Bab 1
"Kamu selalu sibuk sama kerjaan. Nggak pernah mau ngurusi anak. Lihat kelakuan anakmu itu. Anak perempuan jam segini belum bangun. Malam keluyuran aja. Mau jadi apa dia nanti?"
"Kamu jangan nyalahin aku terus, dong, Mas. Aku kerja keras buat keluarga kita. Nggak kayak kamu yang bisanya cuma ngabisin uang buat bisnis nggak jelas kamu itu. Bukannya untung malah nambah utang."
Rea duduk bersandar di kasur, memejamkan mata sebentar lalu membukanya kembali, dia memijat pelan pelipisnya yang terasa sakit, dan menghela napas berat. Rea melirik jam dinding di tembok sebelah kanan, pukul 08.00 WIB itu artinya dia baru tidur selama tiga jam setelah semalam pergi bersama Bima, kekasihnya dan baru pulang dini hari. Dia tahu kejadian seperti ini akan terulang setiap hari, kedua orangtuanya meributkan hal yang sebenarnya bisa dibicarakan baik-baik. Kemarin, mereka meributkan uang untuk modal usaha sang Ayah dan hari ini mereka meributkan mengenai dirinya.
Rea memandang seluruh isi kamarnya. Kamar tersebut didominasi warna biru muda yang memancarkan keceriaan, berbeda dengan suasana hati Rea sebenarnya yang selalu murung. Di seberang kasur terdapat meja rias dari kayu yang juga dicat biru muda dengan ukiran di pinggirnya, di atas meja rias ada TV LED yang menempel pada tembok, lemari dua pintu berbahan kayu berdiri tegak di sudut kamar, dan di meja samping kiri kasur tertata rapi berbagai boneka pemberian Galan, sahabatnya sejak SMP. Boneka-boneka itu menjadi kado ulang tahunnya setiap tahun. "Karena aku nggak bisa selalu nemenin kamu, aku utus boneka ini untuk nemenin kamu biar nggak kesepian," ucap Galan saat memberikan boneka pertama kepada Rea.
Kemudian, tatapan Rea terpaku pada foto berbingkai hiasan kerang, di dalamnya terdapat potret Rea bersama kedua orangtuanya. Saat itu, Rea dan kedua orangtuanya pergi ke Bandung Zoological Garden untuk merayakan ulang tahunnya yang keempat. Sayang, momen tersebut merupakan kenangan pertama sekaligus terakhir Rea bisa pergi bersama kedua orangtua kandungnya. Karena saat pulang dari kebun binatang, mereka mengalami kecelakaan dan papa Rea meninggal di tempat. Sepuluh tahun kemudian, mama Rea jatuh cinta lagi dan akhirnya menikah dengan lelaki pebisnis furnitur yang saat ini menjadi ayah tirinya.
Awalnya, kehidupan mereka baik-baik saja hingga lima tahun yang lalu, ayah tiri Rea ditipu oleh rekan bisnis dan menyebabkan usahanya bangkrut. Modal yang baru dipinjam dari bank raib dan menyisakan utang menggunung. Sejak saat itu, mama Rea menjadi tulang punggung keluarga sementara ayah tirinya terpuruk dan menghibur diri dengan minum-minuman keras. Meski sudah mencoba memulai bisnis baru, tetapi usahanya selalu gagal dan lagi-lagi hanya menambah utang. Setiap kali terpuruk dan karena pengaruh alkohol, ayah tirinya akan mengamuk dan pertengkaran dengan mama Rea tidak dapat dihindari, bahkan Rea juga menjadi pelampiasan kemarahan keduanya. Tanpa sadar Rea meneteskan air mata, dia menyayangi kedua orangtuanya, meski mereka tidak pernah mengharap kehadirannya.
Rea segera mengusap air matanya saat terdengar suara barang pecah. Pasti semalam ayah tiri Rea habis minum-minum karena bisnisnya gagal lagi hingga emosinya tidak terkendali dan berakhir membuat keributan di pagi hari.
Pandangan Rea beralih pada pintu kamar saat terdengar ketukan dari luar. Pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita cantik dengan kulit putih, rambut hitam yang dicepol, wajah lonjong, dan mata lebar setelah Rea mempersilakan masuk. Wanita itu mengenakan rok dan blazer biru, siap menunaikan tugas sebagai pegawai bank. Rea mengamati wajah Ana, mamanya yang masih terlihat jejak air mata di pipinya. Pasti habis menangis karena ulah ayah tirinya tadi.
