Buaya Raksasa

Setelah selesai membersihkan diri, aku mengenakan pakaian terbaik. Kemudian, setelah semua siap, aku duduk di ranjang sambil menunggu tanda-tanda kehadiran Nenek.

Di tengah-tengah penantian menunggu Nenek, aku mendengar kembali suara kidung tadi. Aku mulai celingukan, mencari dari mana sumber suara itu, dan saat ku lihat di atap sana, sosok wanita berdaster putih lusuh itu tengah duduk di antara kayu-kayu penopang atap rumah ini.

Dia mengayunkan kaki sambil sesekali menggoyangkan kepala perlahan. Suaranya sangat lembut hingga aku terbuai.

Selang beberapa menit, Nenek muncul tanpa kusadari. Mungkin aku terlalu menikmati kidung wanita itu hingga tak menyadari kehadiran Nenek.

"Ayo, Nak. Kita ke dapur," pinta Nenek.

"I-i-iya, Nek," jawabku sembari beranjak turun dari ranjang.

Nenek berjalan lebih dulu, sedangkan aku masih memperhatikan sosok wanita yang masih tetap bernyanyi di atap sana.

Kulihat, dia melambaikan tangan. Aku pun tersenyum pada sosok itu, lalu membalas lambaian tangannya. Sampai di dapur, aku berdiri tepat di samping Nenek. Beliau menggenggam tangan kananku dan dalam sekejap mata, kami sudah ada di tempat lain.

Aku diberi arahan agar tak boleh banyak bertanya dan berbicara, hanya memperhatikan setiap peristiwa yang akan kulihat nanti.

Beliau berjalan di depan, sedangkan aku mengikuti dari belakang. Kuperhatikan sekeliling, banyak sekali pohon besar. Sejenak, aku berpikir, apa kami berada di hutan yang sama seperti sebelumnya?

Namun, karena Nenek sudah memberi arahan, aku memilih diam, dan mengikuti beliau di perjalanan ini. Sesampainya di sebuah bibir pantai, ada dua orang laki-laki tengah duduk tak jauh dari tempat perahu berlabuh. Sepertinya, mereka berdua ini nelayan.

Kulihat, air laut sedang pasang. Gelombang ombak saat itu tengah meninggi, hingga suara gemuruhnya mampu membuat siapa pun ingin segera menjauhi pantai. Namun, justru kedua nelayan itu malah bersikap sangat santai, duduk tenang sambil menunggu hingga cuaca membaik.

Beberapa saat kemudian, aku dikejutkan dengan pemandangan yang sangat langka. Kulihat, kedua nelayan itu pun sama kagetnya sepertiku. Mereka langsung terbirit-birit menjauh dari bibir pantai.

Aku yang tadinya hendak beranjak pergi melarikan diri juga, lenganku langsung ditahan oleh Nenek. Beliau hanya memberi isyarat tanpa kata, memintaku untuk tetap diam di tempat dan menyaksikan pemandangan langka itu.

Kedua nelayan itu makin lama makin menjauhi bibir pantai sambil berlari, kemudian mereka berlindung di balik sebuah batu karang yang besar. Sesekali mereka mengintip, lalu kembali bersembunyi dengan perasaan panik.

Buaya raksasa? Sejauh yang aku tahu, baru kali ini melihat buaya sebesar itu.

Lambat laun, akhirnya menyadari betapa besarnya buaya yang kini tengah kulihat. Antara takjub dan seakan tak percaya, kepala buaya itu muncul ke permukaan laut. Ukurannya sangat besar, hampir seperti ukuran sebuah pulau kecil. Mungkin, ukurannya pun hampir sama seperti pulau tempatku berada sekarang.

"Ini adalah awal mula pulau ini dinamakan Madapolo, Nak. Namun, seiring waktu, manusia sekarang menyebutnya dengan Pulau Bisa," ujar Nenek.

Namun, aku masih terkesima dengan pemandangan yang tengah kulihat.

"Pulau ini dulunya tempat berkumpulnya hewan berbisa, itu sebabnya juga dinamakan Pulau Bisa," lanjut Nenek. "Setelah ini, Nenek akan mengajakmu pindah ke beberapa tahun. Perjalanan ini akan sangat berat, Nenek khawatir tubuhmu tak akan mampu untuk bertahan lebih lama."

"Saya siap, Nek," jawabku mantap.

Nenek sempat menatapku beberapa saat, mungkin beliau masih ragu. "Perjalanan kali ini akan sangat menguras tenaga dalam tubuhmu, Nak. Namun, mengapa Nenek mengajakmu lagi kali ini karena ada sesuatu yang mau Nenek tunjukkan," ujar Nenek.

"Kalau boleh saya bertanya, kali ini Nenek ingin menunjukkan apa?" tanyaku penasaran.

Cukup lama Nenek terdiam, mungkin ada sesuatu yang sedang beliau pikirkan atau ragu untuk mengatakannya. Aku hanya bisa terdiam menunggu jawaban dari beliau, tetapi akhirnya berinisiatif untuk meyakinkan beliau.

"Nek, jika Nenek mengajak saya untuk pergi ke tempat ini, itu artinya Nenek sudah sepenuhnya percaya pada saya. Saya pun ikut dengan Nenek saat ini karena saya percaya pada Nenek," ucapku mencoba meyakinkan beliau.

"Baiklah, bisa jadi ini akan menjadi perjalanan yang sulit untukmu, jika nanti ada sesuatu yang membuatmu ragu atau takut, katakan pada Nenek ya, Nak," pintanya.

"Iya, Nek. Jika nanti di depan sana ada sesuatu yang membuat saya ragu, saya akan bertanya pada Nenek."

"Dampingi saya selama perjalanan ini, tolong jaga saya juga ya, Nek. Jika ada sesuatu yang mungkin bisa membahayakan nyawa saya selama perjalanan ini."

"Baiklah, Nak. Nenek akan menjagamu selama perjalanan ini. Ayo, Nak, kita bergegas," tutupnya seraya beranjak meninggalkan bibir pantai.

Kemudian, aku pun mengikuti beliau dari belakang, sambil sesekali menoleh ke belakang dan melihat wujud buaya sebesar pulau yang saat itu masih berada di permukaan laut.

Buaya raksasa itu tak melakukan pergerakan apa pun. Hanya kedua nelayan yang masih bersembunyi di balik batu karang yang besar. Aku sempat merasa takjub akan pemandangan langka yang disuguhkan, bercampur dengan perasaan ngeri begitu tahu ada buaya raksasa yang bahkan lebih besar dari semua buaya yang pernah ku lihat sebelumnya.

Alam semesta ini sangat luas dan unik, ya. Buaya raksasa itu adalah salah satu bukti, betapa hebatnya Sang Maha Pencipta dengan segala kuasa-NYA hingga mampu menciptakan makhluk sebesar itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top