Asal usul perjanjian dengan iblis

Sosok tersebut muncul dari balik air terjun, tubuhnya yang tinggi dan besar, serta dipenuhi bulu di sekujur tubuh. Ekornya yang panjang, melilit di lingkaran perut. Namun, kali ini sosok itu terlihat sedikit berbeda.

Aku melihat gigi taringnya sangat panjang hingga melampaui dagu. Juga lidahnya yang selalu menjulur keluar dan berair liur yang tak henti-hentinya menetes.

Aku mengenal sosok itu. Dia yang pertama kali kulihat di kamar tengah, saat awal sampai di rumah kontrakan. Sosok itu juga yang membuat Ina ketakutan hingga menangis histeris kala itu.

Meskipun dalam jarak sekitar dua ratus meter dari air terjun, aku masih bisa melihat dengan jelas sosoknya dari kejauhan.

Kemudian, sosok itu membuka mulut. Lubang mulut itu menganga sangat lebar, aku sempat begidik ngeri saat melihatnya menganga itu, mungkin bisa saja melahap gadis yang tengah terikat berikut dengan altarnya. Sangat besar!

Tubuhku secara otomatis ingin segera beranjak maju untuk menolong gadis itu. Ingin rasanya menolong gadis tersebut, tetapi saat Nenek memegang tanganku, aku sadar, pemandangan yang disuguhkan hanya bagian dari masa lalu.

Sedih bercampur ngeri saat melihat tubuh gadis itu dipotong dan dilahap oleh makhluk itu dengan rakus. Tak terasa, pandanganku pun mulai berembun dan meneteskan air mata saat melihat malangnya nasib gadis itu.

"Di sinilah awal mulanya moyang kami melakukan perjanjian dengan sosok itu, Nak," ucap Nenek mengagetkanku.

"Nek, jika boleh saya bertanya, perjanjian apa yang sebenarnya dilakukan oleh keluarga Nenek hingga rumah yang kami tempati sekarang dijuluki rumah terkutuk oleh warga pulau?"

Setelah bertanya demikian, aku baru sadar, ternyata kelepasan kata-kata. Hal itu tentu membuat Nenek langsung menatapku dengan tatapan datar.

"Ya Allah ... maaf, Nek, saya kelepasan bicara. Tapi, fakta ini yang saya dengar dari warga sekitar," ucapku membela diri.

"Mereka hanya tahu dari apa yang diucapkan, bukan melihat dari apa yang sebenarnya terjadi," jawab Nenek datar.

Waduh, sepertinya aku salah berucap.

"Nek, maafkan saya jika lebih percaya dengan apa yang dikatakan warga sekitar. Saya ikut bersama Nenek karena percaya sepenuhnya pada Nenek. Dan jika boleh bertanya, atas alasan apa Nenek memercayakan ini pada saya?" lanjutku dibarengi pertanyaan, dengan berharap Nenek mau menjawab dan memaafkanku.

"Hatimu sangat halus, Nak. Nenek bisa melihat dari ketulusan niatmu untuk membantu teman-teman tanpa pamrih. Bahkan, Nenek tahu, kamu selalu memilih untuk tak membalas perbuatan teman yang cenderung membuatmu sakit hati. Kamu lebih memilih menerima rasa sakit itu sendiri dan memendamnya jauh dalam hatimu, daripada membalas perbuatan temamu. Terlepas dari takdir garis keturunan keluargamu juga yang masih mengarah pada Bunda Kandita, kamu memiliki hati yang tulus untuk menolong sesama," jelas Nenek.

Kata-kata yang diucapkan beliau saat itu, membuat hatiku tersentuh dan semakin tak mampu untuk membendung air mata.

"Ada satu lagi yang ingin Nenek tunjukan padamu, Nenek harap kamu bisa menerima kenyataan ini," ujar beliau sembari mengusah wajahku. Lalu pandanganku, kemudian teralihkan pada suatu gambaran dimana aku mulai mengenali beberapa sosok yang sangat aku kenal. Disana aku melihat sosok Papa Mirna, sedang menjaga tubuhku yang tengah terbaring lemah. Aku memperhatikan gambaran yang ditunjukan oleh Nenek dengan sangat serius,


POV Papa Mirna

Malam itu, waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam waktu setempat. Suasana rumah ini hening karena para pemuda yang menginap di rumah ini, sepertinya telah tertidur lelap. Sesekali, aku mendengar suara dengkuran orang yang tidur di kamar tengah. Mungkin, itu suara Rafli. Mereka berempat telah tidur dengan lelap di kamar tengah.

Sedangkan aku masih di kamar ini, menjaga salah satu teman mereka. Pemuda ini terbaring lemah. Kulihat, dadanya masih kembang kempis, pertanda bahwa dia masih hidup. Namun, saat memeriksa denyut nadinya tadi, sangat lemah.

