bab empat : Bom Waktu Telah Meledak
Di sebelah masih gratis. Udah bab 5
Ramein ya.
***
4 RBN
Bom Waktu Telah Meledak
Ananta terbangun lima menit sebelum tengah malam. Saat membuka mata, dia merasa tenggorokannya amat kering, keringatnya juga menempel di lantai tempat dia berbaring dan dia merasa lantai keramik yang dingin menembus ke perutnya, hingga dia ingin buang air besar.
Mules karena mau beol atau karena masuk angin? tanya Ananta pada dirinya sendiri. Dia menoleh ke arah sekeliling dan merasa tidak melihat apa-apa. Sejak tadi lampu kamarnya memang tidak dinyalakan. Tapi, memang, saat di kamar, dia lebih suka bersembunyi di dalam kegelapan. Kadang, dia menyalakan lampu kecil dari power bank yang dia beli ketika ada obralan di dekat Blok M, tempatnya kadang menggelar semua lukisan untuk dijual.
Kamar Ananta dipasang lampu bohlam lima watt. Namun, penerangan kamar menjadi sangat seadanya. Dia tidak terlalu peduli, yang penting bisa melihat. Biaya listrik juga lebih murah. Sesungguhnya, dia lebih banyak membayar biaya beban tagihan listrik saja yang jatuhnya cukup mahal. Tapi, jika dicabut oleh PLN, maka dia tidak bisa menggunakan listrik dan penerangan. Karena itu, Ananta memilih giat bekerja dan tidak banyak protes pada nasib sebab dia juga melihat anak-anak muda yang sering nongkrong di toko Teddy punya nasib lebih parah dari dirinya.
Teddy menawari Ananta untuk menjual ruko karena kebetulan dia juga menyimpan sertifikat tempat itu, juga sebidang tanah milik mami, warisan dari kedua orang tuanya. Hanya saja, Ananta punya rencana masa depan sendiri dan dia tahu, tinggal di Jakarta mestilah pandai mengatur keuangan. Harga tanah masih akan terus naik dan dia bertekad untuk menahan diri sebelum menyesal di masa yang akan datang.
Dia berjalan membuka pintu kamar setelah menyalakan lampu dan segera mematikannya begitu berada di luar. Seperti kamarnya saat bangun tadi, ruang tengah sama kelamnya. Ananta sempat mengantar mami ke kamarnya. Tapi, setelahnya, dia memilih mengurung diri di kamar.
Sudah bertahun-tahun dan dia mulai terbiasa. Dia juga tidak pernah protes dengan apa yang bisa dimakan setiap hari. Asal ada beras dan telur, semua beres. Dia bisa makan telur ceplok, telur dadar, semur telur, telur sambal, semua hal sederhana yang tidak membutuhkan banyak uang. Begitu juga dengan sayur-sayuran.
“Mami lo punya tiga hektar tanah. Banyangin, minimal satu juta semeter, maka lo bakal jadi milyarder.”
Dia teringat kata-kata Teddy ketika Ananta mengatakan hampir tidak ada lagi barang yang bisa dijual. Untunglah, saat pergi Mami sempat membawa surat-surat penting mereka. Tapi, kesehatannya semakin buruk dan kesadarannya hilang timbul. Setelah bertahun-tahun, tidak bicara dengan dinding dan makan kotorannya sendiri saja sudah sangat bagus.
Ananta menyalakan lampu dapur di lantai dua yang amat kecil. Hanya sebuah meja keramik dan juga meja kayu yang ukurannya tidak lebih besar daripada meja di sekolah. Seperti niatnya tadi, Ananta ingin memasak mi instan saja.
Tangannya tidak sengaja tersenggol cangkir plastik yang tadi dipakai untuk memberi minum Irmala Dewi dan benda tersebut jatuh ke lantai. Untung saja suaranya tidak membangunkan sang ibu. Tapi, gara-gara itu, Ananta mesti berjongkok dan mengelap sisa air yang berceceran di lantai.
Ada-ada aja. Tengah malam mesti begini.
