Suku Moro, orang bunian?

Di tengah kebingungan dan ketakutan, aku benar-benar pasrah. Situasi saat ini benar-benar terjepit. Namun, saat kami mulai dikerumuni oleh sekumpulan mayat mengerikan, tiba-tiba terdengar seperti suara orang yang memanggil.

"Sebelah sini, cepat kemari!" seru suara tersebut.

Aku berusaha untuk mencari sumber dari suara itu dan saat melihat ke depan sana, seorang laki-laki berdiri. Tak lama, disusul oleh beberapa teman yang tiba-tiba muncul entah dari mana.

Kulihat, sebagian dari mereka langsung menghajar sekumpulan mayat yang sedari tadi mengerumuni kami, sedangkan sisanya membantu kami keluar dari kerumuman itu.

Aku sangat bersyukur, di tengah rasa keputusasaan, akhirnya ada yang datang untuk menolong dan menyelamatkan kami.

Kami pun terus berjalan menjauhi kerumunan mayat yang tengah diusir oleh beberapa orang yang menolong tadi, bahkan ada satu orang wanita dari kelompok penyelamat tersebut yang saat itu menawarkan bantuannya untuk memapah Asih berjalan.

Aku mencoba menoleh kembali ke belakang, para penolong kami tadi mengusir sekumpulan mayat dengan tombak yang mereka bawa. Saat kami sampai di batas jalan keluar, kulihat Nenek juga tetap menunggu kedatangan kami.

Aku benar-benar sangat tertolong kali ini. Kedatangan sekelompok orang bertombak benar-benar hal yang paling kami butuhkan.

"Terima kasih, Pak, sudah menolong kami berdua," ucapku sembari mengatur napas. Kami berdua memang sangat panik tadi.

"Kalian kenapa ada di sini? Bagaimana awal mulanya sampai terjebak di dalam sana?" tanya salah seorang dari kelompok itu.

"Saya datang ke sini untuk menjemput teman, dia terjebak di dalam sana. Mungkin, sudah cukup lama," jawabku.

"Apa kalian baik-baik saja?" lanjutnya.

"Sebenarnya, saat saya datang ke sini, teman saya terpasung. Kakinya pasti masih terasa sakit sekarang," jawabku sembari menunjukkan pada mereka bekas jepitan pasung yang masih membiru di pergelangan kaki Asih.

Mereka langsung melihat luka di kakinya, kemudian salah seorang dari mereka mengusapkan tangan pada pergelangan kaki Asih. Hanya butuh satu kali usapan tangan, luka di kaki Asih hilang dalam sekejap!

Aku langsung melongo, melihat apa yang baru saja dilakukan salah satu orang itu. Sepertinya, mereka bukan orang sembarangan. Tapi, siapa mereka sebenarnya? Mengapa tiba-tiba bisa muncul dan langsung menolong kami?

Aku mencoba bertanya kembali untuk memastikan identitas mereka sebenarnya. "Pak, saya sangat berterima kasih karena sudah mau menolong kami berdua. Bahkan, menyembuhkan luka di kakinya Asih juga. Tapi, jika boleh tahu, siapa Bapak sebenarnya? Mengapa Bapak mau menolong kami?" Aku berusaha seramah mungkin untuk bertanya.

"Kami adalah Suku Moro. Semua yang ada di bumi Moro ini berada dalam pengawasan kami. Kalian tak perlu tahu siapa nama kami, tapi jik ingin pulang ke tempat asal, kami bisa mengantar sekarang," jawab salah seorang dari kelompok itu.

Aku mulai menerka, sepertinya dia adalah salah satu kepala suku atau semacamnya. Mereka terlihat sangat ramah. Perawakan pun juga tak jauh berbeda dari manusia pada umumnya.

Hanya saja, saat diperhatikan dengan saksama, mereka tak memiliki garis pembatas di antara bibir atas dan hidung. Kulihat, beberapa wanita dari kelompok mereka pun begitu. Hanya saja, memiliki rambut yang sangat panjang. Saking panjangnya, kulihat ada yang melebihi kaki mereka sendiri.

Sepertinya, mereka selalu pergi berkelompok dan setia membawa tombak sebagai senjata utama. Kulihat, Asih pun juga sudah bisa berdiri, tak merasakan sakit lagi di pergelangan kaki.

Akhirnya, kami memutuskan untuk segera pulang. Nenek pun juga ikut dalam rombongan kami. Namun, dia tetap diam selama perjalanan.

Saat sampai di sebuah tempat yang seperti padang rumput luas dan sangat rapi. Mungkin, tempat ini dirawat dengan baik oleh Suku Moro. Di tengah-tengahnya, ada sebuah mata air berukura danau kecil. Terlihat dangkal dan tak terlalu luas.

Kami semua berhenti di sini.

