19- Kilasan Masa Lalu

Sambil dengerin Mulmed biar gremet hatinya.. wkwkwk.. part ini full kilasan masa lalu.

___

"Kau itu persis seperti kaktus. Walaupun luarnya berduri dan keras, tapi ternyata hatimu penuh dengan air mata."
Catatan Movie : 49 Days - 2011

Saat akan melahirkan..

"Kak, sakiiit," rintih Lea yang sudah terbaring lemah di tempat tidur ruang perawatan rumah sakit. Lea dan Harlan sudah berada di rumah sakit sejak pagi.

Saat bangun tadi pagi, Harlan langsung mengajak Lea pergi untuk menjalani proses melahirkan. Sejak semalam sebenarnya Lea sudah merasakan rasa sakit di sekitar pinggang bagian bawah. Lea terus meringis dan puncaknya saat menjelang matahari terbit. Lea sudah tak kuat lagi menahan rasa. Harlan yang memang tak meninggalkan Lea sejak sore kemarin langsung sigap membawa Lea ke rumah sakit. Prediksi dokter benar tentang waktu kelahiran Lea di minggu ini.

"Sabar, yah." Harlan mengusap kening Lea dan terus menggenggam tangan Lea sebagai bentuk dukungan. Harlan akan selalu ada di samping Lea.

"Aku kangen Ibu," lirih Lea lemah. Berkali-kali Lea menatap pintu kamar. Berharap keajaiban muncul. Sang ibu mau menemani. Lea ingat, ibunya pernah berjanji akan menemani Lea saat proses melahirkan. Lea yakin ibunya tak akan ingkar janji.

"Kakak benar, kan, udah telepon Ibu?" Lea bahkan melupakan egonya untuk tidak bertahan memasang aksi marah dengan Harlan hari ini. Lea meminta Harlan menghubungi rumahnya memberi kabar perihal kondisi Lea sekarang.

Harlan mengangguk saja. Menenangkan Lea. Kenyataannya telepon rumah keluarga Lea memang tak bisa dihubungi. Pergi sejenak pun tak bisa dilakukan Harlan saat ini. Tak mungkin dia meninggalkan Lea sendiri. Tidak ada yang menemani.

Keduanya memang belum berpengalaman menghadapi situasi genting seperti sekarang. Tetapi sekuat tenaga Harlan berusaha menjadi yang terbaik sebagai suami siaga. Harlan sabar menghadapi Lea yang terkadang lepas kontrol menahan sakit. Tak jarang Harlan mendapatkan bentakan Lea karena rasa sakit yang tak bisa dia bayangkan.

"Rasa ini sungguh sakit. Aku mau minta maaf sama Ibu. Aku anak yang tak pernah menuruti nasihat Ibu." Lea meracau sambil menatap Harlan.

"Nanti setelah ini, Kakak antarkan kamu bertemu Ibu, yah?" Lea mengangguk lalu menangis menatap sendu Harlan. Lalu matanya terus menatap daun pintu. Kapan sosok lembut penuh kasih sayang itu akan datang? Lea butuh sandaran.

"Kakak nggak akan pernah meninggalkan kamu," bisik Harlan lembut. Mengecup kening Lea.

"Sakit," perih Lea sambil menggeleng. Meringis merasakan rasa mulas yang kian hadir terus menerus.

"Aku panggil suster. Mungkin sudah saatnya."

Dan beberapa jam setelah itu Lea berhasil menjalani persalinan secara normal. Lea tangguh dan bisa berjuang menghadapi risiko kematian seorang diri.

Ada Harlan sebenarnya yang selalu berada di samping Lea. Tapi Harlan sendiri juga bergetar saat suara tangisan kencang itu menggema di ruang persalinan. Dia sudah resmi menjadi seorang ayah. Lalu setelah ini bagaimana? Hidupnya benar-benar harus dia pergunakan sebaik mungkin. Tidak ada lagi bermain santai ataupun mencoba-coba. Ada manusia mungil yang menjadi tanggung jawabnya.

"Kamu mau melihat anak kita?" tanya Harlan pada Lea. Sudah beberapa jam proses melahirkan selesai. Mendekati malam, dan Lea sudah bisa diajak bicara. Proses pemulihan sudah selesai.

"Namanya Nadya. Dia kenyataan indah yang hadir sebagai harapan bahagia hidup kita kelak," jelas Harlan pelan. "Aku antar, yah? Atau Nadya aku minta dibawa ke sini?"

"Lea?" tanya Harlan lagi. Lea menggeleng lemah sambil tetap menatap daun pintu dengan linangan air mata. "Aku mau istirahat," ucap Lea mencoba memiringkan tubuhnya. Tak mau menatap Harlan.

