LIMA

"Mbok, ini punya siapa?" Aku mengangkat sepasang flat shoes yang aku temukan di depan pintu paviliun. Tidak ada kotaknya, benar-benar hanya flat shoes ini dan ukurannya pas sekali denganku.

"Oh, itu punya Mbok. Masih baru kok, Non," sahut Mbok Ani.

Aku tersenyum pada Mbok Ani, merasa sangat berterima kasih pada beliau. Jadi, kemarin aku sempat mengeluh sakit kaki pada Mbok Ani, mencari plaster luka juga untuk menutupi kakiku yang lecet-lecet.

"Makasih Mbok! Nanti pas gajian diganti." Aku mengedipkan sebelah mataku. Mbok Ani hanya mengangguk saja.

Aku melihat-lihat ke adaan rumah yang sepi, seharusnya Felix belum berangkat kerja. Manusia itu berangkat di jam sembilan. Mobilnya pun juga masih terparkir di garasi tadi.

"Ini buat sarapan, Non." Mbok Ani menyerahkan sekotak bekal yang berisi nasi goreng.

Tentu saja aku menerimanya dengan senang hati, tidak akan melewatkan kesempatan langka ini. "Terima kasih Mbok!" seruku senang.

Aku langsung kabur menuju paviliun, takut ketahuan Felix. Aku bersiap berangkat kerja seperti biasa. Keluar dari paviliun dengan penampilan rapi, aku bertemu dengan Felix. Dia sedang menunduk melihat body belakang mobilnya.

Mampus!

Aku ingat bahwa kemarin sudah menyebabkan lecet di bagian belakang mobil Felix. Sepertinya, Felix baru menyadarinya hari ini. Aku cepat-cepat mengunci pintu paviliun dan pura-pura tidak tahu dengan kelakuan Felix.

"Zem, ini lecet kenapa?" tiba-tiba Felix bertanya.

"Mana gue tau!" sangkalku yang tidak mau menatap Felix, aku menunduk melihat ke ujung flat shoes pinjaman dari Mbok Ani yang aku kenakan.

Felix memegang daguku, dia mengangkat wajahku. Kini pandangan mata kami bertemu, Felix tersenyum tipis dan berkata, "Gue paling tahu saat kapan lo bohong, Zem."

Sumpah asli, demi apa bulu kudukku langsung meremang. Berdiri tidak jelas karena suara serak Felix. Belum lagi penampilan Felix yang hanya mengenakan kaos putih tipis dan celana boxer hitam. Otakku kemana-mana memikirkan apa yang ada di balik kaos dan celana Felix.

"Sorry, waktu itu ada yang nyenggol dari belakang," cicitku pelan. Aku mundur selangkah, membuat Felix melepaskan tangannya dari daguku.

Aku mendengar helaan napas Felix, sepertinya dia pusing dengan kelakuanku yang banyak merugikan dirinya. "Kapan sih kamu itu nggak ceroboh Zem?" keluh Felix membuatku meringis pelan.

"Maaf," gumamku pelan sambal menundukkan kepala.

Aku mendengar langkah kaki Felix menjauh, mengangkat kepala dan melirik ke arah pintu penghubung garasi dengan rumah. Felix menghilang dibalik pintu, dia pergi tanpa mengucapkan apa pun. Aku mengelus dadaku pelan, setidaknya untuk saat ini aku selamat.

"Felix ... biaya OR-nya nanti gue tanggung. Gue berangkat, sekali lagi sorry!" teriakku dari depan pintu penghubung ke rumah utama. Aku melihat Felix yang sedang mengancingkan lengan kemejanya.

"Hmm." Felix hanya bergumam saja. Kesempatan ini aku gunakan untuk langsung pergi kerja, bahaya jika Felix berubah pikiran begitu saja.

💌💌💌

Aku membungkuk sekilas, menyapa Felix yang baru saja datang. Kegiatanku membersihkan ruangan Felix juga sudah selesai. Sehabis ini aku bisa istirahat sarapan sebentar. Nasi goreng yang dibawakan oleh Mbok Ani tadi sudah memanggil-manggilku.

"Zem!" Felix memanggilku saat aku akan keluar dari ruangannya.

"Ya Pak?"

"Nasi goreng kamu, tukar dengan ini," ujar Felix yang meletakkan dua buah roti lapis segitiga.

Aku menggelengkan kepalaku tidak terima. "Nggak!" tolakku langsung.

"Lo mau tukeran atau mau gue potong gaji?" ancam Felix membuatku menghela napas pelan.

"Baik, Pak." Aku akhirnya menurut.

