Terluka

Setelah gambaran tersebut memudar, kesadaranku tiba-tiba mulai berkurang, Aku melihat Nenek berucap di sampingku, dengan sekuat tenaga pula aku berusaha untuk menjaga kesadaran meski sulit,

"Nak, perjalanan kita akan Nenek cukupkan hingga batas ini. Terima kasih sudah hadir di rumah Nenek. Nenek tahu akan kedatangan seorang pemuda yang nantinya akan datang. Dari pertama mendengar kabar tersebut, Nenek tak sabar untuk menunggu kehadiranmu. Dan, kamu sudah berada di sini bersama Nenek. Nenek sangat bahagia bisa bertemu denganmu," ucap beliau dibarengi senyuman.

"Jangan lupakan janjimu ya, Nak, temui Bunda Kandita saat kamu kembali nanti dan sampaikan salam Nenek pada beliau begitu kamu bertemu dengannya," tutupnya.

Setelah Nenek selesai berkata demikian, tubuhku seakan tertiup angin yang kencang. Angin yang sama saat pertama kali memasuki gua. Tubuhku terhempas jauh. Masih sempat aku melihat air sungai yang sedari tadi terbelah. Kini, kedua sisi yang berseberangan kembali menyatu dan membentuk sungai yang normal.

Bayangan yakis sedang melahap gadis yang dipersembahkan oleh suami istri itu pun lenyap, tetapi ke mana perginya Nenek?

Yang kutahu, saat itu aku mulai tak sadarkan diri. Semuanya terasa gelap.

***

Keesokan harinya, aku terbangun dari tempat tidur dan mendapati tubuhku bersimbah darah, terutama bagian lengan dan pinggang. Mulai kurasakan perih yang teramat sangat.

Aku mencoba bangkit dari tempat tidur. Sekilas, kuperhatikan ternyata hampir seluruh bagian kasur yang kutiduri, telah berubah warna jadi merah. Sepertinya, semalam aku kehilangan banyak darah hingga sekarang merasa pusing saat mencoba bangkit dari tempat tidur. Mataku pun berkunang-kunang.

"Aaakh!"

Aku mengerang, menahan rasa sakit di sekujur tubuh. Juga, terasa sangat lemas dan perih di bagian yang terluka.

Di tengah menahan sakit dan perih, tiba-tiba pintu kamar dibuka oleh salah satu teman.

"Lho, Dre! Kamu kok bisa terluka parah begini? Kamu dari mana semalam?" tanya Shelly saat itu lalu disusul Asih yang melihatku di tepian ranjang.

"Asih, coba panggil dokter atau mantri, suruh cepet obatin Andre. Kasihan dia," pinta Shelly. Dengan sigap, Asih langsung keluar kamar. "Kamu dari mana sih, Dre? Kok, bisa luka parah begini?"

"Tidak tahu, Mak. Saya cuma tidur semalam. Begitu bangun, tahu-tahu sudah begini," jawabku sembari meringis menahan sakit.

"Duuh ... kayaknya semalam dipindahin setan, deh. Makanya kamu jadi begini," sahut Shelly cemas sambil melihat-lihat luka yang ada di lengan dan pinggangku.

"Huuuss! Jangan sembarangan ngomong sih, Mak."

"Ya sudah, hari ini biar saya berdua Asih saja yang jualan. Kamu istirahat aja. Ada Rafli juga yang masih jaga Ina di kamar sebelah, nanti kalau butuh apa-apa, tinggal bilang saja sama Rafli," ujar Shelly sembari membantuku berdiri. Dia ingin membantu membereskan ranjangku yang masih penuh dengan darah.

Aku sangat beruntung memiliki teman seperti Shelly, dia yang paling peduli padaku. Dia juga selalu membantuku dalam hal apa pun jika aku kesulitan.

Aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri. Bukankah jika kita sedang berada di tanah rantau dan mengadu nasib, hanya teman sesama wilayah yang kita anggap seperti keluarga?

Shelly dan aku memang sama-sama berasal dari Jawa Barat, yang membedakan adalah dia kelahiran Cirebon.

Gayanya yang selalu nyentrik dan berambut pendek, memberikan kesan tomboy. Meski begitu, dia sangat peduli padaku.

Mungkin, hanya aku yang dia anggap seperti saudara karena Shelly adalah anak tunggal.

Setahuku, dia memiliki latar belakang keluarga yang kurang beruntung. Sejak masih dalam kandungan, dia sudah ditinggalkan oleh ayahnya.

Itulah sebab hingga saat ini Shelly tak pernah tahu sosok ayahnya sedari dulu. Namun, bukan karena ayahnya meninggal, tetapi sengaja meninggalkan sejak Shelly masih ada dalam kandungan demi wanita lain.

Mungkin hal itu juga yang membuat Shelly jadi terbiasa mandiri dan berusaha menjadi sosok kuat tanpa kasih sayang seorang ayah.

Bisa dikatakan, pengalaman pahit dalam hidupnya itulah yang membuatnya menjadi tomboy dan sangat terampil dalam berbagai hal.

