Kesaksian dari warga sekitar
POV Andre
Pagi itu, aku terbangun lebih awal. Kulihat waktu sudah menunjukkan pukul 05:00 waktu setempat. Setelah beres menunaikan salat Subuh, aku berencana membuat sarapan. Seketika, aku baru teringat bahwa dari kemarin belum makan.
Perut yang berbunyi membuatku ingin segera kembali ke dapur sambil membuat sarapan untuk kami berlima. Saat pintu terbuka, ternyata ada Asih dan Shelly tengah sibuk memasak sarapan. Sepertinya, mereka juga lapar, karena mengingat kemarin kami berlima di teror terus-menerus tanpa jeda oleh para makhluk penghuni rumah ini. Sampai kami lupa mengisi perut dengan makanan.
Aku langsung menghampiri mereka berdua. Obrolan kami sangat santai pagi itu.
"Rafli sama Ina masih tidur ya, Mak?" tanyaku pada Shelly.
"Iya, masih capek, kayaknya. Soalnya mereka yang paling akhir tidur semalam," jawab Shelly.
Kulihat, kondisi Asih baik-baik saja. Jadi, kusempatkan untuk berbicara sambil berbisik agar tidak perlu menceritakan apa yang kami alami kemarin pada siapa pun.
"Sih, kalau bisa, cukup kita berdua saja yang tahu. Yang lain tidak perlu, ya," ucapku sambil berbisik halus di depan Asih.
Asih mengangguk, dia seperti tengah memperhatikan bungkusan yang sedang Shelly buka. Shelly mungkin berniat untuk memasak mi instan untuk sarapan. Aku pun jadi ikut memperhatikannya.
"Mbak Shelly mau makan mi untuk sarapan?" tanya Asih.
"Iya, saya sudah biasa sarapan pakai mi instan dari kecil. Kalau lapar kan bisa makan siang nanti," jawab Shelly.
"Eh, Mbak, jangan terlalu sering makan mi instan! Di kampung saya, ada orang yang biasa makan mi instan, malah kena penyakit usus buntu terus meninggal!" Kali ini, Asih sepertinya mencoba sedikit menakut-nakuti Shelly.
Aku hanya menyimak obrolan mereka sambil membereskan syarat yang sedari kemarin masih tersimpan di atas meja.
"Di kampung saya, ada orang yang tidak pernah makan mi selama hidupnya, tapi tetap mati," jawab Shelly tak mau kalah dari Asih. "Jadi, gimana menurut kamu, Sih? Makan mi mati, tidak makan juga mati. Lebih baik makan mi sampai mati," lanjutnya, ditutup dengan suara tawa yang khas.
Lalu, serentak kami tertawa. Sejenak, kami memang lupa dengan suasana dan aura mistis di rumah ini. Karena inilah yang kami inginkan, ingin hidup tenang tanpa gangguan makhluk halus.
Namun, saat selesai tertawa, terdengar suara cekikian dari atap rumah. Tak lupa suara orang sedang menyapu di halaman samping yang bersebelahan langsung dengan dapur tempat kami berada saat ini. Hal itu membuat Shelly kaget dan langsung berlari mendekati Asih yang masih asyik memotong bumbu. Kini, Asih sangat santai, bahkan tak terlalu menanggapi suara-suara aneh yang baru saja kami dengar.
"Kamu tidak takut, Sih? Bukankah biasanya kamu yang paling penakut?" tanya Shelly yang mulai panik saat itu.
Namun, Asih hanya menjawab singkat pertanyaan yang dilontarkan Shelly saat itu. "Enggak, sudah biasa."
Aku mencoba memeriksa halaman samping, membuka pintu dapur yang mengarah langsung ke sana. Angin sejuk langsung menerpa tubuh. Di luar masih terlalu gelap saat aku berpijak di teras samping rumah, memperhatikan dengan sangat rinci setiap sudut halaman dan tak lupa mengecek pohon mangga yang ada di halaman ini. Berharap ada sesuatu yang sedang duduk di sela-sela rantingnya.
Benar saja dugaanku. Ada sosok yang tengah melihatku sembari melotot. Tatapan matanya sangat tajam, seakan-akan menaruh dendam padaku. Matanya merah, sekujur tubuh dipenuhi bulu hitam yang sangat lebat. Namun, makhluk ini sedikit berbeda dari yang kulihat kemarin di atap kamar tengah.
Dia memiliki ekor yang panjang. Saking panjangnya, hingga membelit perut sendiri. Sejenak, aku menerka-nerka bentuk dari makhluk itu.
Yakis? Bukankah itu yakis?