Ananta mengepel sisa air di lantai selama dua menit dan dalam keremangan cahaya, dia menemukan sebutir pil yang dikenalnya di lantai.
Kenapa obat Mami ada di sini?
Tadi memang Mami mengamuk. Tapi, Ananta yakin kalau Irmala Dewi menghabiskan obatnya. Dia sendiri yang menyuapkan obat-obat ibunya hingga wanita itu mengguyur tenggorokannya dengan air.
Mungkin ini obat yang jatuh pas gue buka dan nggak ketahuan, Ananta membisiki hatinya sendiri. Dia memilih untuk bergegas dan melanjutkan masak. Cacing-cacing di perutnya makin berontak dan dia tidak tahan lagi.
Ananta berjanji akan mengecek ibunya usai makan nanti. Kalau perlu, dia akan tidur di sampingnya dan meyakinkan Irmala kalau hidup mereka akan baik-baik saja meski cuma ada dia dan ibunya di dunia ini.
***
Ananta terbangun setelah dia merasa dirinya tidur amat lama dan badannya dipenuhi keringat. Padahal, selama ini tidak pernah terjadi. Kenapa bisa dia merasakan gerah? Apakah dia barusan berlari di dalam tidur?
Ponselnya berada di kamar dan Ananta mesti membuka mata untuk tahu jam berapa saat ini dan begitu kedua kelopak matanya terbuka, dia bisa melihat pantulan sinar matahari ke arah lemari pakaian ibunya, meski kamar itu sebenarnya masih gelap.
“Gue kesiangan, apa ya?” Ananta duduk dan memijat lengannya yang terasa ngilu. Lagi-lagi dia tidur di lantai. Tapi, dia ingat kalau tadi malam dia masuk ke kamar Mami. Wanita itu ternyata tidak tidur melainkan bersenandung sambil memeluk guling dalam gelapnya kamar. Irmala Dewi tidak suka cahaya matahari. Dia lebih senang bergumul dalam kegelapan yang kemudian disyukuri Ananta, tidak perlu banyak membuang uang demi listrik.
Meski begitu, ketiga dia menoleh ke arah sekeliling, ibunya tidak ada di dalam kamar.
Semalam gue kunci pintu, kan? tanya Ananta pada dirinya sendiri. Mami selalu berada di dalam kamar jika malam tiba dan entah kenapa, Ananta merasa khawatir. Dia berjalan menuju jendela dan menyibak gorden hingga cahaya matahari masuk dan memenuhi seluruh kamar. Ananta bisa melihat dengan jelas dan seperti dugaannya tadi, maminya tidak berada di kamar.
Pasti di ruang tengah. Semoga Mami nggak beol lagi.
Ananta membuka pintu kamar tidur Irmala Dewi. Seperti dugaannya, kamar itu tidak terkunci. Malah, anak kunci masih tergantung di lubang dengan pasrah.
Ingetin gue nanti malam buat ngunci pintu kamar Mami. Gue takut dia ngapa-ngapain di luar atau malah turun ke lantai satu.
Ananta terus bicara kepada dirinya hingga akhirnya dia berada di luar. Tapi, seperti tadi, Mami juga tidak berada di ruang tengah. Kondisi tempat itu masih sama remang seperti malam. Hanya cahaya dari kamar yang terbuka membuat Ananta bisa melihat ke arah sekeliling.
“Mi …” Ananta memanggil ibunya. Kepala gadis akhir tujuh belas tahun tersebut menoleh ke arah kiri dan kanan. Dia juga menggaruk perut yang tidak gatal. Entah kenapa, dia merasa ingin buang air besar. Perasaan itu muncul begitu saja karena dia tidak biasa buang air ketika bangun. Jika hal seperti ini terjadi, berarti ada sesuatu hal.
Gue nggak tahan lagi.
Ananta menghilang ke kamar mandi dan baru keluar sekitar lima belas menit kemudian. Dia juga telah mandi, namun, saat membuka pintu kamar mandi dan melirik jam dinding yang ada di dapur, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh, dia segera bergegas mencari ibunya. Hari sudah hampir siang dan dia lupa menyiapkan makan pagi buat wanita yang sedang melahirkannya tersebut.
