TUJUH BELAS
Tekan bintang sebelum mulai membaca ya~
Jangan lupa untuk tinggalkan jejak love sebanyak mungkin
❤️🧡💛💚💙💜🤎🖤🤍
Seminggu kembali ke rumah, kios sudah mulai berjalan normal. Hanya satu yang belum kembali normal, perasaan dan hatiku. Sepertinya masih tertinggal di paviliun milik Felix. Aku tidak semangat menjalani pekerjaanku, berbeda saat dulu aku menjadi office girl di So Tasty Indonesia.
Pertunangan dan acara temu keluarga anatara keluargaku dan Romi juga sudah berlangsung semalam. Apa yang bisa aku lakukan? Pasrah menerima takdir. Mungkin memang Romi jodoh yang Tuhan kirimkan untukku.
"Nila, saya pergi dulu. Kamu kalau ada apa-apa segera kabarin saya ya," pesanku pada Nila—pegawai baruku di kios.
"Baik Mbak," sahut Nila.
Aku hari ini ada janji bertemu Romi di restoran miliknya. Kami akan membahas mengenai perintilan pernikahan. Rasa malas untuk mengurusi pernikahan selalu menghantuiku, tapi mau bagaimana lagi. Aku hanya bisa mengikuti arus.
Jogja untuk sebagian orang merupakan kota yang indah dengan banyaknya kenangan manis, tapi buatku tidak begitu. Bukannya aku tidak suka tinggal di Jogja, tapi aku hanya tidak bisa menerima kenyataan. Aku ingin kabur dari masalah sejauh mungkin.
Jika dipikir-pikir, Romi merupakan pria yang baik. Dia tampan dan juga pengusaha restoran yang cukup sukses. Romi dan aku sudah kenal lama, kami tetangga masa kecil. Aku dan dia suka mencari mangga bersama. Tidak ada bayangan bahwa aku dan Romi akan membangun rumah tangga bersama.
Aku mengendarai mobil dan sengaja mengambil jalan lebih jauh. Enggan bertemu Romi dan membahas mengenai pernikahan. Seenggaknya aku bisa berkilah jika Romi memintaku tinggal lebih lama. Kios beberapa hari ini ramai setiap setelah jam makan siang.
Dua hari yang lalu aku menghubungi Felix, menanyakan ke mana aku harus mengirimkan uang yang aku pinjam dari Felix. Sampai sekarang, aku belum menadapatkan balasan apa pun. Felix hanya membaca chat dariku.
💌💌💌
Aku mendorong pintu kaca restoran, jam makan siang restoran cukup ramai. Sosok Romi terlihat sedang melayani tamu di meja nomor tiga dari pintu. Aku menuju meja sebelahnya yang kebetulan kosong.
Romi menoleh kepadaku, dia memberikan isyarat untuk aku menunggu sebentar dan aku mengangguk. Ketika Romi menggeser posisi berdirinya, aku melihat tamu yang sedang mengobrol dengan Romi. Potongan rambutnya, struktur wajahnya dan raut mukanya aku benar-benar mengenalnya.
Felix duduk di sana dengan pakaian santai. Entah apa yang dia bicarakan dengan Romi, karena sepertinya mereka terlibat pembicaraan serius. Aku tiba-tiba tidak dapat mendengar apa-apa, mataku hanya berfokus pada sosok Felix.
Mataku dan mata Felix saling bertemu, ada keterkejutan di dalam bola matanya. Aku hanya bisa diam tanpa mengatakan apa pun. Sebuah pertemuan yang membuatku merasa seperti dipermainkan.
"Icha!" Aku mengerjap saat Romi menepuk punggung tanganku. Aku menatap Romi yang ternyata berdiri di dekatku. "Mau makan apa?" tanya Romi kemudian.
Aku menarik napas pelan dan berkata, "Rekomendasi dari kamu aja Mas."
Romi memanggil salah seorang pelayan, dia menyebutkan pesanan dan baru kemudian dia menarik kursi di depanku. Aku melihat Felix dari ekor mataku, ternyata dia tidak sendirian. Felix bersama dengan Leta.
"Kamu mau foto di mana?" Romi membuka pertanyaan pertama kali. Sejak kemarin, aku dan Romi belum menentukan ingin melakukan sesi foto di mana dan konsep yang bagaimana. Karena aku ingin sekali melewati bagian ini.
"Pilih undangan dulu deh, kemarin mau warnanya yang gimana?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku mengeluarkan ponselku, menunjukkan katalog digital sebuah percetakan.
