Ketakutan!

"Woy, kamu ngapain, Dre?" tanya Rafli mengagetkanku.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan Rafli, Shelly juga bertanya padaku.

"Kamu lihat sesuatu di sini ya, Dre?" tanya Shelly memastikan lagi.

Mengingat Shelly juga tahu, di antara kami berlima, hanya aku yang mampu berinteraksi dengan 'sesuatu' yang lain.

Aku tak menjawab semua pertanyaan mereka secara langsung, hanya memberi isyarat sambil menunjuk ke arah pintu kamar mandi, diikuti tatapan mereka berdua yang langsung mengarah ke kamar mandi, mengikuti isyarat jari telunjukku.

Kemudian aku melanjutkan penjelasan dengan bahasa tubuh. Tanganku memperagakan rambut sebahu, kepala miring ke kanan, dan tak lupa aku pun menunjukkan ekspresi senyum menyeringai.

Membuat Shelly dan Rafli saling berpandangan satu sama lain saat melihat bahasa isyaratku.

Saat kami bertiga terdiam dalam keheningan di ruangan dapur, tiba-tiba terdengar suara yang mengagetkan kami dari arah gudang.

BRUK!!!

Sontak membuat kami kaget, dan hal itu membuat Shelly beserta Rafli langsung berlari ke ruangan depan.

Aku memang kaget juga, meski justru suara tadi malah membuatku jadi semakin penasaran.

["Sebenarnya ada apa di dalam gudang itu?"]

["Mengapa tadi Ina berkata ada yang melempar kain dari arah gudang?"]

Kuberanikan diri melangkah menuju pintu gudang, jantungku berdebar makin tak karuan.

Perlahan aku meraih gagang pintunya, dan saat kubuka ternyata hanya tumpukan buku dan barang-barang sejenis lemari kecil yang terbuat dari kayu saja yang ada di dalam sana.

Aku memperhatikan isi dalam gudang dengan seksama, sudut mataku mengitari seisi ruangan gudang dengan sangat rinci.

[Benar-benar gelap dan penuh debu]

Aku masih terus fokus memperhatikan setiap sudut di ruangan itu sampai aku tersadar, bahwa ada yang memegang bahuku dari belakang!

Aku langsung kaget dan mencoba menoleh ke belakang,

"Kamu sedang apa di sini, Mas?" tanya bapak yang tadi mengantar kami ke rumah ini.

"Ahh ... Bapak, kukira siapa, bikin kaget aja," jawabku dengan nada sedikit kesal.

Si bapak hanya tersenyum, lalu dia mencoba menjelaskan bahwa gudang ini hanya sebagai tempat penyimpanan barang-barang yang sudah lama tidak dipakai.

Aku pun iseng bertanya pada beliau.

"Pak, Bapak yang satunya lagi tadi ke mana ya? Saya tidak melihatnya ikut masuk sejak kita sudah ada di dalam rumah ini."

"Ohh, dia ada di halaman samping mas,katanya mau ambil beberapa buah mangga untuk dia bawa pulang, istrinya suka dengan buah mangga," jawabnya santai.

"Terus ngomong-ngomong nama Bapak siapa ya?"

"Nanti kalau tetangga bertanya, kan saya bingung mau jawab tinggal di rumah siapa," lanjutku sembari mencari bahan obrolan agar suasana tegang yang sedari tadi menyelimutiku bisa sedikit mencair.

"Panggil saja saya Papa Mirna. Orang di sini lebih mengenal saya dengan panggilan nama anak saya."

"Semua orang di kampung sini pun terbiasa seperti itu," ujarnya menjelaskan.

Hmm gitu ya pak?"

"Terus tadi saya lupa pak, ini namanya pulau apa ya?" tanyaku.

Kemudian beliau menjawab kembali, "ini pulau Madapolo mas, artinya Kepala Buaya."

Aku mendengarkan cerita beliau dengan seksama, sementara itu beliau tetap melanjutkan penjelasannya.