"Tapi anak kita harus disusui," jelas Harlan menahan rasa kecewa.

"Nggak mau," ketus Lea kesal. Dia tak mau diganggu. Harlan memperhatikan getaran di bahu Lea. Harlan tahu, Lea mengharapkan kedatangan sang ibu. Tapi mau bagaimana lagi, sepertinya tidak ada di tempat. Telepon rumahnya tak bisa dihubungi.

"Lea," panggil Harlan lagi.

"Aku mohon, Kak. Aku sudah melahirkan anak Kakak. Mau apalagi? Kita akan bercerai juga, kan?" Harlan mengepalkan tangan. Semudah itukah Lea melepaskan darah dagingnya. Lea tak ingat dia berjuang diambang risiko kematian demi melahirkan normal? Ironi, Lea masih membanggakan sisi egoisnya. Kekanakan.

"Aku tunggu di luar," ucap Harlan mencoba bersabar. Harlan duduk di depan kamar inap. Memijat keningnya pelan. Sejak semalam dia kurang istirahat. Dan setelah ini selamanya Harlan akan berjuang sendiri. Jika dilihat dari gelagatnya, Lea memang tak mau melangkah bersama. Lea tetap pada pendirian, tapi mungkin Lea bisa dia yakinkan. Harlan mau berdua menjalani hidup setelah ini. Harlan akan meminta Lea hidup bersamanya sampai benih cinta ini semakin nyata terlihat.

"Pak, tadi saya sudah memeriksa Ibu Lea, sepertinya asi sulit keluar. Harus dipancing oleh bayinya sendiri." Salah seorang suster menegur Harlan di depan ruang perawatan.

"Kenapa tidak bisa keluar? Bukankah setiap calon ibu pasti bisa mengeluarkan asi?"

"Ada beberapa faktor yang menjadi sebab asi tak keluar. Bisa jadi stres melanda, pengaruh alkohol, kafein ataupun rokok bisa juga." Harlan mengangguk saja mendengarkan.

"Kelelahan atau pun kurangnya stimulasi menambah penyebab asi keluar. Seharusnya Ibu Lea sudah dilatih sebelumnya. Makan bergizi sebagai pancingan produksi asi yang berlimpah." Harlan tertawa dalam hati. Lea dan dirinya terlalu lengah tak memikirkan hal sepenting ini. Tidak ada dari mereka yang berinisiatif mencari tahu perihal masa hamil lebih teliti.

"Lalu bagaimana?" tanya Harlan bingung.

"Kalau masih susah dan tak bisa keluar. Apa boleh buat, susu formula juga kami sediakan. Tapi izin dulu sama Bapak dan Ibunya. Kami tak akan bertindak seenaknya."

"Formula saja, Sus. Saya yang bertanggung jawab," ucap Harlan cepat. Tak ada waktu merayu Lea. Toh, dia sedang tak stabil emosinya.

---

"Kenapa susah sekali telepon rumah dihubungi?" gerutu Lea di dalam kamar sambil memegang ponsel di nakas. Sudah dua hari Lea pulang ke rumah Harlan. Selama dua hari itu Lea tak terlalu peduli keberadaan buah hatinya di kamar sebelah. Lea hanya melamun dan istirahat sendiri di dalam kamar.

Harlan yang menjaga si bayi bersama pengasuh. Sudah dipekerjakan Harlan sejak beberapa hari sebelumnya. Dia takut tak bisa mengambil alih semuanya.

Harlan hanya diam melihat tingkah acuh Lea. Dia sudah lelah untuk memancing kemarahan Lea. Biar saja. Apalagi dokter mengatakan emosi Lea pasca melahirkan sedang tak stabil. Harlan memaklumi. Tapi dua malam di rumah Harlan, Lea diwajibkan Harlan tidur satu kamar bersama Harlan dan juga Nadya. Lea sempat menurut dengan permintaan Harlan untuk mencoba menyusui Nadya. Tapi sayang, air susu itu masih tetap tak keluar. Membuat Harlan yakin memberikan Nadya susu formula untuk asupan makanan.

"Aku harus ke sana." Lea berdiri gelisah. Dia mau meminta maaf tulus kepada kedua orangtuanya. Lalu selanjutnya?

Lea menatap arah pintu kamar. Terdengar suara tangisan bayi. Lea tidak langsung bergegas keluar, dia tahu ada Harlan di sana. Suaminya sungguh berhati baja. Benar apa yang diucapkan Harlan, dia benar-benar bertanggung jawab merawat Nadya.

Lea segera menuliskan sebuah surat untuk Harlan. Lea mau pergi sejenak mengurus permintaan maaf. Setelah itu kembali lagi. Lea mau mencoba menjadi istri dan ibu bagi keluarga kecil Harlan. Itu juga kalau Harlan mau, pikir Lea diam sejenak.