Aku sebenarnya tak mau menjaga pemuda ini jika bukan karena terpaksa. Mereka memintaku untuk tinggal dan menginap di rumah ini. Jadi, aku mengabulkan permintaan mereka.

Aku masih terjaga. Mata seakan tak mau tertutup, rasa kantuk pun sepertinya enggan menghampiri. Hatiku gelisah, karena sangat paham dengan situasi di rumah ini. Saat batin berkecamuk, terdengar raum layaknya seekor harimau. Aku bangkit dari ranjang, mencoba duduk dengan posisi kaki menginjak lantai, dan mencari sumber suara yang sangat mengganggu. Kuperhatikan tiap sudut kamar ini, tetapi tak menemukan apa pun.

Aku mendongak ke atap, tetapi di atas sana hanya ada penampakan kepala seorang wanita berambut panjang, sedang mengintip dari sela-sela kayu yang menopang atap rumah ini. Beberapa rambutnya menjuntai ke bawah, dibarengi suara cekikikan yang khas. Beberapa kali, wanita itu menampakkan wajah aslinya yang menyeramkan. Kulit wajahnya terkelupas dan meleleh, seperti habis terkena siraman air keras. Kulit di pipinya hancur meski dagingnya masih menempel di bagian tengkorak wajah!

Aku tak mau melihatmu lagi.

Suara harimau itu justru semakin nyaring hingga membuat telingaku sakit dan mendengung.

Tak tahan lagi, aku mencoba beranjak untuk berdiri. Tiba-tiba, dari kolong ranjang ada tangan yang memegangi pergelangan kakiku. Aku mencoba melepaskan cengkeraman itu, tetapi tangan berwarna pucat dan kurus kering, mencoba menarikku agar tetap berada di kamar ini.

Lalu, pandanganku pun tertuju pada cermin besar di lemari yang ada di kamar ini. Di sana, kulihat bayangan seorang perempuan berdaster putih lusuh sedang menyisir rambut menggunakan sela-sela jemarinya. Tubuhku seakan mematung dan dipaksa melihat pemandangan itu.

Tak lama, wanita itu menyibakkan rambutnya, agar bisa menampakkan wajahnya. Dia menyeringai, matanya berwarna putih secara keseluruhan, melotot saat melihatku. Kemudian, dia membuka mulut lebar-lebar, hingga kulit pipinya sobek dan menampakkan gigi-gigi yang kotor.

Tubuhku gemetar. Jantung seakan berhenti saat wanita di balik cermin itu tertawa keras. Lalu, dia terbang ke atas atap dan menghilang dari pandangan. Saat tubuh benar-benar bisa digerakkan, aku langsung menghempaskan tubuh ke ranjang ini. Kemudian, terduduk sementara, tetapi suara raum harimau masih saja terdengar.

Saat aku melihat pemuda yang masih terbaring di ranjang ini, tiba-tiba saja tampak muncul wajah sangat menyeramkan sedang melotot dan melihatku. Wajah itu sangat menyeramkan!

Bola mata yang besar itu seakan-akan mau keluar dari kelopak mata. Wajahnya sangat hitam pekat, seperti terkena luka bakar. Kedua taringnya sangat panjang, hingga melampaui dagu. Lidahnya menjuntai dan air liur keluar terus-menerus. Lalu, dari lubang hidungnya keluar belatung-belatung kecil yang sangat menjijikan.

Aku seakan tak bisa untuk menarik wajah ke belakang meski wajah itu tepat berada sangat dekat denganku. Dia mengaum layaknya harimau, kemudian sosok itu mulai mengajakku berbicara.

"Kau masih ingat dengan perjanjian kita berdua?" tanya sosok itu. "Itu adalah akibat yang harus kau terima dalam hidupmu. Keluargamu telah menerima kutukan selama turun-temurun dan saat ini, nyawa putrimu harus kau serahkan padaku."

Aku mencoba memberanikan diri untuk bernegosiasi dengan makhluk yang saat ini ada di hadapanku. "Apakah tidak ada cara lain?"

Sosok itu semakin mendekati wajahku. Dengan gerakan mengentak, hingga aku bergerak untuk mundur.

"Aku hanya ingin darah seorang perawan!" ucap sosok itu meninggikan suara. "Aku mengisap darah perawan. Terakhir kali pada saudara perempuanmu, tapi pamanmu malah mengganggu. Jadi, saat itu kubunuh mereka berdua sekaligus!" kata sosok itu. "Kau harus serahkan putrimu padaku karena dia masih keturunanmu juga," lanjutnya.

Aku berpikir keras, mencari jawaban paling tepat agar makhluk itu mengurungkan niatnya untuk mengambil putriku. Biar bagaimanapun, aku sangat menyayangi putriku.

Dulu, aku sangat berharap bisa memiliki seorang anak. Sudah delapan tahun lamanya menikah dan akhirnya penantian membuahkan hasil. Hingga saat Mirna lahir, aku sangat bahagia.