Aku langsung menyebut nama itu dalam hati karena selama aku berada di wilayah Maluku Utara ini, banyak orang menyebut seekor monyet dengan yakis.
Kemudian, disusul juga dengan keluarnya sosok berwujud kakek-kakek. Jalannya membungkuk, dia keluar dari balik pohon mangga. Di tangannya ada tongkat kayu berwarna merah. Namun, sosok kakek itu sepertinya tak menghiraukanku dan hanya melangkahkan kakinya berjalan ke arah halaman depan sana.
Saat kuperhatikan lagi, sosok yakis tadi sudah tak ada lagi di sana. Loh? Ke mana perginya yakis tadi?
Karena tak ada apa pun lagi, aku memutuskan untuk kembali masuk ke dapur, menghampiri Shelly dan Asih yang sedari tadi masih duduk mengelilingi meja makan.
Namun, baru saja membalikkan badan, tiba-tiba saja langkah terhenti kembali. Ada sosok wanita berdaster putih lusuh sedang memperhatikan Shelly dan Asih yang tengah asyik memotong bumbu. Sosok itu menghampiri mereka berdua dan berhenti di belakang Shelly. Lehernya memanjang dan kedua tangan seakan-akan hendak mencekik Shelly dari belakang.
Kuku sangat panjang dan sekilas terlihat sangat tajam. Melihat hal itu, membuatku spontan langsung memanggil Shelly dan Asih dengan setengah berteriak.
"Awas, Mak! Buruan pindah dari situ!" teriakku.
Shelly yang terkejut, langsung membungkukkan leher sambil melompat dari tempat duduknya. Namun, Asih masih tetap duduk dengan santai.
Kulihat, Asih langsung melempar pisau yang sedari tadi digenggamnya, sambil menantang sosok itu dengan nada suara yang meninggi.
"PERGI KAMU! JANGAN GANGGU KAMI LAGI!" hardik Asih dengan sangat lantang.
Shelly mendekati Asih, berdiri di belakangnya sambil memegang bahu. Aku pun sempat melongo dengan perubahan yang dialami Asih saat ini.
Sepertinya, pengalaman berada di dimensi lain kemarin malam mampu membuat Asih berubah drastis, dari yang awalnya penakut jadi lebih berani. Bahkan, Asih berani menantang sosok wanita yang ada di hadapan mereka dengan sangat lantang.
Aku langsung mencoba mengambil segelas air. Setelah memberi sedikit doa, kusiramkan air itu pada sosok wanita itu. Dia kemudian menghilang, diakhiri suara cekikikan yang sangat khas.
"Iiihhh, kita pindah aja, yuk! Cari rumah lain aja nanti, pas kita jualan, tanya-tanya sama orang sini, siapa tahu ada rumah lain yang lebih aman, daripada tinggal di rumah ini terus," keluh Shelly saat itu.
"Udah, gampang, Mak. Nanti kita coba cari-cari aja, sekarang mah mending lanjut masak. Abis sarapan, mandi, terus siap-siap jualan biar kita bisa keluar dari rumah ini sesekali." Aku mencoba menenangkan Shelly yang saat itu tengah menggigil ketakutan.
Udah, ya. Kalian jangan dulu menampakkan diri, kita butuh ketenangan juga di sini.
Selesai sarapan, mandi, dan aktivitas lainnya, kami pun siap untuk bertempur mengadu nasib. Berjualan di pulau ini, dan berharap agar kami bisa langsung menghabiskan barang dagangan hari ini.
***
Aktivitas kami jalankan seperti biasa, berjualan dari rumah ke rumah. Masyarakat di sini sangat ramah dan mau menerima kedatangan kami. Hari kedua kami berada di pulau ini, bisa sukses menjual banyak barang dagangan .
Meskipun tahu pasti barang dagangan kami masih sangat banyak, setidaknya penjualan hari ini betul-betul membuat kami bisa melupakan rasa takut selama menginap di rumah saudaranya papa Mirna.
Sampai pada saat jam makan siang, kami berkumpul di salah satu warung dekat pelabuhan. Warung itu menyediakan makanan yang cukup lengkap, bahkan khas Maluku Utara, seperti popeda (bagi masyarakat Sulawesi, makanan ini biasa disebut kapurung) pun disajikan di etalase warung itu.
Kami memesan makanan, lalu duduk di meja yang sama. Masing-masing dari kami memesan makanan berbeda kala itu, dan ketika sang empu warung menyuguhkan makanan, beliau bertanya karena tidak mengenali wajah kami.
"Kalian dari mana? Sepertinya, kalian pendatang ya, di sini?" tanya Ibu warung dengan ramahnya.