"Kamu pasti kebangun karena denger suara Ayah, ya?" Ana duduk di pinggir kasur.
Rea memaksakan senyum sebelum menjawab, "Udah biasa, kan, Ma."
Beberapa saat mereka hanya terdiam, Rea memandangi mamanya yang entah sedang memikirkan apa. Dia ingin sekali memeluk Ana dan menumpahkan rasa tertekannya selama ini. Namun, dia menarik kembali tangan yang nyaris menyentuh lengan Ana ketika wanita itu tiba-tiba menoleh pada Rea.
Ana menepuk pelan lengan Rea. "Mama berangkat dulu." Ana berdiri hendak melangkah keluar kamar, tetapi dia menoleh kembali pada Rea. "Ah, ya, uangmu nanti Mama transfer." Kemudian Ana berjalan ke arah pintu kamar.
"Ma ...." Ana menoleh, Rea menarik napas lalu mengembuskannya. Dia mencoba usaha terakhirnya sebelum benar-benar mengambil keputusan. "Bisa nggak kalo kita pergi berdua dari rumah ini? Kita mulai hidup baru jauh dari Ayah. Hanya kita berdua."
Ana menghela napas lalu tersenyum menatap Rea. "Kamu tahu Mama sayang sama kamu. Tapi, Mama juga mencintai Ayah. Mama nggak mungkin ninggalin Ayah. Mama nggak mau kehilangan sosok suami lagi. Mama juga nggak mau kamu kehilangan sosok ayah."
"Tapi, Ma─"
"Udah. Kamu istirahat aja. Mama pergi dulu." Ana membuka pintu kamar, keluar lalu menutupnya kembali.
Rea merapatkan lutut lalu menelungkupkan wajah di sana, air matanya turun hingga membasahi baju tidur bermotif bunga yang dipakainya. Ternyata, cinta Mama lebih besar untuk Ayah daripada dirinya. Keputusan Rea sudah bulat, dia harus menjalankan rencana yang sudah disusun bersama Bima semalam. Rea memang harus pergi sendiri. Pergi jauh dari rumah dan kedua orangtuanya. Persetan dengan kuliah yang tinggal menyelesaikan tugas akhir saja. Dia ingin bebas, tidak mendengar pertengkaran orangtuanya lagi.
**
Suara gaduh dari kamar Rea membuat Bima yang duduk di ruang tengah segera menghampirinya. Tanpa mengetuk, Bima membuka pintu kamar Rea dan langsung menghambur ke dalam. Rea yang sedang mengemasi barang menoleh dan menatap bingung saat Bima tiba-tiba masuk ke kamarnya tanpa izin.
"Kamu nggak apa-apa, Sayang?" Bima menarik Rea untuk melihat keadaannya.
"Hei, aku nggak apa-apa. Kenapa, sih?"
"Aku tadi denger ada suara barang jatuh dari sini, makanya langsung masuk aja."
Rea melanjutkan memasukkan pakaian ke dalam tas setelah Bima melepaskannya. "Oh, tadi itu aku ambil satu foto di meja deket kasur, tapi nggak sengaja nyenggol satu boneka yang akhirnya nyenggol foto-foto lain sampe jatuh dan bikin ribut." Rea memperlihatkan cengirannya sebelum kembali fokus pada barang-barang yang akan dibawanya.
Bima berjalan ke meja penuh boneka dan berinisiatif untuk membantu Rea merapikan foto-foto yang terjatuh. Namun, beberapa saat kemudian, Bima melempar boneka yang ditemukannya di dekat kaki meja. Dia tahu boneka-boneka milik Rea pemberian dari Galan, dan dia benci itu. Dia duduk di tepi ranjang, memperhatikan kekasihnya yang mondar-mandir mengambil barang lalu memasukkannya ke dalam tas. Sesekali Rea menyelipkan anak rambut yang jatuh menutupi wajah cantiknya. Hal itu tak luput dari pandangan Bima.
Bima menarik tangan Rea hingga jatuh ke pelukannya saat wanita itu baru selesai mengemas dan berdiri menghadapnya. Tangan kanan Bima mengelus pipi Rea sementara sebelah tangan yang bebas menarik pinggul wanita itu hingga makin rapat dalam dekapannya. Bima menyusuri setiap inci wajah Rea dengan jemarinya. Hal itu membuat Rea memejam menikmati setiap sentuhan kekasihnya.
"Bim ... lepasin." Rea membuka mata lalu meronta ingin lepas dari pelukan Bima.
