8

Banyakin komen, ya. Sepi banget soalnya. Jadi malas apdet.

Yang ga sabar, boleh ke sebelah, di KBM udah bab 16 di KK bab 15. Isinya sama aja.

***

8 Rumah Naa dan Ben

Ananta Dahlia yang telah berhasil melompati tembok belakang kantin sekolah berusaha membersihkan sisa-sisa debu di ujung rok yang nampaknya sedikit robek karena terkait kawat karatan ketika kabur tadi. Dia hanya berdecih dan berpikir hal tersebut bukanlah jadi masalah. Kelulusan sebentar lagi. Jadi, dia tidak perlu repot-repot membeli yang baru. 

Hal itu juga jadi alasan kalau ditanya guru perihal bajunya yang jadi terlalu pendek atau juga ujung sepatunya yang mulai tipis.

“Bentar lagi lulus. Sayang duitnya.” alasan Ananta sewaktu Baby berkata ingin membelikan yang baru. Dasar orang kaya. Biarpun masih sebesar biji salak, Baby dan Bram mendapat uang jajan setara UMR ibukota. Beda dengan dirinya. Boro-boro ibukota, ibu tiri pun enggan menghidupi dirinya. 

Ananta berjalan cepat, takut ketahuan kalau dia minggat, padahal dia terlalu sering melakukan hal ini. Tidak cuma sekali dia dia dipanggil gara-gara bolos dan walinya mesti datang. Tapi, dia tidak gentar. Teddy lagi-lagi menjadi penyelamat yang paling sabar menghadapi dirinya.

“Lo, tuh, nggak kapok-kapok. Gue mesti ngangguk-ngangguk tiap guru lo ngoceh.” omel Teddy kepadanya setelah pria itu malu setengah mati masuk ruang pembinaan. Biarpun orang bilang tukang tato tidak jauh beda dengan berandalan, selama sekolah, Teddy belum pernah dipanggil guru.

“Cuma lo yang bisa gue andalkan. Aldo kepentok selangka*gan Nirina, Irmala Dewi otaknya geser. Kagak kasian ama anak perempuan merana kayak gue?” balas Ananta tanpa malu sama sekali dan respon Teddy hanyalah helaan napas berat dan doa yang tidak putus supaya di masa depan, dia tidak punya anak perempuan sebengal yang dia hadapi saat itu. 

“Gue nggak nyangka, badan tatoan, kuping ditindik segede cincin kawin, masih aja ngarep anak lo suci murni kayak tepung beras Rose Brand.” goda Ananta yang bukannya berterima kasih, malah membuat Teddy melirik ke arahnya dengan sewot. 

“Bapaknya aja yang hancur, anaknya jangan.”

Sial! Maki Ananta dalam hati.bahkan Teddy, si mantan anak berandalan saja masih berusaha dan berharap yang terbaik untuk anak yang bahkan lahir ke dunia saja belum. Sedangkan dia yang sudah hidup belasan tahun, malah dibuang-buang begitu saja oleh Aldo, papinya. Padahal, jika dilihat-lihat, Aldo tak ubahnya pria alim, baik, dan sangat mencintai keluarganya. Kenyataannya, malah tidak sesuai dengan apa yang dilihat dengan mata.

“Hei.” 

Langkah Ananta terhenti karena sebuah suara memanggil dari belakang dan dia langsung membeku di tempat. Suara barusan amat familiar sehingga dia merasa tengkuknya mendadak dingin.

“Dipanggil malah diam. Noleh, sini.” suara familiar itu terdengar lagi dan Ananta bergidik. Tidak mungkin pemilik suara tersebut nekat mengejarnya, apalagi dengan reputasi serta sifatnya yang sepuluh betul. Belum lagi …

“Ananta Dahlia.” sosok tersebut memanggil lagi, membuat Ananta memejamkan mata dan menyangkal kalau dia benar-benar mendengarnya. 