Tak lama, Asih datang diikuti bidan muda yang kemarin memeriksa Ina. Aku terkejut, jantung langsung berdebar tak karuan saat melihat kehadirannya.

Ada rasa yang sulit untuk kuungkapkan. Jantung berdegup semakin kencang saat Bu Bidan menghampiri. Apakah ini cinta?

"Loh, Mas kenapa bisa terluka parah seperti ini?" tanya Bidan itu. Yang langsung membuatku kaget. Rasa sakit langsung sirna ketika mendengar suara halus yang keluar dari bibir mungilnya.

"Kok Kakak bidan sih yang dibawa? Di sini tidak ada mantri atau dokter ya, Sih?" tanya Shelly.

Asih tidak menjawab, hanya Bu Bidan cantik yang membuka suara dan mencoba menjelaskan. "Iya, Mbak Shelly. Sebetulnya, di sini ada dokter juga, tapi semalam berangkat ke Ternate. Jadi, beliau titip pesan pada saya, jika ada yang membutuhkannya, saya yang bertugas sementara," ucapnya tenang.

Aroma parfumnya yang kalem, membuatku tak berhenti menatap kembali wajah manis bidan itu. Hingga aku lupa bahwa saat ini sedang terluka.

"Oh begitu ya, Kak?"

"Waah ini sih, enak di Andre, dong! Bisa dirawat sama Kakak bidan cantik, haha!" ledek Shelly diikuti suara Asih yang ikut tertawa.

"Cieee ... Andre lagi berbunga-bunga, nih. Bisa ketemu lagi sama Kakak bidan cantik, cieee!"

Bidan itu hanya tersenyum kecil sambil menggeleng. "Ayo sini, Mas, saya obati lukanya dulu," ajaknya sambil menuntunku duduk ke tepian ranjang.

Kemudian, dia membuka tas. Kulihat, isinya perlengkapan medis dan bau khas dari obat-obatan. Sekilas, aku melihat di atap sana, sosok wanita berambut panjang yang kemarin kulihat, hadir.

Dia masih saja menggoyangkan perlahan kepalanya dan mengayunkan kaki di antara kayu penopang atap.

Kamu jangan ganggu dulu, ya. Nanti ada waktunya kita bisa bermain, tapi bukan sekarang.

Setelah berucap kata itu dalam hati, wanita berambut panjang itu pun melambaikan tangannya, lalu menghilang.

Aku hanya tersenyum melihatnya mengerti dengan apa yang kupikirkan.

Lalu, mengalihkan pandangan pada bidan cantik yang saat ini tengah mengobati lukaku. Dia merawatku dengan penuh perhatian dan sangat teliti.

Beberapa kali aku meringis menahan sakit saat kapas yang dicampur alkohol dalam genggamannya mengenai lukaku.

"Sakit ya, Mas?" tanyanya yang membuat perhatianku kabur seketika.

"Eh, iya, Kak. Aduuhh ... sssh!" ujarku. "Makasih ya, Kak, sudah dua kali ini membantu kami. Pertama, membantu Bu Ina dan sekarang, Kakak membantu merawat luka saya," lanjutku sembari menahan sakit dan perih.

"Sudah jadi tugas saya, Mas. Saya senang bisa membantu," sahutnya dibarengi senyuman manis. Melihatnya tersenyum, membuat hatiku pun kian meleleh.

"Cieee ... Andre jadi salah tingkah di depan Kakak Bidan, cieee!" ledek Shelly yang saat itu berdiri di belakang Bu Bidan. Kulihat, Asih pun juga ikut menertawaiku.

"Apaan sih, Mak? Ganggu saja!" jawabku ketus.

"Oh iya, Kak, nama Kakak siapa? Dari kemarin, kita belum tau nama Kakak," celetuk Asih tiba-tiba.

Bidan cantik itu pun berhenti sejenak, lalu menoleh pada Asih dan Shelly. "Panggil saja Naya, Kak Asih. Nanti jangan panggil saya Ibu lagi, ya. Saya kan belum menikah," jawabnya.

"Waaah, belum menikah tuh, Dre. Bisa tuh kamu dekati, siapa tahu jodoh! Haha!" Lagi-lagi, Shelly meledek dengan ekspresi yang membuatku makin kesal.

Namun, Bidan Naya hanya menimpali ledekan tersebut dengan senyuman. Lalu kembali lanjut merawat dan menutup lukaku dengan perban yang dia bawa.

Setelah selesai membersihkan dan menutup semua luka dengan perban, bidan itu pun kemudian izin pamit pada kami. Tak lupa, dia juga memberi obat dan menerangkan aturan minum yang harus kuikuti.

"Saya pamit dulu ya, Kak. Nanti siang ke sini lagi. Supaya sekalian memeriksa kondisinya Bu Ina," tutupnya dengan ramah.

Setelah bidan cantik itu keluar diikuti oleh Shelly dan juga Asih, tinggal aku sendiri di kamar. Aku mulai terbayang-bayang kembali wajah manis Bidan Naya. Hingga tanpa sadar, aku senyum-senyum sendiri.

Namun, di tengah hatiku yang berbunga-bunga, aku kembali dikagetkan oleh kemunculan sosok aneh yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top