SEPULUH

Tekan bintang sebelum mulai membaca ya~

Jangan lupa tinggalkan emoticon love sebanyak mungkin di kolom komentar
❤️🧡💛💚💙💜🤎🖤🤍

"Gajian yuhuuu!" Aku berseru senang saat membuka pintu samping rumah Felix. Di tanganku ada sekotak sepatu baru untuk Mbok Ani. Saat melihat Mbok Ani aku langsung berjalan dengan cepat atau mungkin setengah berlari.

"Apa ini Non?" tanya Mbok Ani saat aku meletakkan kotak sepatu di atas meja makan.

"Sepatu buat Mbok Ani. Kemarin Mbok ngasih sepatunya ke aku," jawabku dengan senyum manis. Aku membukakan tutup kotak sepatu itu. "Cobain dong Mbok!" seruku semangat.

Aku langsung mengeluarkan sepatu dari dalam kotak. Aku berjongkok di dekat Mbok Ani. Sayangnya Mbok Ani justru mundur satu langkah.

"Eh nanti aja Non," tolak Mbok Ani.

"Cobain dulu Mbok, aku mau lihat cocok nggak warna ini. Soalnya tadi ada dua warna," tuturku sedikit memaksa.

Mbok Ani akhirnya mencoba sepatu yang aku belikan. Aku tersenyum saat kaki Mbok Ani tersorong. Tapi, entah kenapa kok ada yang aneh. Sepatu yang aku belikan terlalu besar di kaki Mbok Ani, padahal ini cocok di kakiku. Sepatu Mbok Ani kemarin itu pas sekali di kakiku.

"Kok kegedean Mbok?" tanyaku dengan mata menyipit. Aku berdiri dan menatap Mbok Ani yang melihatku dengan bingung. "Yang kemarin itu sepatu Mbok Ani kan?" Aku memastikan hal ini, karena seingatku Mbok Ani mengaku begitu.

Kepala Mbok Ani menggeleng pelan, aku semakin tidak paham dengan gelengan kepala Mbok Ani. "Sebenarnya saya diminta Bapak buat kasih ke Non Zemira," cerita Mbok Ani. Aku terdiam mendengar pengakuan mengejutkan Mbok Ani. "Kata Bapak, beliau nggak mau Non Zemira tolak, jadinya minta bilangnya itu sepatu saya," pungkas Mbok Ani.

Felix

Felix lagi.

Apa mau Felix ini?

Kenapa Felix baik sekali?

Padahal gue udah jahat banget sama dia.

Gue ninggalin dia, mutusin hubungan begitu saja.

Aku tiba-tiba merasa bersalah dan menangis pelan. Mbok Ani yang kaget langsung bertanya padaku, aku kenapa. Tangisku justru semakin keras. Aku memeluk Mbok Ani dan menangis sejadi-jadinya.

Sikap Felix ini membuatku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Aku tidak bisa terus-terusan menyusahkan Felix. Aku yakin Felix pasti sangat marah denganku, dia pasti muak melihatku yang tidak tahu diri.

💌💌💌

Aku duduk di single sofa yang ada di paviliun. Di meja depanku terdapat sepasang sepatu yang beberapa minggu ini menemani hari-hariku. Sepatu yang tadinya aku kira milik Mbok Ani, ternyata pemberian Felix.

"Ukuran kaki kamu berapa?" Felix bertanya saat aku menggandeng lengannya.

Saat ini, aku dan Felix berada di sebuah pusat perbelanjaan di Semarang. Aku bekerja di Semarang sebagai admin di sebuah perusahaan lokal. Aku dan Felix sudah berpacaran selama satu tahun.

"Kamu lupa? Padahal aku udah pernah bilang! Awal tahun kemarin kamu beliin aku sepatu loh," ucapku sebal pada Felix yang suka sekali melupakan informasi tentangku.

Felix itu giat sekali bekerja, walaupun dia anak orang kaya. Felix selalu bilang dia ingin sukses karena dirinya sendiri, bukan karena nama keluarganya. Awal perkenalan kami, aku sempat ragu saat siapa Felix. Aku yang hanya anak perempuan dari keluarga sederhana jelas tidak berani banyak berharap.

Tangan Felix mengusap rambutku, dia juga tertawa pelan dan kemudian berkata, "Aku bercanda, ukuran 39 kan?"

"Tumben ingat." Aku melirik pada Felix yang diam saja, dia tidak menyahuti apa-apa. Felix membawaku berbelok masuk ke sebuah toko sepatu.