"Hidup bersama Kak Harlan dan Nadya?" bisik Lea pelan.

Dia diam sejenak. Mengambil alat tulis untuk memberikan catatan kecil untuk Harlan. Semoga Harlan mau menunggunya. Mungkin dia egois pergi seenaknya dalam keadaan pasca melahirkan. Lea hanya mau lega hati setelah meminta maaf.

Lea yakin Harlan akan menunggunya. Terlebih sikap manis Harlan beberapa waktu terakhir ini semakin membuat Lea yakin, kalau keputusannya sudah pasti, dia bersedia menjadi istri Harlan. Lupakan ucapan-ucapan mengancam perpisahan. Dia masih muda, labil dan mudah mengucap asal. Lea harap Harlan mengerti.

"Kakak masih mau nggak, yah?"

Tapi, bukankah Harlan tak cinta dirinya? Ingat Lea, Harlan masih mencintai gadis lain.

"Tapi perlakuan Kak Harlan semakin tulus sama aku," bingung Lea sendiri.

Lea kembali berpikir. Dia yakin Harlan juga merasakan hal yang sama akhir-akhir ini. Saling membutuhkan dan rasanya serasi jika selalu berdampingan. Apalagi sekarang ada penyatu mereka, Nadya. Suaminya pasti akan luluh.

Lea meletakan satu amplop berwarna merah mudah kesukaannya di nakas tempat tidur. Semoga Harlan membacanya. Dia mau izin sebentar pergi. Dan berjanji akan kembali.

"Mudah-mudahan nanti Kak Harlan baca. Jadi saat aku pulang, Kak Harlan bisa luluh." Lea tersenyum malu memandang amplop itu.

Kak, tunggu Lea, yah. Lea janji akan kembali dalam waktu dekat. Jaga dia untuk Lea.
Love you.

Lea tersenyum malu membaca pernyataan istimewanya di akhir tulisan.

Dia baru saja mengakui jatuh cinta? Kalau Harlan tak membalas? Lea menggeleng, mencoba percaya diri dengan keadaan. Lea sepertinya yakin Harlan juga memiliki rasa untuknya.

Lea berjalan keluar kamar. Dia mau pamit kepada Harlan dan melihat keadaan Nadya. Lea berjanji akan kembali secepatnya. Bahkan bila mendapat keberuntungan, Lea akan mengajak kedua orangtunya menjenguk cucu mereka.

Langkah Lea terhenti di daun pintu. Tidak ada lagi tangisan Nadya. Sepertinya Harlan berhasil menenangkan. Lea memperhatikan Harlan. Matanya membulat sempurna saat melihat Harlan sedang berdiri kaku memegang beberapa lembar foto.

Itu foto mantan kekasihnya. Pikir Lea foto itu sudah binasa, tapi kenapa masih disimpan Harlan? Lea pernah memeriksa nakas di dalam kamar, dan tidak terlihat. Jadi selama ini Harlan masih menyimpan aman kenangan itu?

Lea tertawa dalam hati. Sambil menepuk dadanya pilu. Niat ingin izin pergi sejenak gagal dia kerjakan. Lea tak jadi memasuki kamar. Dia mau membawa perlengkapan miliknya sendiri. Harlan tak bisa dipercaya.

Harlan yang masih fokus menatap foto wanita cantik yang pernah mengisi hari-harinya tak merasakan gerakan Lea di luar sana. Siang ini suasana rumah sepi. Sang mama memilih pergi ke luar kota sejak beberapa hari yang lalu. Harlan sudah tak menghiraukan lagi. Lelah menghadapi berbagai penolakan.

"Bye," ucap Harlan lalu membuang lembaran foto-foto itu dalam tempat sampah yang tersedia. Sekarang fokusnya adalah Nadya. Dan juga Bunga Azalea.

Harlan mau melangkah bersama takdirnya sekarang. Dia mau mencoba bersama Lea dan hidup bersama dengan buah hati mereka Nadya.

Harap Harlan, Lea mau menerimanya. Setelah membuang aneka foto, Harlan merogoh saku celana. Menatap kotak cincin yang sempat dia tunda diberikan untuk Lea. Setelah ini, dia mau mengajak Lea tak berpisah. Harlan yakin, Lea akan menerimanya.

Rujuk?
Sabtu, 26 Agustus 2017
Mounalizza

Ayo siapa yang mau kalian jedotin?

Harlan...

Lea...

Atau Sayah.. Mounalizza .. hahaha

Dan satu lagi, cerita ini memang akan dibukukan..jadi jangan bilang saya PHP ya . Krn publish cerita ini sudah sering saya lakukan dan akhirnya PHP jg. Hehehe
Salam Ruwet semuaaa...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top