Aku keluar dari ruangan Felix, berjalan menuju pantry dan mengambil bekal nasi goreng di dalam lokerku. Aku membawanya ke ruangan Felix.

Di dalam ruangan Felix ada Chika yang sedang berdiri sembari mencatat sesuatu. Aku juga dapat mendengar Felix berkata, "Selama tiga hari saya pergi kamu laporkan semuanya tepat waktu, mengerti?"

Felix mau pergi? 3 hari? Yes!

Hati kecilku langsung bersorak-sorak senang. Felix pergi ke luar kota atau kemana pun itu aku tidak masalah, ke pluto sekali pun juga oke! Setidaknya, pekerjaanku sedikit lebih ringan tanpa omelan dan kebawelan Felix.

"Ini Pak," gumamku pelan. Aku meletakkan kotak bekal isi nasi goreng di atas meja Felix, kemudian mengambil roti isi yang ada di atas meja. "Permisi," pamitku meninggalkan Chika dan Felix.

Aku duduk di kursi yang ada di pantry. Tidak ada orang di pantry, karena semua office boy dan office girl sedang membersihkan ruang pertemuan Caton building ini. Kabarnya besok malam aka nada acara pertemuan para top manajemen dengan rekanan yang bekerjasama dengan Caton Group.

Ternyata, ada untungnya juga menjadi pembantu eksklusif Felix. Tidak ada yang berani menyuruhku ini dan itu seenaknya. Bahkan Chika sekali pun. Hanya Felix yang bisa memerintahku.

Dipikir-pikir, enak benar ya hidupnya si Felix. Punya asisten pribadi alias pembantu eksklusif yang digaji oleh perusahaan. Tinggal teriak: Zem! Ambil ini, Zem! Photocopy ini! Zem! Zem! Zem!

"Bengong lo!" seseorang menegur sembari menepuk pundakku.

Aku melihat Andi datang dengan raut lelah. Dahiku mengernyit dan berkata, "Habis nguli lo?"

"Iya! Bener deh itu ruang pertemuan gede tapi didekor sendiri. Pelit bener ini perusahaan nggak mau sewa jasa dekor," keluh Andi.

Aku tertawa mendengar keluhannya. "Heh! Itu namanya menghemat. Buat apa perusahaan punya alat-alat dekor dan segala macam printilannya kalau masih harus bayar jasa dekor?" jelasku.

Aku memberikan sepotong roti lapis segitiga yang ada di tanganku. Andi mengambilnya dengan cengiran senang. "Makasih, Zem!" ujarnya.

Sebenarnya, makan satu potong roti lapis tidak membuatku kenyang. Tapi, tidak tega dan tidak sopan saja makan di depan orang tanpa menawari. Sehabis ini mungkin aku bisa menyeduh minuman sereal rasa cokelat.

"Lo ditugasin buat bantuin acara besok malam nggak, Zem?" tanya Andi yang kini berjalan menuju dispenser, di tangan kanannya ada gelas plastik kosong berwarna biru.

"Nggak tahu. Soalnya belum dapat perintah dari Felix," sahutku sekenanya. Andi menatapku dengan kepala menggeleng pelan. "Kenapa?" tanyaku heran.

"Cuma lo doang yang berani manggil Pak Boss dengan nama doang," kata Andi.

"Dia terlalu muda buat gue panggil Pak atau Bapak."

"Tapi ...."

"Udah! Contoh nggak baik kayak gue jangan lo tiru. Gue udah banyak dapat ancaman pengurangan gaji, miskin kalau lo kayak gue." Aku menyela perkataan Andi, isinya memang setengah curahan hatiku.

Andi tertawa puas. Aku juga ikut tertawa bersama Andi. Setidaknya bekerja di sini lumayan asik, aku bisa menemukan teman-teman yang baik. Walaupun, sebagian berjiawa gossiper, tetap saja mereka baik-baik.

Tiba-tiba ponselku berdenting pelan. Aku mengeluarkan benda pipih tersebut dari kantong seragam. Firasatku langsung tidak enak begitu melihat nama kontak yang tertera di pop-up bar.

Mantan Felix: Besok lo bantuin di ruang pertemuan. Jangan buat masalah!

"Gue bakalan bergabung sama lo dan yang lainnya besok," kataku pada Andi yang sangat senang mendapatkan tambahan orang yang ikut susah bersamanya.

💌💌💌

Maaf ya aku baru sempat update. Belakangan ini aku lagi banyak banget pikiran, dan beberapa masalah yang harus aku selesaikan. Mohon pengertiannya ya!
Jangan lupa untuk diramaikan guys~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top