DUA

Kalian tahu aku diberikan posisi apa oleh Felix?

Office girl pribadi! Khusus hanya untuk mengatur ruangan Felix dan menjadi babu dia. Aku dilarang menerima atau mengerjakan pekerjaan lain, hanya boleh dari Felix seorang. Ini kok ya aku jadi ingin menggetok kepalanya si Felix?

"Gue bayar hutang ke lo nyicil ya, banyak soalnya," tuturku sembari memiringkan kepalaku, berusaha melihat raut wajah Felix.

"Suka-suka lo, yang jelas lo ingat kerjaan lo di sini apa dan buat siapa," sahut Felix dengan matanya yang tajam.

Aku mendengus pelan menatap Felix. Tidak mungkin aku lupa dengan semua hal menjengkelkan itu. Felix sudah memperingatiku berkali-kali sejak tadi. Mau menolak juga tidak mungkin, zaman sekarang mencari pekerjaan tidak mudah. Sementara, jika aku enak-enak tanpa kerja, hutangku pada Felix akan terus menggunung.

"Lo kenapa sih beliin gue i-phone mahal begini? Gue jadi susah nyicil hutangnya," gerutuku pada Felix.

"Lo tahu Zem, cuma lo di sini yang berani menggerutu ke gue," tutur Felix dengan matanya yang menatapku tajam. Aku meringis pelan ingat dengan kesalahanku. "Lo sudah bisa mulai kerja, seragam lo minta di bagian HR. Gue udah bilang Chika buat bantuin lo," jelas Felix yang tangannya mengibas-ngibas, dia mengusirku keluar dari ruangannya.

Aku mendengus pelan, berjalan dengan membuat hentakan kaki karena kesal. Benar saja, Chika –sekretaris Felix, sudah menunggu di luar. Aku memberikan senyum canggung pada Chika yang justru sepertinya menahan senyum.

Coba, dimana office girl-nya secantik gue? Cuma Felix doang yang gila!

💌💌💌

"Capek gue!" keluhku yang kini terduduk di sofa depan meja Chika. Aku sudah lima kali bolak-balik dipanggil Felix. Demi apa, lima kali bolak-balik itu hanya menyesuaikan selera Felix mengenai kopi hitamnya.

"Biasanya yang buatin Pak Felix kopi, siapa Chik?" tanyaku pada Chika yang tersenyum menatapku.

Oke, aku bukannya tidak sopan, tapi Chika sendiri yang memintaku untuk menanggalkan embel-embel, Mbak, Ibu, Kakak dan segala macamnya. Aku sih oke-oke saja, toh sepertinya Chika memang lebih muda dariku.

"Beli di café bawah," sahut Chika santai.

Aku hampir saja mengamuk ketika mendengarnya. "Lalu? Ini kenapa sok minta buatin gue?" tanyaku sambal menahan kesal, sementara Chika hanya menggerakkan bahunya sekilas.

Aku pun mendengus pelan dan kesal. Padahal, aku tadi membuatkan kopi sesuai dengan selera Felix dulu.

Memang Felix yang dulu dan yang sekarang sama?

Iblis di dalam hatiku mencibir begitu saja. Membuatku tersadar bahwa Felix yang sekarang berbeda dengan Felix yang dulu. Jika dulu Felix rapi jali dan terkesan seperti pria cupu dan culun, berbeda dengan Felix yang sekarang. Dari selera fashion saja Felix sudah berbeda.

"Zem! Dipanggil Pak Boss." Chika membuyarkan lamunanku. Dia menaikkan nada suaranya saat memanggil namaku.

"Apa lagi Tuhan!" keluhku yang memaksakan diri untuk berjalan menuju ruangan Felix.

Aku mengetuk pintu ruang kerja Felix, setelah mendengar perintah dari dalam barulah aku berani masuk. Felix terlihat sedang sibuk menatap layar laptopnya. Perlahan aku mendekat pada Felix.

"Ada yang bisa dibantu Pak?" tanyaku sopan.

"Fotokopi ini, dua rangkap," pinta Felix sambal mengetuk-ngetuk jarinya di atas sebuah berkas.

Mataku melotot kesal, aku ingin sekali memaki Felix. Sepertinya kehadiranku di So Tasty hanya untuk menjadi babu exclusive Felix. Mudah-mudahan aku tidak khilaf dan membalas dendam saat Felix tidur nyenyak nanti malam.