"Kami hanya bisa mengantar kalian hingga sampai batas ini karena tak bisa masuk ke danau ini lebih jauh untuk mengantar pulang. Kami memang dulu berasal dari dunia kalian, namun, sekarang bukan. Sebelum itu, kalian harus terima ini sebagai kenang-kenangan," ucap salah seorang dari Suku Moro itu seraya mengeluarkan dua buah biji pinang dari dalam tas.

"Satu untukmu dan satunya lagi untuk temanmu. Kami hanya bisa memberi kalian dua buah karena tahu, hanya kalian berdua yang masih benar-benar hidup," lanjutnya.

Sepertinya, mereka tahu bahwa nenek yang ada bersama kami bukan manusia. Itulah sebab mereka hanya memberi dua buah.

"Saat kalian sampai di tengah danau ini, basuhlah wajah. Dengan cara itu, maka kalian bisa pulang. Namun, satu hal yang harus kalian ingat baik-baik. Jangan sampai kehilangan buah pinang tersebut selama masih di bumi Moro ini. Karena jika kalian kehilangan buah itu, kami tak akan bisa menolong jika suatu saat terjebak di sini lagi. Usahakan buah tersebut tidak berpindah ke orang lain. Jika hal itu terjadi, maka orang yang mengambil buah tersebut akan mendapat malapetaka dan berakhir dengan kematian. Kalian bisa membuangnya jika mau. Itu pun jika sudah tidak ada di wilayah bumi Moro ini," lanjutnya lagi.

"Baik, Pak. Kami akan menjaga dengan baik pemberian ini," jawabku sambil mengangguk.

Setelah berpamitan dan mengucapkan terima kasih untuk yang terakhir kali, kami bertiga berjalan memasuki danau. Ternyata, danau ini sangat dangkal. Hanya sebatas betis.

Aku merasakan kesejukan saat kami berjalan di danau. Namun, yang membuatku terkejut adalah melihat Nenek berjalan bersama kami di danau. Beliau seperti berjalan di atas air!

Saat merasa sudah sampai di tengah, aku mengajak Asih membasuh wajah menggunakan air danau. Ketika baru saja membasuh wajah dalam usapan pertama, aku merasakan hawa sejuk di wajah. Diusapan kedua, aku masih sempat melihat kembali Suku Moro yang ada di tepian danau. Lalu, saat membasuh wajah yang ketiga kali, dalam sekejap, kami sudah berada di dapur, tempat pertama kali aku bersama Nenek berpindah dimensi untuk menyelamatkan Asih.

Jadi, fungsi lain dari pusena ini bisa untuk berpindah dimensi juga.

"Mas Andre, terima kasih sudah selamatkan saya, ya," ucap Asih seraya memelukku.

Aku risi, malu sebenarnya. Apalagi, Asih memelukku di hadapan Nenek. Kulihat, Nenek hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Sudah, sudah. Kamu bisa kembali ke kamarmu sekarang, Sih," ujarku seraya melepaskan pelukannya.

Asih mengangguk lalu meninggalkanku di dapur bersama Nenek.

"Nek, terima kasih banyak sudah menemani saya selama berada di dunia tadi. Ini pengalaman paling berharga yang pernah saya dapatkan seumur hidup," ucapku.

Nenek tersenyum dan mengangguk. Lalu, perlahan beliau hilang dari pandanganku.

***

Aku langsung menuju kamar dan segera beristirahat. Meskipun tubuh sama sekali tak merasa lelah, aku tetap berniat untuk beristirahat.

Namun, betapa terkejutnya saat aku membuka pintu kamar, ternyata tubuhku masih terbaring di atas ranjang.

Jadi, dari awal aku pergi bersama Nenek, hanya ruhku yang benar-benar melakukan perjalanan, sementara ragaku masih terbaring di sana?

Aku mencoba memeriksa sesuatu, merogoh saku celana untuk memastikan apakah buah pinang pemberian dari Suku Moro tadi masih ada. Lalu, saat jemari menggenggam sesuatu dari balik saku celana, aku langsung merasa lega. Buah itu masih ada.

Kemudian, aku memutuskan untuk beristirahat. Membaringkan ruhku sejajar dengan tubuh asliku. Bisa kurasakan dengan jelas sensasi itu. Namun, sulit jika mengungkapkan dengan kata-kata.

Sebelum tertidur, sekilas teringat pertemuan dengan Suku Moro tadi. Ingin rasanya mencari tahu lebih banyak tentang mereka. Mungkin saja, masyarakat di sekitar rumah ini tahu tentang legenda Suku Moro. Jadi, besok aku akan bertanya-tanya saat berjualan.

Suasana malam itu terasa lebih tenang, sangat berbeda dengan situasi tegang yang kami rasakan saat pertama kali datang ke rumah ini.

Dengan adanya Nenek di rumah ini, aku bisa sedikit tenang dan tak merasa khawatir jika sewaktu-waktu para penghuni rumah ini mengganggu kami lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top