“Setan Alas, Jin Ifrit, Buto Ijo, pergi lo …” Ananta mengambil kerikil dan melemparnya bak sedang melempar jumrah ke arah belakang. Seketika, suara panik terdengar dan ketika sadar, dia tahu tidak bermimpi. Irsyad Benjamin Riyadi berdiri di hadapannya dengan kedua lengan menutupi wajah seolah dia sedang melindungi diri. 

“Lo apa-apaan, sih?” gerutu Benjamin kebingungan. Dia menyeka bagian belakang lengan yang terkena debu pasir bekas lemparan Ananta tadi. Sementara, lawan bicaranya masih terlalu kaget dengan penampakan di hadapannya, sehingga Ananta masih tidak memercayai penglihatannya. Kenapa Benjamin tiba-tiba saja ada di hadapannya? Dia ingat sekali kalau tadi pemuda itu tidak bisa melepaskan pandangan dari Laela.

“Lo kenapa ke sini?” Ananta balas bertanya. Dia edarkan pandang ke sekeliling tempat keduanya berdiri saat ini. Untung saja tidak ada orang. Jika ada yang melihat, bisa gawat. Meski bapaknya bukan pemilik sekolah SMANSA JUARA, tetap saja memalukan buat anak pemilik sekolah sebelah kabur dan menyusul gadis berandalan yang sejak dulu kala punya reputasi jelek.

“Gue mau ngajak lo balik lagi.” jawab Benjamin selurus jalan tol, membuat Ananta mendengus dan memuncratkan ingus dari hidung, “Yang benar aja. Sudah sejauh ini dan lo nyuruh balik? Sori.” Ananta putar badan dan berjalan menjauh dari tembok belakang sekolah. 

“Bentar lagi kita lulus, Na.” sahut Benjamin yang memilih menyusul. Jika dia mau jadi pahlawan, maka salah sasaran, pikir Ananta. Dia tidak punya keinginan buat kembali ke sekolah. 

“Baguslah.” balas Ananta pendek. Dia sebenarnya malas melihat Benjamin dekat-dekat dengannya saat ini. Bukan apa-apa, sebagai seorang murid yang tidak pernah punya celah, adalah sebuah kerugian jika Benjamin terus dekat-dekat dengannya.

“Makanya itu, jangan kabur.” Benjamin memegang pergelangan tangan kanan Ananta dan memandangi wajahnya dengan raut amat serius. Namun, tidak butuh waktu lama buat Ananta melepaskan tautan tangan mereka dan membuang pandangnan ke arah lain. 

“Baik, Biksu Tong.” Ananta mengiyakan. Tapi, langkahnya tidak berhenti, membuat Benjamin kembali memegang tangannya, walau sedetik kemudian dia mundur. Sikut Ananta menancap di ulu hatinya, tidak peduli wanita di depannya itu dua puluhlima sentimeter lebih pendek darinya.

“Jangan pegang-pegang gue, Ben. dilihat orang nanti.” gerutu Ananta lagi setelah melihat Benjamin mengaduh. Tak urung dia memutuskan untuk mengusap ulu hati Benjamin yang dia serang tadi. Salahkan refleks yang selalu muncul karena dia waspada, tapi, melihat temannya jadi kesusahan, dia jadi tidak enak hati. 

“Iya. makanya, kita balik ke sekolah. Jangan minggat kayak gini. Gue mau kita lulus bareng, Naa.” Benjamin ngeyel dan berpikir kalau kembali ke sekolah setelah minggat begini adalah hal wajar dan mereka bakal disambut bak pahlawan yang baru kembali dari bulan.

“Gue kasihan sama lo, Ben.” Ananta memandang simpati pada Benjamin yang terlihat amat tidak bersalah dan bernoda, lain dengan dirinya yang dia yakin, jika mati, bakal langsung dilempar ke neraka paling bawah saking kotor dan hinanya.

“Mana ada orang minggat bakal diterima masuk tanpa digeret sama guru piket dan lo jangan senang-senang dulu. Lo juga dianggap kabur, meski di dalam kepala, lo punya niat amat mulia.”

Ananta sebetulnya tidak ingin bicara demikian. Tapi, buat Benjamin yang selama ini berpikir benar adalah benar dan salah adalah salah, dia tidak bisa menerima kenyataan ini meski niatnya baik, “Gue cuma mau bawa lo pulang.”