"Iya, Bu, kami baru sampai kemarin siang," sahut Rafli.
Kemudian Ibu pemilik warung itu kembali melanjutkan pertanyaannya. "Kalian asalnya dari manakah?"
"Kami dari Pulau Bacan, Bu. Untuk aslinya, kami campuran. Ada yang dari Sulawesi Tengah, Manado, Jawa, dan juga Flores," jawabt Rafli sambil menyantap popeda yang dipesannya.
"Saya juga dari Jawa, di sini sudah dari tahun 2000," jawab pemilik warung yang kemudian menunjukkan ekspresi girang karena mendengar kami ada yang berasal dari Pulau Jawa juga.
"Lalu, kalian sekarang tinggal di mana?" lanjut Ibu warung.
"Kami tinggal di rumah yang ada di lorong dua, Bu. Rumah yang katanya dulu milik saudara papa Mirna." Kali ini, Shelly yang menjawab pertanyaan Ibu warung. Karena Rafli mulai asyik menyantap popeda.
Namun, mendadak mimik sang pemilik warung berbeda, wajahnya datar dan mata melotot, seakan tak percaya kami tinggal di rumah itu.
Pelayan sang ibu warung yang sedari tadi sibuk menyapu, tiba-tiba langsung menghentikan aktivitas dan segera menghampiri kami.
Bahkan, para pembeli yang sedang makan di ruangan yang sama, langsung berhenti makan dan melihat kami dengan tatapan seperti Ibu warung.
Suasana di warung makan yang sedari tadi ramai, hening seketika. Ibu warung itu kemudian lanjut bertanya kembali. "Kalian tidak takut, tinggal di situ?"
Kami saling pandang satu sama lain. Ina pun terlihat menempatkan jarinya tepat di depan bibir, memberi isyarat agar tak menceritakan apa yang kami alami.
"Tidak sih, Bu. Memangnya, ada apa dengan rumah itu, Bu?"
"Itu rumah setan, Mbak. Keluarganya papa Mirna yang dulu tinggal di situ, semua mati tidak wajar. Cuma Nenek dari pamannya papa Mirna yang tiba-tiba hilang pas kejadian itu. Warga di sekitar sini dulu heboh. Ada yang bilang, Nenek dari pamannya papa Mirna hilang diculik setan ke alam lain. Paman dan bibi, juga kedua sepupu papa Mirna, meninggal serentak dalam satu malam," ujar Ibu warung panjang lebar.
Mendengar hal yang diceritakan Ibu warung, Rafli yang tengah asyik mengunyah popeda, langsung menyemburkan makanan di mulutnya. Dia langsung terbatuk-batuk.
"Eh, maaf ya, Mas, sudah buat kaget sampe batuk begitu." Terlihat Ibu warung merasa tak enak karena sudah mengagetkan kami dengan apa yang diceritakan barusan.
Shelly mulai ketakutan. Wajahnya mendadak pucat pasi mendengar penjelasan dari Ibu warung. Kulihat, Ina mengusap-usap punggung Rafli sambil memberinya air minum. Sedangkan Asih, hanya diam, tak terlalu menanggapi dan tetap lanjut makan dengan cuek.
"Iih! Ibu jangan bikin kami takut, Bu ...." Shelly memelas, matanya mulai berembun.
"Iya serius, Mbak. Keluarga papa Mirna menutup-nutupi. Namun, dari yang saya dengar, sempat ada orang yang memandikan jenazah satu keluarga di rumah itu. Katanya, jenazah mereka punya bekas luka jeratan di leher. Yang paling ngeri itu sepupunya papa Mirna yang wanita, kepalanya miring ke kanan, seperti orang yang sengaja dipatahkan. Ih, saya saja langsung merinding kalau ingat-ingat cerita waktu itu!" jelas Ibu warung sambil bergidik ngeri.
Kami mulai ketakutan. Jangan sampai, apa yang dibicarakan oleh Ibu warung tadi juga malah terjadi pada kami. Karena tadi pagi pun, aku melihat Shelly hampir dicekik oleh salah satu makhluk penghuni rumah itu.
"Lebih baik kalian habiskan jualan secepatnya, Mas, Mbak. Jangan lama-lama tinggal di situ, supaya selamat," tutup Ibu warung sembari berlalu meninggalkan kami.
Kami pun terdiam sejenak, saling pandang satu sama lain, seakan berbicara melalui hati. Lalu, akhirnya saling mengangguk, mengisyaratkan agar menyetujui saran dari pemilik warung untuk segera menghabiskan barang jualan dan pergi dari rumah itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top