Bab 1
Cuaca siang itu sangat terik. Begitu turun dari ojek daring yang dia tumpangi dan melepas helm, Sarah langsung bisa merasakan panas matahari menyengat ubun-ubun. Peluhnya bercucuran. Mulai dari dahi, leher, hingga punggungnya pun telah basah. Aroma berbungaan dari parfum yang dia pakai juga sudah bercampur dengan keringat, menyebabkan baunya jadi semakin tajam.
Selepas ojeknya pergi, Sarah masih mematung di pinggir jalan raya kecil selebar kurang dari lima meter yang tampak lengang—hanya dilintasi beberapa kendaraan motor roda dua. Sepasang matanya memandang sekitar. Mulai dari hamparan sawah di seberang jalan yang sedang ditanami palawija, lalu ke sebuah rumah joglo besar berdinding bata dengan atap limasan khas yang kini ada tepat di hadapannya.
Perempuan yang sedang menenteng sebuah tas travel berukuran sedang itu menarik napas panjang, menahannya sebentar, kemudian mengembuskannya. Sarah berusaha menenangkan debaran jantungnya sambil mengingat-ingat kapan terakhir kali dia berkunjung ke sana. Dua belas tahun lalu? Lima belas tahun lalu? Atau dua puluh tahun lalu. Entah. Dia sama sekali tidak ingat. Memori tersebut terasa begitu buram di benaknya. Mungkin karena tidak banyak kenangan baik yang dia buat. Atau bisa jadi karena kebencian pada pemilik rumah yang sekarang, menyamarkan semuanya.
Sarah tidak tahu.
Akan tetapi, perempuan dengan rambut ikal sewarna madu yang tergerai di punggung itu ingat satu hal. Pohon sawo besar yang ada di tengah-tengah halaman yang luas itu adalah hal yang paling ditakutinya dulu. Sarah kecil selalu ditakut-takuti saat merengek ingin pulang menjelang tidur bahwa di atas pohon itu ada hantu yang siap menculiknya jika terus-terusan rewel. Konyol. Tanpa sadar, dia pun mendengkus dan menarik salah satu sudut bibirnya ke atas.
Tampak tak ada yang banyak berubah. Tempat itu tetaplah menjadi rumah yang paling dibenci oleh Sarah. Bangunannya masih terlihat kokoh berdiri sendirian dan tetap sepi, juga tanpa tetangga, meski terletak persis di pinggir jalan raya. Rumah lain yang terdekat berjarak sekitar seratus meter dan dipisahkan oleh hamparan kebun pisang.
Perubahan paling mencolok yang bisa dilihat Sarah dari tempat itu adalah penambahan sebuah bangunan di salah satu sudut halaman yang tampak seperti sebuah bengkel. Suara retih api berbaur dengan raungan mesin gerinda terdengar dari sana. Menjadikannya sebagai satu-satunya sumber kebisingan.
Namun, Sarah tidak begitu peduli. Dia ke tempat ini bukan untuk berkunjung atau mengenang masa lalu, tapi untuk keperluan yang jauh lebih penting. Sebuah map plastik kuning berisi selembar kertas dia genggam dengan erat di tangan satunya. Apa pun yang terjadi, dia harus mendapatkan tanda tangan itu hari ini dan segera pergi. Dia berharap urusannya cepat selesai tanpa banyak pertanyaan.
Gadis itu pun mulai berjalan dengan gerakan anggun. Sepatu ankle boot-nya yang berhak setinggi lima senti pun menapak begitu mantap tak tergoyahkan. Seolah-olah itu adalah tekadnya, sedangkan tanah yang diinjaknya adalah sesuatu yang menghalangi kehendaknya. Ujung gaun midinya pun berkibas lembut seirama dengan ayunan kaki. Langkah demi langkah membawanya melintasi halaman menuju bangunan utama.
Pintu depannya tertutup. Sesaat Sarah pun ragu untuk mengetuk. Lalu, saat tangannya hendak terayun, bunyi bising dari bengkel lenyap berganti satu teriakan lantang bernada berat dan serak yang sedikit menyentak.
“Cari siapa, Mbak?”
Sarah menoleh, kemudian didapatinya seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan setelan wearpack abu-abu sedang berdiri di depan bengkel dan memandangnya penuh tanda tanya.
“Pak Andhika. Apa dia ada?” jawab Sarah.
Dia lalu mengamati sekilas penampilan laki-laki itu dari jauh. Rambutnya hitam pekat, terlihat berminyak, dan diikat rapi di belakang. Dia juga mengenakan kacamata pelindung yang membingkai sebagian wajahnya yang bergaris keras, terutama di bagian rahang. Sebuah earmuff tergenggam di tangannya yang bersarung tangan kotor, entah berwarna putih atau abu-abu. Sepatu pelindungnya dari karet dengan sol super tebal yang tampak sangat berat. Dilihat dari segi mana pun penampilannya, Sarah langsung merasa tidak menyukai lelaki itu.
“Bapak sedang keluar mengantar pesanan. Kau bisa duduk dan menunggunya di situ,” jawab laki-laki itu sambil menunjuk sebuah kursi panjang dari kayu jati di teras dengan dagunya.
Sesaat, Sarah gelisah. Dia tidak ingin menunggu atau berlama-lama. Dia hanya mau urusannya cepat selesai. Titik.
“Apakah masih lama?” tanya Sarah memastikan.
“Sebentar lagi mungkin,” jawab laki-laki itu sambil berlalu dan menghilang ke dalam bengkel.