“Mami, Mami ke mana? Mau makan, nggak?” panggil Ananta sekali lagi. Matanya berkelana ke mana-mana, mencari keberadaan ibunya yang tidak muncul di lantai dua. Karena itu juga, dia memutuskan untuk turun, meski tidak yakin. Irmala tidak bakal mau menjauh dari tempatnya biasa berada. Wanita itu punya kecenderungan lebih suka mengunci diri di dalam kamar.
Nggak ada di lantai satu, pikir Ananta lagi, sehingga dia berjalan kembali menuju lantai dua.
“Mi. Mami.” Ananta memanggil lagi. Dia belum pernah sewas-was ini. Biasanya, jika bangun lebih dulu, Mami akan duduk di sofa dan menyisir rambutnya sendiri.
“Irmala, waktunya makan.” panggil Ananta lagi saat dia tidak berhasil menemukan ibunya di kamar wanita itu. Jantungnya berdebar kencang dan entah kenapa dia memilih berlari ke lantai tiga.
Lantai tiga lebih gelap dari dua lantai sebelumnya sehingga Ananta yang merasa napasnya putus-putus akibat menaiki anak tangga sekali dua, langsung menyalakan lampu. Ruangan itu jadi terang, namun tidak ada sosok ibunya di sana. Yang ada hanyalah kanvas-kanvas berjajar yang ditutupi kain putih. Dengan perasaan cemas dan panik, Ananta memutuskan untuk kembali ke lantai dua.
“Mami di mana?”
Air mata Ananta hampir jatuh. Dia tidak ingin mendapat masalah atau menemukan ibunya terluka. Kadang-kadang, Irmala dikuasai pemikiran kekanak-kanakan dan juga fantasi seolah-olah dia seorang tuan putri yang terjebak di dalam istana. Tapi, bukan maunya seperti itu. Ananta masih harus bekerja dan sekolah dan dia tidak bisa membiarkan ibunya berkeliaran di jalan.
Tidak seperti dirinya, wanita itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Hartanya yang paling berharga setelah ditinggal suami adalah kedua anak-anaknya. Trisna adalah anak kesayangannya dan pukulan besar akibat kehilangan si sulung telah membuat dunianya hancur.
“Di sini.”
Ananta memejamkan mata karena mendengar suara ibunya, tepat di kamar gadis itu, satu-satunya lokasi yang tidak sempat dia cari. Di sana dengan penerangan seadanya yang tembus dari ruang tengah, Irmala berdiri dalam diam sambil memegang stagen milik Ananta yang tidak sempat disimpannya tadi malam.
“Ada ini?” Irmala menunjukkan benda tersebut kepada putrinya dengan mata berbinar, seolah-olah dia baru saja menemukan harta karun. Ananta sendiri berjalan mendekat, menahan air mata yang jatuh karena kebodohannya barusan. Entah apa jadinya bila dia hidup tanpa sang mama? Dia tidak bisa berpikir jernih lagi. Tidak apa ibunya sakit jiwa, yang penting wanita itu ada dan bernapas untuknya.
“Dulu Mami pakai buat setelah lahirkan Mas Trisna dan Dek Ananta …”
Ibunya menjadi normal pagi ini dan Ananta tidak bisa melakukan hal lain selain memeluk ibunya erat-erat dan mengucapkan betapa dia mencintai wanita itu.
“Iya. Makasih banyak sudah berjuang keras melahirkan Mas Trisna sama Ananta, Mi.”
Dia tahu, tidak seperti anak lain, dirinya punya banyak sekali kekurangan dan bila dibandingkan dengan keluarga teman-temannya yang sempurna, hidupnya jauh dari kata bahagia. Tapi, dia senang masih memiliki ibu. Dia tidak bisa lebih bahagia dari saat ini ketika menemukan ibunya memanggil namanya lagi.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top