TIGA BELAS

Tekan bintang dulu sebelum mulai membaca~

Tinggalkan emoticon love sebanyak mungkin
🤍🖤🤎💜💙💚💛🧡❤️

Imbas dari pertemuanku dengan Pak Cahrles adalah aku takut bertemu dengan Felix. Takut untuk kembali berharap bersama Felix. Restu yang dilontarkan Pak Charles membuatku justru semakin ragu.

Aku tidak bisa menebak bagaimana perasaan Felix. Dia terlalu susah untuk aku raba. Berkali-kali aku merasa bahwa Felix itu seperti dispenser. Terkadang dingin dan terkadang panas.

"Zem ...." Suara Felix terdengar dari balik pintu paviliun. Disusul dengan suara ketukan beberapa kali. "Lo nggak mau makan?" tanya Felix kemudian.

Harusnya, malam ini setelah makan malam kami akan membahas mengenai bayar membayar sewa paviliun. Atau mungkin kami seharusnya melakukan pertemuan guna membahas mengenai perjanjian seperti apa yang akan dilibatkan dalam hubungan aneh ini.

Ada mantan yang tinggal serumah dengan mantannya? Rasanya cuma aku seorang.

"Zem! Lo sakit?" sekali lagi terdengar suara Felix.

Ya, aku sedang tidak enak badan. Kepalaku sedikit pusing, terlalu banyak memikirkan Felix. Terlalu takut untuk kembali mengharapkan Felix, membuatku seketika drop seperti ini. Untuk menyahuti Felix saja aku tidak sanggup, apa lagi membukakan pintu untuknya.

Beberapa menit tidak terdengar lagi suara Felix. Aku berusaha untuk memejamkan mataku, berharap besok aku sudah lebih baik. Tapi, tiba-tiba ponselku berdering nyaring. Aku saat ini berbaring di sofa yang tidak begitu besar dengan selimut ala kadarnya.

Mantan Felix calling

Melihat nama Felix di layar ponsel, aku pun mengangkat panggilan tersebut. Aku bergumam saja menyahuti Felix. Berharap Felix bisa paham bahwa aku tidak ingin diganggu, aku ingin istirahat.

"Lo sakit?" tanya Felix dan lagi-lagi aku jawab dengan gumaman.

Panggilan pun berakhir begitu saja. Aku hanya dapat menghela napas pelan dan mencoba untuk istirahat. Mataku kembali terbuka perlahan saat mendengar pintuku dicoba untuk didobrak dari luar. Felix pasti tidak bisa masuk dengan kunci cadangan karena kunci pintu masih nangkring, aku bisa melihat kunci tersebut bergerak-gerak.

"Zemira!" panggil Felix saat akhirnya dia bisa mendobrak pintu paviliun yang malang.

"Pintunya rusak," gumamku sangat pelan.

"Bisa dibenarin," sahut Felix yang langsung memeriksaku, dia meletakkan tangannya di atas dahiku. "Lo demam. Pusing?" tanya Felix yang aku jawab dengan anggukkan kepala.

Di belakang Felix ada Mbok Ani yang membawa baskom berwarna pink. Aku membiarkan saja Felix mengambil alih baskom dan meletakkannya di atas coffee table dekatku. Dia kemudian melihat Mbok Ani dan berkata, "Buatkan bubur untuk Zemira Mbok."

"Nggak perlu, gue nggak mau makan," tuturku menolak langsung. Yang aku butuhkan saat ini hanya istirahat.

Felix menatapku tajam. "Lo harus makan, habis itu makan obat, baru bisa istirahat. Kalau begini, lo besok bisa nggak kerja," omel Felix yang semakin membuatku sakit kepala. Kalau sedang tidak sakit, aku pasti sudah menggeplaknya.

Aku menatap Felix yang mulai mengopres dahiku. Dia terlihat sangat tampan dari jarak sedekat ini. Jantungku berdetak berkali-kali lipat. Sangat-sangat cepat dan mungkin menambah panas suhu tubuhku saat ini.

"Felix ...." Aku memberanikan diri memanggil namanya. Aku menatap Felix yang kini menyingkirkan anak-anak rambutku dengan hati-hati. "Leta itu siapa?" tanyaku akhirnya.

Tangan Felix berhenti merapikan rambutku. Dia menatapku dengan tatapan yang sulit sekali untuk aku tebak. Yang jelas, aku bisa menyelam jauh ke dalam ke dua bola mata itu. Dulu, bola mata ini yang selalu menatapku dengan lembut, bibirnya selalu tersenyum dan melontarkan kata-kata manis untukku.

