Pertemuan pertama dengan Bidan Naya
Setelah selesai makan siang bersama, kami bertekad untuk menghabiskan semua barang dagangan. Bila perlu, kami tetap berjualan hingga sore hari, untuk mengetahui hasil akhir dari total penjualan hari itu.
Hingga hari sudah sore dan merasa lelah, akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke rumah meskipun sebenarnya sudah tak ingin kembali lagi ke sana.
Setidaknya, hasil akhir dari penjualan hari ini sangat lumayan, hingga menghabiskan setengah dari total barang dagangan yang kami bawa ke pulau ini.
Di tengah perjalanan, tiba-tiba Shelly berkata, "Eh, gimana kalau malam ini, kita menginap di rumah kepala desa saja? Untuk sementara, sampai barang jualan kita habis. Kan, kita udah punya uang, nih. Jadi, bisalah patungan buat bayar ke kepala desa," usulnya.
"Waaah ... boleh tuh, Mak. Tidak apa-apalah uang yang kemarin sudah dibayarkan sama papa Mirna, anggap saja sedekah untuk memancing rezeki kita hari ini. Buktinya nih, alhamdulillah kita dapet rezeki banyak!" sahutku bersemangat.
"Iya boleh, boleh. Saya juga tidak tahan kalau harus tinggal di rumah itu lebih lama," ujar Ina tak mau kalah.
"Kamu gimana, Sih?" Kini, Shelly bertanya pada Asih.
"Kalau saya, ikut saja. Pokoknya ikut saja ke mana pun kalian pergi," jawab Asih sekenanya.
"Ya sudah, deal ya, semua. Sampai rumah, nanti kita langsung beres-beres barang, terus langsung pindah ke rumah kepala desa. Supaya malam ini, kita bisa istirahat lebih tenang tanpa gangguan," tutup Shelly saat kami telah sepakat untuk meninggalkan rumah itu.
Saat kami sampai di halaman rumah, Ina meringis, merasakan sesuatu pada perutnya. Seakan merasa sakit yang teramat sangat. Ina akhirnya terduduk di halaman depan. Kami langsung panik, apalagi Rafli.
"Tolongin Ina, dong!" seru Rafli yang sangat panik saat itu.
Kami langsung sigap. Rafli dan Shelly membantu memapah Ina, Asih berinisiatif untuk membawakan tas ranselnya, sedangkan aku langsung berkoordinasi dengan Rafli, mencari bidan di sekitar sana.
Kutinggalkan keempat teman yang masih kerepotan menolong Ina. Kemudian berlari, mencoba bertanya pada orang-orang yang bisa kutemui di sepanjang jalan, bertanya pada mereka agar bisa sesegera mungkin menemukan alamat rumah bidan di pulau itu.
Begini nih, repotnya kalau tinggal di daerah kepulauan! Ponsel jadi tidak bisa diandalkan karena sinyal tidak ada! Terpaksa, cari alamat bidan dengan cara yang merepotkan seperti ini! Mana tidak ada yang punya motor lagi, sulit sekali hidup di sini!
Aku terus menggerutu di dalam hati selama perjalanan menuju rumah bidan, hingga sesampainya di sana, langsung buru-buru mengetuk pintu. Berharap agar bidan desa tersebut bisa langsung sigap menolong temanku.
"Asalamualaikum! Asalamualaikum! Bu ... Bu Bidaaan!" Aku mengetuk pintu dengan napas masih terengah-engah.
Begitu pintu dibuka, terlihat wanita yang masih sangat muda, mungkin sekitar 24 tahun, seumuran denganku. Mungkin, anaknya Bu Bidan.
"Iya, Mas. Ada perlu apa?" tanya wanita muda itu.
"Ibu bidannya ada, Kak?" tanyaku sambil tersenyum.
"Iya saya sendiri, Mas. Ada apa, ya?" jawab wanita muda itu lagi.
Aku yang tadi tak percaya melihat bidan di desa ini, sempat terkesima. Naluri laki-lakiku pun muncul tanpa sadar.
Lho, bidannya masih muda ternyata, waaah ... boleh, nih, kudekati.
Di tengah lamunan, Bu Bidan melambaikan telapak tangannya di hadapan wajahku yang saat itu tengah melongo karena melihat kecantikan bidan di desa ini.
"Mas ... Mas ... kok, melamun?"
"Eh, iya, Kak, eh maksud saya, Bu Bidan." Aku mulai grogi kali ini, salah tingkah saat berdiri di hadapan bidan desa yang masih sangat muda dan menurutku, dia juga manis.
"Ini, Kak—aduuuhh, maksud saya Bu Bidan. Bi-bisa minta tolong untuk periksakan teman saya? Kebetulan, ada teman saya sedang mengandung, merasa kesakitan," jelasku terbata-bata.
Aku masih sedikit grogi saat menjelaskan pada bidan muda ini.
"Oohh ... bisa, Mas. Tunggu sebentar ya, Mas. Silakan duduk, saya ambil dulu perlengkapana sebentar, ya," ujarnya sangat ramah sembari menampilkan senyum yang membuat hatiku meleleh seketika.
"Iya, Kak—ehhh duuuhh ... salah lagi! Maksud saya, Bu Bidan. Maaf ya, Bu, hehe," jawabku.
Aku memang tak mampu menyembunyikan perasaan grogi saat berada di hadapannya. Sedangkan bidan muda itu hanya menanggapi tingkahku dengan senyuman manis.
Bidan muda itu kemudian masuk ke dalam rumahnya. Aku duduk di kursi teras. Sejenak, tebersit pikiran untuk mencoba mendekati sang bidan muda.
Biar bagaimanapun, aku masih berjiwa muda. Melihat seorang bidan atau orang yang bekerja di bawah naungan dinas kesehatan, menjadi impianku sejak dulu. Ingin rasanya memiliki pasangan seperti mereka.
Hingga tanpa sadar, aku mulai senyum-senyum sendiri saat itu.
"Ayo, Mas. Kita berangkat. Di mana rumah teman Mas sekarang?" tanya Bidan mengagetkan lamunanku.
"Eh iya, Kak, eh maaf, duuuh salah lagi, hehe. Maksud saya, Bu Bidan," jawabku sambil beranjak dari kursi teras, lalu kami berjalan beriringan.
Sepanjang perjalanan, aku selalu mencoba curi-curi pandang pada bidan muda yang saat ini berjalan berdampingan denganku.
Pikiran jadi tak karuan. Grogi bercampur rasa senang bisa berjalan berdampingan dengan bidan muda yang manis, meski belum bisa kumiliki.
Aku hanya terdiam. Ingin berkata sesuatu, tetapi tak tahu apa yang harus kukatakan. Hingga tanpa sadar, keringat mulai membasahi kening.
"Kenapa, Mas? Kok, diam saja?" tanyanya diiringi senyuman yang membuat hatiku jadi lebih tak berdaya.
"Mas boleh kok panggil saya kakak atau adek, jangan panggil ibu, saya kan belum menikah," lanjutnya.
"I-iya, Bu. Ehh, Kak. Aduuhh maaf ya, Kak," jawabku semakin grogi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top