Sarah pun bergeming.
***
Hampir satu jam Sarah menunggu. Namun, belum ada tanda-tanda Andhika, orang yang dicarinya itu akan pulang. Mula-mula dirinya gelisah dan mulai menghitung tiap detik yang dilaluinya di teras yang teduh dan nyaman tersebut. Hingga pada detik ke seribu, dia telah lelah. Perasaan gelisah pun berubah menjadi kejengkelan.
Tak habis pikir dia, bagaimana perkara sepele seperti meminta tanda tangan Andhika saja harus mengorbankan begini banyak waktunya yang berharga. Jika bukan karena Sarah butuh, dia tidak akan mau menginjakkan kaki di rumah ini atau bertemu dengan pria yang paling dibencinya itu. Andhika benar-benar mempersulitnya.
“Dia menolak tanda tangan lagi?” tanya Hans, calon suaminya, kemarin pagi saat Sarah menyampaikan kabar itu.
“Ya,” desah Sarah. “Dia ingin agar aku yang mengantar surat kuasanya langsung.”
“Itu artinya dia memintamu untuk ke Semarang? Bertemu langsung dengannya?”
Sarah mengangguk lemas. “Begitulah. Kau tahu ‘kan Hans, orang yang paling tidak ingin kutemui di dunia ini adalah dia?”
Hans diam sebentar. “Kau punya contoh tanda tangannya? Kita bisa memalsukannya. Aku bisa meniru dengan mudah.”
“Tidak, Hans.” Sarah menggeleng. “Itu sebuah penipuan. Aku tidak ingin jika pernikahan suci kita diawali dengan sebuah kebohongan.”
“Lalu, bagaimana? Kau tidak ingin menemuinya. Sedangkan pernikahan kita sebulan lagi dan urusan administrasi ini belum juga selesai,” kata Hans cukup frustrasi.
“Aku akan pergi menemuinya besok. Aku rasa itulah satu-satunya jalan keluar.”
Maka, di sinilah Sarah sekarang. Duduk dengan bosan di kursi panjang teras rumah Andhika. Berkali-kali dia melirik jam tangan untuk sekadar menghitung banyaknya waktu yang dia buang demi mendapatkan sebuah persetujuan berupa tanda tangan di atas meterai dari Sang Ayah. Rasanya benar-benar menjengkelkan.
“Minumlah.” Laki-laki dari bengkel itu datang lagi. Kali ini dengan teh botol dingin yang disodorkan ke Sarah.
“Apa ini?” tanya Sarah dengan wajah yang bertekuk-tekuk. Dia rasa tak perlulah memasang wajah manis di saat-saat suasana hatinya begitu buruk seperti sekarang.
“Kau sudah terlihat belingsatan dari tadi. Aku rasa kau perlu minuman dingin agar tidak kepanasan,” jawabnya santai.
Sarah ingin melayangkan sebuah tinju ke wajah lelaki itu. Apa katanya tadi? Belingsatan? Wah, sepertinya mulut lelaki itu perlu dihajar supaya diam. Namun, rasa haus mampu mengesampingkan amarah dan gengsinya untuk menerima tawaran minuman tersebut.
“Terima kasih,” ucap Sarah sambil menerima teh botol dingin itu, lalu meminumnya.
Lelaki itu tak kunjung kembali ke bengkel dan malah ikut duduk di ujung kursi yang sama, sampai-sampai Sarah bisa mencium aroma besi terbakar darinya. Sepasang mata cokelat yang dinaungi alis tebal hitam itu pun memicing tajam. Dia mengamati Sarah dengan saksama, membuat gadis itu rikuh dan sedikit takut.
“Kau Rara, bukan?” tanya lelaki itu pada akhirnya.
Sarah terkejut. Terbelalak. Dia hampir saja tersedak oleh minumannya. Bagaimana dia bisa tahu nama itu? Seingatnya, hanya Andhika yang memanggilnya seperti itu.
“Kau tidak mengingatku, Ra?” tanya lelaki itu. Pandangannya tak luput dari sosok Sarah yang kini memasang wajah terkejut. “Aku Zaky.”
“Zaky siapa, ya?” Sarah berusaha mengingat nama itu dalam daftar memorinya.
Zaky tertawa pelan. Bukan tawa yang menyenangkan, tapi lebih seperti sedang mengejek. “Aku bocah lelaki yang diakui sebagai anak oleh ayahmu dua belas tahun lalu. Ingat?”
Bocah lelaki? Oh, tentu saja dia ingat. Itu adalah saat di mana sebuah bom berhasil meledak di keluarganya.
Kalau benar begitu, lelaki ini kemungkinan adalah saudaranya.
“Oh, tentu saja. Aku maklum jika kau tidak ingat,” lanjut Zaky saat tak kunjung juga mendapatkan balasan dari Sarah. “Kau tak mungkin repot-repot mengingat bocah yang sudah merebut ayahmu ‘kan?”
Sarah mengerti sekarang kenapa dia langsung tidak menyukai lelaki itu begitu melihatnya satu jam lalu. Kata-katanya begitu tajam dan menyakitkan.
Dia ingin membalas ucapan Zaky, tapi urung saat sebuah mobil bak terbuka berwarna putih masuk ke halaman luas rumah itu. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup keras. Pandangannya berserobok pada pria paruh baya berkopiah yang duduk di samping kursi pengemudi. Itulah ayahnya, Andhika.
***
Semarang, 3 April 2022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top