"Bukan siapa-siapa," ujar Felix akhirnya bersuara.

"Tapi ...." Ucapanku terhenti karena jari telunjuk Felix mengentikannya. Dia menahan bibirku dengan jari telunjuknya.

"Kita bicarakan nanti," tuturnya tegas.

Selama menit-menit yang panjang, tidak ada pembicaraan. Aku hanya menutup mataku, berusaha untuk tidur walaupun gagal. Berharap Mbok Ani segera datang dengan bubur dan obat untukku. Suasana terasa canggung sekali antara aku dan Felix.

💌💌💌

Aku makan dengan disuapi oleh Felix, rasanya malu sekali. Wajahku pasti sudah semerah tomat, untunglah aku sedang sakit. Sehingga Felix tidak curiga bahwa wajah merahku timbul karena malu dengan perlakuan yang diberikannya.

"Terakhir," kata Felix yang menyuapi suapan terakhir bubur untukku.

Setelah menyuapiku bubur, Felix mengecek kotak obat yang dibawa oleh Mbok Ani. Dia mengeluarkan obat penurun panas. Sementara Mbok Ani, mengambil piring kotor dan meninggalkan aku hanya bersama Felix lagi.

"Gue bisa sendiri." Aku hendak ingin mengambil butiran obat di tangan Felix. Sayangnya, Felix menjauhkan tangannya dari jangkauanku.

"Gue suapin. Aaaa ...." Felix benar-benar menyuapiku obat. Mau tidak mau aku menurutinya, terakhir dia membantuku minum.

"Eh!" aku berjengit kaget saat tiba-tiba Felix mendekat dan meletakkan tangannya di belakang badanku dan di bawah lututku.

Felix dalam sekejap menggendongku. Aku menatap Felix dengan mata melotot kaget. "Lo harus istirahat di kamar," ujar Felix yang membawaku menuju kamarku.

Paviliun Felix itu tidak begitu besar, namun nyaman. Ada sebuah kamar yang hanya muat satu tempat tidur single dan meja belajar di lantai yang aku letakkan berbagai macam make up serta skin care-ku.

Felix menidurkanku di atas tempat tidur, dia memakaikan selimut untukku. Bibirnya menghela napas pelan saat duduk di pinggir tempat tidurku.

"Gue tidur di luar. Kalau butuh apa-apa panggil saja." Felix berdiri dari duduknya.

Aku menahan tangan Felix yang akan keluar dari kamar. "Gue nggak papa kok, lo tidur di kamar lo aja," kataku yang memang tidak enak hati kalau Felix harus tidur di luar. Sofa di luar itu kecil untukku, apa lagi untuk Felix yang tinggi.

"Gue nggak akan bisa tidur yang ada Zem. Pintu paviliun nggak bisa dikunci, bahaya," jelas Felix yang menepuk pelan tanganku. Baru kemudian Felix melepaskan genggaman tanganku pada tangannya.

Akhirnya, aku menyetujui Felix tidur di luar. Ini juga lebih baik, karena aku merasa menjadi lebih aman. Walaupun ini perumahan mewah, kejadian waktu malam itu cukup membuatku parno.

💌💌💌

Aku mengerjapkan mataku saat pinggangku terasa pegal. Aku bangun dan ternyata aku sudah membaik. Tidak lagi merasa pusing, hanya punggung dan pinggangku yang pegal. Mungkin efek meringkuk di sofa kemarin.

Aku turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar. Pertama kali yang menarik mataku adalah sosok Felix yang tertidur di kasur portable di dekat pintu kamar. Aku berjongkok di dekat Felix, memperhatikan wajahnya yang rupawan sedang tertidur.

"Lo tahu Fel. Lo banyak berubah, dulu ... bibir lo itu banyak tersenyum. Sekarang, bibir itu banyak melontarkan kata-kata menyakitkan. Mata lo dulu selalu memancarkan kehangatan, sekarang tatapan mata lo sudah berubah mematikan. Tapi, lo tetap ganteng seperti dulu." Aku meracau dengan pelan.

Melihat Felix yang tidak terganggu, aku justru tersenyum tipis. "Kayaknya, sakit ngebuat otak gue nggak waras Fel," bisikku pelan dan memberikan kecupan ringan di pipi Felix.

"Di pipi doang?" Aku langsung terduduk mendengar suara berat Felix. Matanya terbuka perlahan dan aku melotot kaget.

💌💌💌

Mampus malu banget itu si Zemira, ketahuan cium-cium Felix dong


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top