Aku memperlihatkan beberapa undangan dengan model dan warna yang cantik-cantik. Memikirkan bukan namaku dan nama Felix yang tertera, aku justru semakin tidak bersemangat. Aku sendiri tidak yakin dapat melewati hari-hariku bersama Romi.
"Bagaimana dengan warna silver? Terlihat lebih mewah dan juga lebih elegan," saran Romi.
Ketika memperhatikan Romi, aku menjadi merasa seperti perempuan jahat. Ini sama saja dengan aku membohongi Romi. Menerima pernikahan ini tanpa ada rasa tertarik padanya. Beberapa tahun ini aku dan Romi jarang bertemu, dia sibuk dengan bisnisnya dan aku sibuk dengan rasa menyesal dan patah hati.
Aku menoleh pada Felix yang ternyata juga sedang memperhatikanku. Aku tidak bisa menebak isi kepala Felix, sorot matanya yang tajam tidak menggambarkan apa pun untukku.
"Kamu kenal dengan mereka Rom?" tanyaku pada Romi sambil memberikan kode lirikan mata ke meja sebelah.
"Kebetulan ada acara festival di akhir tahun ini, mereka salah satu perusahaan sponsor dan sedang mengajak beberapa restoran lokal untuk bekerjasama. Menyediakan konsumsi gitu," jelas Romi. Aku hanya menganggukkan kepala beberapa kali. "Kamu kenal mereka?" tanya Romi kemudian.
"Enggak kenal," jawabku.
Entah meja sebelah mendengar atau tidak, yang jelas firasatku mengatakan lebih baik Romi tidak tahu soal aku dan Felix. Aku akan menceritakan semuanya nanti, saat waktunya tepat.
💌💌💌
Aku dan Romi sudah selesai memilih undangan dan bahkan membicarakan mengenai makanan yang akan disediakan. Sudah jelas, Romi sendiri yang akan turun tangan untuk bagian konsumsi.
Saat aku berdiri dan akan berpisah dengan Romi, seseorang menghampiri aku dan Romi. Pria paruh baya yang terlihat mengenali Romi, bapak itu menyapa Romi dengan ramah. Begitu pula dengan Romi.
"Kenalkan Pak, ini calon istri saya," tutur Romi memperkenalkanku dengan si bapak.
Aku menganggukkan kepalaku dan menjabat tangan seraya berkata, "Zemira Trisha."
"Gunawan, saya guru SMA Romi," tutur Si Bapak yang ternyata merupakan guru Romi.
Aku tidak menganggu pembicaraan Romi dan gurunya, menunggu dengan sabar mereka selesai berbincang. Bagaimana pun, aku harus menghormati Romi. Berpamitan dengan baik, tidak pergi begitu saja.
"Mas ... aku harus segera ke kios. Kasihan Nila sendirian," tuturku pada Romi saat melihat tidak ada cela untuk mereka berhenti mengobrol dalam waktu singkat.
Romi menoleh padaku, dia menganggukkan kepalanya. "Hati-hati di jalan, jika sudah sampai kios kabari aku," ucap Romi.
Aku meninggalkan Romi dan Pak Gunawan, berjalan tiga langkah dan aku justru menemukan Felix berdiri tidak jauh dari posisi aku, Romi dan Pak Gunawan tadi. Sepertinya dia mendengar pembicaraan kami.
"Zem, bukannya lo bilang nggak mau dinikahin? Bukannya lo kabur dari rumah?" tanya Felix yang berdiri satu langkah di depanku. Suaranya terdengar datar dan tidak ada emosi sama sekali.
Aku memaksakan seulas senyum tipis. "Setiap orang bisa mengubah keputusannya. Termasuk gue," sahutku pelan.
Aku melewati Felix dengan berusaha untuk tidak menangis. Aku sudah membuat keputusan sejak lama, sudah seharusnya aku tidak mengubah keputusan begitu saja.
Tanganku tiba-tiba ditahan Felix. Aku tidak menoleh sedikit pun dan melepaskan genggamannya di tanganku. Saat ini yang aku rasakan benar-benar kehilangan. Aku mendorong Felix untuk menjauh dariku.
Aku kira, Felix akan menyerah begitu saja. Aku salah, dia mengejarku hingga ke luar restoran. Berdiri di hadapanku dan berkata, "Apa hubungan kita benar-benar berakhir seperti ini Zem?"
Tuhan, apa yang harus aku katakan padanya?
💌💌💌
Maaf ya kalau aku lama updatenya, aku bener-bener sedang sibuk belakangan ini. Mohon pengertiannya ya :)
Selamat membaca dan jangan lupa untuk diramaikan. Kalau nggak ramai aku lebih malas lagi updatenya hihihi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top