami bisa terima …”

Dia tahu belum makan sejak siang tadi. Perutnya berbunyi nyaring. Tapi, dia terlalu malas untuk makan dan satu-satunya yang paling dia inginkan adalah memejamkan mata. Tengah malam nanti dia bakal bangun dan akan memasak mi instan. Sebelum itu, biarkan dia beristirahat dulu. Batinnya butuh diobati dan dia berpikir untuk meminta obat pada perawat supaya dia bisa bertahan hidup juga.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top