Namun, di satu sisi, aku tak punya pilihan karena kutukan ini turun-temurun jatuh pada anak perempuan di keluargaku. Di sisi lain, aku tak rela jika anak yang kusayangi harus ditumbalkan.

Tak akan ada seorang ayah yang rela melihat putri kesayangannya dikorbankan. Itu sebabnya aku selalu mencari cara agar bisa melepaskan kutukan ini.

Jika saja aku bisa mendapatkan seorang gadis yang masih perawan, mungkin bisa menukar Mirna dengan gadis itu untuk ditumbalkan pada makhluk ini.

"Apakah kau mau menunggu hingga purnama di bulan ini?" tanyaku pada makhluk itu. "Aku berjanji akan membawakanmu seorang gadis yang masih perawan, asalkan bukan anakku! Bukankah yang terpenting adalah darah perawannya? Jika kau mau menunggu, aku akan memberimu seorang gadis. Aku berjanji," ucapku dengan penuh keyakinan.

Lalu, makhluk itu pun menyetujui permintaanku dengan mengajukan syarat. "Akan kutunggu janjimu itu. Tapi ingatlah, kutukan ini tak akan pernah putus selama dalam keluargamu masih memiliki anak perempuan. Kutukan itu akan terus berlanjut. Jika kau mencoba untuk menggagalkannya, aku akan membunuh semua keluargamu. Sama halnya saat aku membunuh pamanmu. Karena waktu itu, dia berniat menggagalkanku saat aku sedang menikmati darah dari anaknya," ucap sosok itu lagi.

Tak lama, disusul oleh suaranya yang kembali meraum seperti harimau lalu menghilang. Aku merasa sesak yang teramat sangat di dada. Batinku menangis. Andai saja dulu nenek moyang keluarga kami tak membuat perjanjian anehnya di rumah ini, tentu kami tak akan mendapat kutukan!

Pernah beberapa kali aku mencoba berbagai cara untuk mengusir makhluk penghuni rumah ini. Namun, penghuni rumah ini malah semakin marah dan membunuh keluarga pamanku.

Makhluk itu membunuh paman dan sepupuku di rumah ini, hingga meninggalkan bekas luka pada jasad mereka.

Jasad mereka semua meninggalkan bekas luka jeratan di leher. Lalu, jiwa mereka terkurung dalam rumah ini. Itulah sebabnya aku tak heran saat kelima anak muda tadi langsung mengeluhkan tentang rumah ini. Sepertinya, mereka sudah melihat arwah dari paman dan sepupuku juga di rumah ini.

Aku harus mencari cara agar anakku tak menjadi korban. Kulihat, ada dua orang yang masih gadis. Besok, aku akan mencari tahu lebih banyak tentang mereka, mungkin saja ada yang masih perawan. Jadi, aku bisa menukar anakku dengan salah satu dari dua gadis itu. Namun, sebaiknya aku harus segera pulang. Aku tak mau berlama-lama di sini, tak tahan dengan semua penunggunya.

Aku mulai beranjak dari kamar, meninggalkan pemuda ini seorang diri. Aku harus pulang ke rumah secepatnya!

Kubuka pintu kamar ini pelan-pelan. Saat keluar dari kamar, jam tanganku menunjukkan pukul sebelas malam. Waktu terasa berjalan begitu cepat.

Aku berusaha memperlambat langkah agar suaranya tak terdengar oleh empat orang yang sedang tertidur lelap di kamar tengah. Sambil mengendap-endap, aku juga berharap kunci pintu di depan sana masih ada di lubangnya.

Saat sampai di pintu depan, kulihat, ternyata anak kuncinya masih tergantung tepat seperti dugaanku!

Aku membuka kunci selambat mungkin, agar suaranya tak terdengar. Setelah pintu terbuka, aku langsung keluar menuju halaman dan tak lupa pintu kututup kembali agar para pemuda itu tak curiga.

Di halaman depan yang gelap ini, samar-samar masih kulihat ada penampakan dari arwah pamanku yang berjalan memutari rumah, juga bayangan putih yang terbang berkelebat lalu duduk di atas pohon sirsak di halaman depan. Namun, aku tak mau terlalu menghiraukannya.

Aku terus melangkah hingga saat berhasil keluar dari pagar rumah ini, hatiku terasa sangat lega. Perasaan panik dan ketakutan yang menguasai sedari tadi mendadak sirna dalam sekejap.

Malam itu, aku meninggalkan seorang pemuda yang masih tak sadarkan diri di kamar belakang dan empat orang di kamar tengah. Aku tak peduli pada mereka karena baru mengenal mereka hari ini. Yang terpenting, aku bisa menyelamatkan diri terlebih dahulu, agar bisa mencari tahu soal kedua gadis yang mengontrak rumah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top