Bima mengeratkan pelukannya sambil terus mengecupi wajah Rea. Kemudian, dia mendekatkan bibirnya ke telinga Rea, menghirup wangi wanita yang menjadi kekasihnya selama tiga tahun itu sebelum berbisik, "Ayolah, dikit aja."
Tubuh Rea seketika meremang akibat embusan napas Bima di lehernya. Dia memejam kembali, hampir saja terlena sebelum akhirnya sadar jika mereka harus segera keluar dari rumah itu.
"Kita harus pergi sebelum Ayah pulang, Bim." Rea mendorong dada Bima hingga lelaki itu mundur. Rea mengambil tas dan bergegas keluar kamar. Sebelum itu, dia memandangi seluruh isi kamarnya dari ambang pintu, menyerap seluruh kenangan yang pernah terjadi di sana lalu benar-benar pergi untuk selamanya.
"Sial! Lagi-lagi gagal," gumam Bima sebelum akhirnya mengikuti Rea keluar kamar.
**
Rea menunggu pesanan ayam geprek dan es teh lemon seraya menanti kedatangan teman-temannya. Dia dan Bima tiba dua puluh menit lebih awal dari waktu janjian, pukul 17.00 WIB. Mereka berencana pergi dari rumah dan hidup berdua dengan damai di suatu tempat yang jauh dari jangkauan orangtua mereka. Berbekal uang tabungan yang selama ini mereka kumpulkan, Rea yakin bisa bertahan hidup bersama Bima di tempat pelarian selagi mencari pekerjaan. Atau, mereka bisa merintis usaha kedai kopi sederhana, mengingat Bima pandai meracik kopi dan Rea bisa membuat kue─hasil belajar autodidak untuk mengisi kesendirian di rumah saat ditinggal kerja oleh kedua orangtuanya.
Suasana kafe sore ini cukup sepi, hanya ada empat meja yang terisi, termasuk meja Rea dan Bima. Dua meja yang berjarak tiga meter dari meja Rea masing-masing diisi oleh sepasang kekasih, sementara satu meja lagi di pojok belakang diisi oleh seorang cowok yang fokus dengan laptop di hadapannya. Setelah lima belas menit menunggu, akhirnya pesanan Rea datang. Dia segera melahap makanannya setelah menyeruput es teh lemon tanpa mengindahkan peringatan Bima untuk perlahan-lahan saat makan. Rea baru ingat jika seharian tadi belum makan dan hanya sempat meneguk segelas susu sebelum Bima datang ke rumahnya, pantas saja perutnya sedari tadi protes minta diisi. Karena terlalu terburu-buru, Rea tersedak hingga terbatuk-batuk.
"Udah dibilangin makannya pelan-pelan aja," ucap Bima sambil menyodorkan air mineral dalam botol yang langsung disambar oleh Rea. Wanita itu meminumnya hingga setengah.
"Sori. Abis laper banget." Bima hanya membalas cengiran kekasihnya dengan senyum simpul lalu melanjutkan makan lagi.
Tepat setelah Rea menghabiskan makanannya, Lusi datang lalu lima menit kemudian disusul dengan kedatangan Bagas, Mario, dan Willi. Rea menawarkan agar teman-temannya memesan makanan, tetapi mereka menolak dengan alasan sudah mengisi perut sebelum datang kemari dan akhirnya hanya memesan minuman. Mereka mengobrol dan saling bertukar kabar karena memang sudah lama tidak bertemu. Terkahir kali mereka bertemu sekitar tiga bulan yang lalu, saat Lusi dan Bagas masih sebagai sepasang kekasih.
"Sebenernya kita mau ke mana, Bim?" Pertanyaan yang diajukan oleh Bagas juga sama dengan pertanyaan Rea saat mereka dalam perjalanan kemari dan belum mendapat jawaban pasti.
"Aku juga nggak tau pastinya. Kita tunggu aja orangnya."
"Kita masih nunggu orang lagi?" Rea ikut menyuarakan pikirannya mewakili teman-teman yang lain.
"Iya, paling bentar lagi nyampe. Dia yang bakal bawa kita ke tempat pesta."
"Dia siapa? Kamu tau orangnya?" Rea ingin memastikan jika waktunya tidak terbuang sia-sia hanya untuk menunggu seseorang yang tidak jelas. Lebih baik, mereka pergi ke tempat pelarian dan mulai hidup baru dengan damai.
"Aku juga belum tau gimana orangnya. Yang jelas dia wanita dan katanya, hari ini dia pakai jin dan kaos merah dengan jaket kulit. Kita tunggu aja." Bima menggenggam tangan Rea lalu berbisik, "Sabar, ya, Sayang. Kita berpesta untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kota ini. Setelah ini, kita bakal hidup berdua."