"Kenapa pulau ini disebut madapolo, karena dulu orang pertama yang menemukan pulau ini, mereka berniat singgah karna cuaca di laut sedang memburuk, ombak sangat tinggi, mereka jauh-jauh datang dari pulau bacan kesini untuk mencari ikan, tapi karena cuaca memburuk akhirnya mereka memutuskan untuk menyandarkan perahunya di pulau ini." Jelasnya panjang lebar.

"Terus bagaimana bisa pulau ini disebut pulau kepala buaya pak?" Aku makin penasaran dengan cerita beliau karena ingin tau apa hubungannya pulau ini dengan sebutan Madapolo.

"Jadi begini mas, orang yang datang di pulau ini, yang tadi saya ceritakan, saat mereka sampai di pulau ini, mereka melihat kepala buaya raksasa muncul tak jauh dari pinggir pantai, lokasi tempat kepala buaya raksasa muncul itu yang sekarang di jadikan pelabuhan tempat mas dan teman-temannya mas sampai tadi." Katanya.

"Ooohh begitu." Jawabku seraya mengangguk, aku mulai paham  sejarah di pulau ini.

"Mas, saya dan saudara saya mau pamit dulu ya, nanti selesai maghrib saya kesini lagi untuk mampir." Katanya sembari bersiap-siap pulang dan berpamitan pada kami semua.

Setelah kedua bapak itu pergi, kami melanjutkan beres-beres barang bawaan kami, aku disuruh tinggal di kamar paling belakang, kamar yang berhadapan langsung dengan dapur sedangkan Ina dan Rafli memilih di kamar tengah, lalu Asih dan Shelly memilih di kamar paling depan.

Kami mencoba merapikan barang kami di kamar masing-masing, karna rasa lelah dan mual yang masih terasa, aku memutuskan untuk tidur sebentar.

Baru saja aku merebahkan badan, tiba-tiba terdengar kembali suara berisik dari kamar Ina dan Rafli.

BLETAK!!! BRUKK!!!!

Juga terdengar suara orang sedang berlari, aku beranjak dari kasur dan keluar kamar, mencoba memeriksa ada apa dengan Rafli dan Ina, dan benar saja.

Ina terduduk di ruang tamu di susul Rafli yang mencoba menenangkan Ina, kulihat Ina menangis, menutup matanya dengan kedua telapak tangannya sambil sesekali Ina menunjuk ke arah kamar mereka.

Ekspresinya benar-benar sangat ketakutan!

Aku berpikir, mungkin dari awal kita disini, Ina lebih sering dapat gangguan karna Ina sedang mengandung 8 bulan.

Aku melihat Rafli masih saja mencoba menenangkan Ina yang masih menangis ketakutan, lalu aku coba melihat ada apa sebenarnya di dalam kamar mereka.

Saat aku masuk ke kamar mereka, ku perhatikan ada beberapa lemari antik, kasur dari ukiran kayu dengan ukuran yang lebih dari cukup untuk tidur berdua, tapi pandanganku seakan tertarik pada atap kamar ini.

"Ada sesuatu di atas atap situ", kataku dengan nada rendah agar Rafli dan Ina tidak mendengar ucapanku.

Saat aku melihat ke bagian atap kamar ini, atap tanpa sekat apapun, sehingga terlihat bagian susunan gentingnya.

Di sudut atas, ada sesosok makhluk yang lebih menyeramkan dari yang pertama kulihat di dapur tadi!

Aku berusaha mengungkap sosok yang ada di sana.

Bentuknya kecil, seperti manusia kerdil, tubuhnya dipenuhi bulu hitam yang lebat. Sepasang matanya melotot ke arahku. Sepertinya mata itu terlalu besar untuk ukuran mata normal, karena kulihat kedua matanya sangat besar.

Mahkluk itu menjulurkan lidahnya yang panjang, sambil sesekali air liurnya jatuh menetes ke lantai kamar.

Aku tertegun, baru kali ini seumur hidupku, melihat sosok makhluk astral seperti itu.

Kucoba untuk mengusirnya semampuku, sampai akhirnya makhluk itu hilang dari pandangan. Lalu, kuhampiri kembali Ina dan Rafli di luar kamar.

"Kita cari tempat lain saja, jangan di sini, aku tidak tahan dengan gangguan di rumah ini!" kata Ina berulangkali sambil terus menangis.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top