Aku tersenyum miris saat mengingat kenanganku dengan Felix dulu. Rasanya ada beribu-ribu jarum yang menusuk jantungku. Aku tidak pernah mengira bahwa semua akan seperti ini. Aku kira, aku bisa kuat menghadapi Felix dan masa lalu kami.

Nyatanya, yang namanya mantan tetaplah mantan. Seseorang yang pernah memberikan kenangan indah, seburuk apa pun perpisahan itu, pasti tetap akan meninggalkan bekas.

💌💌💌

Ini hari ke tiga Felix di luar kota. Terakhir komunikasi kami ya soal hutangku padanya. Sejak semalam, aku sudah bimbang ingin bertanya atau tidak. Rasanya ganjal saja, kenapa Felix membelikanku sepatu?

Jika Felix bersikap jahat tanpa sedikit pun baik padaku, mungkin semuanya lebih mudah. Baik untuk aku dan juga Felix. Bohong kalau aku tidak merasakan apa-apa pada Felix, aku masih menyukai Felix. Atau mungkin aku sudah jatuh cinta lagi pada Felix?

+62 8126678xxxx: Icha ini Mama
+62 8126678xxxx: Cha, kamu nggak mau pulang sayang?
+62 8126678xxxx: Mama kangen sama kamu. Eyang kamu lagi sakit, Cha. Nyariin kamu terus.

Aku terdiam saat mendapat chat dari nomor asing. Saat membukanya aku lebih terdiam lagi karena itu Mama. Nomornya, aku hapal dengan nomor mama, bagaimana Mama memanggilku Icha.

Kabar Icha baik Ma
Mama gimana kabarnya?
Maafin Icha Ma, Icha belum bisa pulang
Icha nggak mau dinikahin sama Romi.
Icha janji, kalau Icha sudah sukses. Icha bakalan pulang Ma.

Setitik air mata mengalir di pipiku, cepat-cepat aku menghapusnya. Takut nanti ada yang datang ke pantry. Aku sangat merindukan Mama, beliau perempuan berhati lembut yang selalu mendengarkan segala macam rengekanku.

Aku tidak tahu kapan aku akan sukses. Seenggaknya, aku akan pulang dengan harga diri. Aku tidak mau dinikahkan dengan Romi. Ini semua berawal dari gagalnya pertunanganku dengan Felix, hidupku tidak baik-baik saja.

"Zem nanti jadi nggak? Makan bakso di tempat langganan gue." Tiba-tiba Andi masuk ke pantry. Aku langsung mengusap wajahku, takut kalau Andi tahu aku habis menangis.

"Jadi dong!" seruku dengan senyum yang aku paksakan. Tepat saat itu, ponselku berdering pelan. Nomor Mama tertera di layar ponselku.

Andi dan aku sama-sama melihat ke layar ponselku yang ada di atas meja. Aku mengambil ponselku, menggelapkan layar tanpa mengangkat panggilan. Aku langsung pergi dari pantry, menghindari pertanyaan dari Andi.

Maafin Icha, Ma.

Aku hanya bisa mengucapkan maaf dan maaf di dalam hatiku. Aku mungkin memang sudah menjadi anak durhaka, tapi aku tidak mau hidup diatur. Aku tidak mau pulang ke rumah sebelum aku punya pondasi yang kuat untuk menopang diriku sendiri.

"Zemira ...."

Aku berbalik badan saat seseorang memanggilku. Aku meluhat karyawan dari bagian HRD memanggilku, aku tidak ingat namanya siapa.

"Iya Pak?" sahutku mendekat.

"Kamu dipanggil Bu Mayang," tuturnya.

Bu Mayang merupakan manager HRD. Beliau masih muda, tetapi memiliki aura galak yang luar biasa. Ini pasti aku dipanggil karena masalah kemarin dengan Bona. Karena, memang aku jadi digosipkan oleh karyawan-karyawan lain.

"Baik Pak," sahutku sopan.

Aku berjalan menuju ruangan Bu Mayang yang ada di sayap kanan gedung. Sepanjang perjalanan, aku menguatkan hati untuk dapat menerima teguran. Aku tahu, ini pertama kalinya aku dipanggil HRD, biasanya hanya akan diberikan teguran lisan terlebih dahulu. Kalau berbuat salah dengan Felix, jangan ditanya. Sudah tidak terhitung jumlahnya!

💌💌💌

Kalian luar biasa banget sih. Kaget loh aku kalian bisa capai target cepat. Satu babnya lagi aku update nanti malam. Tapi ingat, bab ini tetap diramaikan juga~


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top