Rea menghela napas lalu mengambil es teh lemon yang masih tersisa seperempat gelas dan menyeruputnya. Dia mengobrol bersama Lusi sambil menunggu orang yang dikatakan Bima.
"Kamu kenal orang itu dari mana? Gimana kalo dia penipu?" tanya Willi. Bukannya dia tidak mau bersenang-senang dengan teman akrab yang sudah cukup lama tidak bersua. Hitung-hitung dia bisa bernostalgia dan melupakan masalahnya di rumah. Namun, kalo harus berurusan dengan penipu, lebih baik dia main game di kamar.
Bima meminum blue ocean-nya sebelum menjelaskan. "Klub Rumah Biru. Kalian bertiga ...," Bima menatap Bagas, Mario, dan Willi bergantian, "juga ada dalam klub itu, kan?" Pertanyaan Bima disambut anggukan oleh ketiga temannya itu.
"Klub? Klub apa itu? Kok kamu nggak pernah cerita?" sela Rea seraya menatap tajam kekasihnya.
Bima tertawa melihat ekspresi wajah Rea. "Sayang, kamu nggak mikir yang aneh-aneh, kan? Ini cuma sebuah klub di dunia maya yang anggotanya kumpulan anak-anak bermasalah. Entah itu masalah keluarga, perundungan, atau apa pun yang membuat mereka tertekan dengan kehidupannya. Aku nggak sengaja lihat iklan klub itu waktu lagi asyik berselancar di internet. Iseng, akhirnya aku gabung klub itu dan ternyata menyenangkan. Aku sempet posting tentang masalah di rumah, dan aku bilang kalo pengen menenangkan diri. Ternyata ada yang ngerespons postinganku itu, namanya Santi dan dia orang yang ngajak kita semua untuk pesta malam ini."
"Tunggu. Kenapa dia tiba-tiba nawarin kamu untuk berpesta? Memangnya dia siapa?" tanya Lusi curiga.
"Aku juga nggak tau. Tapi, yang jelas dia ngaku sebagai salah satu admin klub itu. Mungkin karena aku selalu memenangkan permainan dalam klub itu, jadi aku dapat hadiah." Bima mengatakannya sambil mengangkat bahu. Dia sendiri tidak tahu pasti alasan wanita bernama Santi itu menawarkan kepadanya untuk pergi berpesta. Yang jelas, dia akan bersenang-senang malam ini.
"Udahlah, nggak penting juga siapa dia dan apa maksudnya. Yang terpenting adalah kita akan berpesta sepanjang malam," sahut Mario dengan wajah berseri yang didukung oleh Willi, lalu mereka bertos ria. Sementara Bagas hanya diam dan menatap Lusi dengan penuh kerinduan.
"Permisi, apa benar ini meja Bima?" semua orang di meja tersebut menoleh dan mendapati seorang wanita cantik memakai pakaian sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan tadi tengah menatap Bima. Wanita itu memastikan pakaian Bima sesuai dengan obrolan yang dikirim oleh pria itu pada halaman pesan di web Klub Rumah Biru semalam.
"Santi?" tanya Bima yang mendapat anggukan beserta senyuman manis dari wanita itu. Bima langsung mempersilakan Santi duduk lalu mengenalkannya kepada Rea dan keempat teman lainnya.
"Sori sebelumnya, aku ngajak banyak temen. Enggak apa-apa, kan?"
"Oh, nggak apa-apa, kok. Semakin banyak yang ikut justru lebih baik. Maksudku, pestanya akan semakin rame."
"Ah, bener juga."
"Gimana? Kita bisa langsung berangkat sekarang? Biar nggak kemaleman di jalan," tawar Santi setelah berbasa-basi sebentar dengan mereka.
"Boleh." Jawaban Bima membuat Rea menahan tangannya. "Kenapa, Sayang?"
"Kamu yakin kita harus pergi?" Bima jelas melihat keraguan dan kecemasan di wajah kekasihnya itu. Dia bisa memakluminya karena Rea tidak mudah percaya kepada orang asing. Hingga detik ini, orang yang paling Rea percaya masih Bima dan Galan.
"Kamu percaya sama aku, kan?" Rea mengangguk meski masih ragu. Sementara Santi yang berada di samping kanannya, menyentuh tangan Rea sambil tersenyum. Senyuman yang anehnya tidak mencapai mata.
"Tenang aja, kita bakal seneng-seneng di sana."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top