"Baik Pak Felix," sahutku yang mengambil berkas di atas meja Felix dengan kasar, aku bahkan sengaja menekan kata-kataku untuk menyinggung Felix.

Aku berjalan keluar dari ruangan Felix dengan wajah ditekuk. Melewati Chika yang sepertinya menertawaiku. Ini namanya aku meringankan pekerjaan Chika.

Mesin fotokopi ada di sayap kanan lantai sepuluh, sementara ruangan Felix ada di sayap kiri, aku harus berjalan melewati kubikel karyawan-karyawan yang sepertinya penasaran dengan sosokku. Atau mungkin mereka aneh, melihat wanita secantikku mengenakan seragam office girl bahkan dengan high heels.

"Eh tadi berapa banyak ya," gumamku lupa dengan perintah Felix. "Paling satu rangkap doang," lanjutku yang mulai memfotokopi berkas milik Felix.

Aku berdiri di sebelah mesin fotokopi sembari bersiul pelan, kakiku bergerak-gerak mengikuti irama siulan yang aku keluarkan. Aku belajar bersiul dari Pak Lek Dirga, katanya bisa membunuh kebosanan.

"Berisik tahu nggak." Tiba-tiba seorang karyawan perempuan memarahiku. Dia menatapku dengan mata tajam. Posisi mejanya memang dekat dengan mesin fotokopi.

"Maaf," kataku sembari menganggukkan kepala.

Setelah selesai memfotokopi aku kembali ke ruangan Felix. Kakiku terasa ingin patah, tidak sanggup berjalan lebih banyak lagi. Mulai besok aku akan bekerja menggunakan flat shoes saja!

"Eh Zem!" Chika mencegahku saat aku akan mengetuk pintu ruangan Felix. "Bapak lagi ada tamu," lanjut Chika.

Aku pun mengangguk dan meletakkan berkas fotokopi tadi di atas meja Chika. "Titip ya Chik. Gue ma uke toilet dulu," tuturku.

💌💌💌

Aku masuk ke salah satu bilik toilet, duduk di atas toilet yang tertutup. Aku mulai mengurut kakiku secara bergantian. Melihat ke bagian belakang kaki yang ternyata mulai memerah.

"Lo tahu nggak kalau ada OG baru, gayanya kayak paling cantik aja."

"Iya! Kesel banget gue, baru OG aja gayanya udah selangit."

"Masuk lewat koneksi Pak Felix dia. Tapi cuma dikasih jabatan OG."

Aku merasa panas sekali mendengar celotehan tidak jelas manusia di luar bilik ini. Sudah jelas mereka membicarakan diriku. Lekas aku memencet toilet, menimbulkan suara toilet tersiram. Kubuka pintu bilik toilet sedikit kasar.

"Memangnya kenapa kalau OG?" tanyaku yang berdiri di sebelah dua orang perempuan yang sepertinya sedang touch up. "OG nggak boleh cantik, nggak boleh modis dan trendy? Coba lo mainnya agak jauhan dikit, jangan katro banget jadi orang," kataku kesal dan menyenggol pelan bahu salah satunya, yang aku ingat sedang memegang lipstick.

"Sialan lo!"

Aku masih mendengar sayup-sayup protesan kemarahan kedua perempuan itu. Memang orang iri begitu, tahunya hanya menghujat saja. Memangnya kenapa jika office girl?

Aku kembali ke tempat Felix. Di depan meja Chika berdiri Felix yang sedang memegang berkas yang tadi aku fotokopi. Chika menundukkan kepalanya takut-takut, seperti sedang dimarahi oleh Felix.

"Kenapa? Itu berkas yang gue fotokopi tadi," kataku menunjuk map bening di tangan Felix.

"Lo salah fotokopi. Gue minta dua rangkap, tapi ini cuma satu." Felix menatapku sengit.

"Ya maap! Lo nggak perlu marahin Chika. Masalah sepele gini doang juga, suka banget ribut-ribut." Aku mengambil map bening yang ada di tangan Felix. Membuat Felix kaget karena aku menarik map tersebut dengan keras.

Aku mendesis pelan karena perih di bagian belakang kakiku. Meski begitu, aku tetap melaksanakan tugasku memfotokopi berkas Felix. "Dasar iblis," gerutuku sepanjang berjalan menuju mesin fotokopi.

💌💌💌

Ramaikan Guys!
Jangan kasih sepi loh!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top