“Pulang ke mana? Ke sekolah? Ogah. bawa gue ke bapak lo? Ogah juga. Nanti dunia gaduh.” Ananta menggeleng. Walau kenal orang tua Benjamin, dia malah tidak berkutik di depan mereka. Aura bertemu bapak dan ibu Benjamin sama seperti saat dia dibawa bertemu kepala sekolah, mengerikan. 

“Ke sekolah.” sahut Benjamin lagi. Tapi, Ananta tidak lagi mendengar. Dia hanya menggoyangkan tangan dengan malas, menyuruh Benjamin kembali sendirian. Dia tidak bakal dianggap sebagai anak yang minggat. Penampilan dan pembawaan Benjamin terlalu alim buat kabur, tidak seperti dia, sehingga jika muncul di depan gerbang sekolah, Satpam bakal percaya apa saja yang keluar dari bibir bocah tersebut. 

Ananta tidak menjawab lagi. Dia memilih terus melangkah menjauh dari tembok belakang sekolah. Niatnya masih sama, menghabiskan sisa sore di toko milik Teddy dan membantu jadi asisten tindik. Berapa saja yang dia hasilkan akan sangat lumayan membantu belanja dapur selama beberapa hari.

“Pulang, yuk, Naa.” suara Benjamin melemah setelah tahu kalau Ananta tidak bakal peduli padanya. Biasanya, Ananta yang keras hati bakal menurut jika dia memohon. Meski begitu, bukannya menurut, Ananta melewati saja Benjamin yang berhasil menyusulnya barusan. Dia sudah bertekad dan bocah Riyadi itu bukanlah penghalang. Ananta terlalu sering memukul dan mengusir Benjamin bila dia mengganggu.

“Nggak. Lo sana pulang sendiri.” Ananta tanpa ragu mengusir. Kali ini, telapak tangannya mendorong perut Benjamin dan setelah melakukannya, dia merasa amat capek. 

“Naa. Gue peduli sama lo. Nggak mau masa depan lo hancur cuma gara-gara menuruti ego. Dua bulan, Naa. bertahan sampai selama itu. Setelah lulus dan dapat ijazah, terserah lo nggak mau sekolah lagi atau mau ke ujung dunia, terserah. Tapi, sampai waktu itu tiba, lo nurut. Emang sakit rasanya belajar dan nggak ada yang peduli. Gue peduli, makanya nggak mau lo hancur sendiri.”

Dasar Benjamin, Ananta merasa pegal hati melihat kelakuannya yang sok bagai pahlawan kesiangan. Memangnya dia tidak tahu tentang kelulusan, ijazah, dan langkah yang mesti diambil saat selesai sekolah nanti? Lagipula, dia bukanlah orang yang mesti Benjamin khawatirkan. 

“Banyak bacot, lo.” Ananta mendorong Benjamin. Kali ini tidak main-main, dia menendang tulang kering bocah tampan nan malang itu sekuat tenaga hingga Benjamin berlutut di tanah, menahan ngilu dalam diam sebab teman sejak kecilnya merasa tidak butuh bantuannya sama sekali.

“Kenapa lo selalu kayak gini, sih?” Benjamin membalas Ananta dengan raut sedih yang membuat gadis tersebut bertanya-tanya angin apa yang membuat otak seorang Irsyad Benjamin Riyadi jadi seperti itu setelah biasanya dia selalu memikirkan tentang Laela Miswari.

“Lo yang kenapa jadi aneh.” Ananta menyahut. Dia merasa waktunya banyak terbuang meladeni Benjamin dan kemudian, tidak peduli lawannya terus memanggil, Ananta memutuskan berlari dan meninggalkan bocah kasmaran itu. Tidak ada gunanya GR berpikir kalau Benjamin benar-benar khawatir kepadanya, karena jika iya, seharusnya sejak dulu dia menarik Ananta keluar dari kebodohan yang membuatnya selalu dianggap rendah oleh manusia lain di sekitar mereka.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top