18- Kesalahan

Waduhh cacimaki Harlannya berlimpah.. hehe seruu.. ada banget org kaya harlan. Emang butuh dijedotin kwkwk .. maaf belum sempat balas satu2 yah 😔

Btw Pasmina itu bukan hanya digunakan sebagai penutup kerudung. Pasmina itu bisa dipakai untuk selendang, atau dijadikan mantel. Di KBBI juga ada pengertiaanya. Jadi jgn langsung pukul rata yang beli pasmina itu hanya muslimah. 🤗

--

"Hai, Kak.. Nama aku Lea. Kakak temannya Caroline, yah?"

"Saya temannya Aldi."

"Oh, Kakaknya Caroline, yah?"

"Iya."

"Kak, kenapa diam saja. Namanya siapa?"

"Harlan. Udah sana jangan ganggu. Seumuran kamu lagi di kolam renang. Jangan ganggu saya."

"Nggak mau. Aku mau di sini aja. Mau kenal sama anak kampus."

"Terserah."

"Kakak minum alkohol? Kata Kak Aldi, Kakak lagi patah hati?"

"Minggir, jangan ganggu saya."

"Ih, nggak mau."

"Nanti saya bisa buat yang tidak baik sama kamu."

"Biarin. Aku bisa ambil KTP Kakak sebagai jaminan."

"Terserah."

Lea membuka mata. Teringat kilasan masa lalunya dulu. Selalu berani mendekati bahaya. Bahkan dia memancing mendekati Harlan malam itu. Malam dimana dia berbohong pada sang ayah untuk pergi belajar bersama. Lea memilih menghadiri pesta yang dibuat temannya. Awal dia bertemu singkat dengan Harlan. Membawa malapetaka bagi hidupnya.

"Huffft," gerutu Lea menahan sesak di dada. Berusaha menutup mata, tetap saja tak bisa nyaman beristirahat. Ucapan rasa benci Nadya terus saja terdengar di isi kepala. Lea tak mau kedekatannya dengan Nadya hancur hanya karena ulah tangan refleknya tadi.

Dia benar-benar kecewa dengan Harlan. Sejak awal Lea selalu menahan rasa kecewa karena cara Harlan berjuang untuknya tak pernah serius. Tapi sekali lagi, demi niat kembalinya tercapai, Lea menutup mata akan sebuah kenyataan. Harlan memang tak pernah mau memberikan tempat di hati untuknya. Lea terlalu bodoh untuk tetap mempertahankan.

Lea melangkah keluar kamar. Sudah dini hari. Remang menemaninya ke ruang makan. Langkahnya berhenti saat melirik ruang televisi. Ada Harlan di sana. Duduk menatap layar televisi dalam diam dengan dua gelas minuman di hadapan. Lea tak peduli dengan keberadaan Harlan.

Harlan melirik Lea yang sedang berjalan pelan ke arah dapur. Lalu berjalan cepat mendekati Lea.

"Ini, Milo campur Ovaltine buat kamu. Maaf membuat kamu menangis. Sejak tadi aku mau ketuk kamar kamu, tapi takut kamu marah." Harlan meletakan satu gelas minuman kesukaan Lea sejak dulu di meja makan. Lea hanya melirik sekilas. Lalu melangkah kembali bersama gelas yang sebelumnya dia pegang. Meninggalkan minuman segar yang sebenarnya bisa membuat rasa sesaknya berkurang. Harlan yang dilewati Lea hanya bisa memaklumi. Dia sadar dengan ucapan kasarnya tadi. Mungkin tamparan tak cukup untuk menghukum dirinya.

Harlan tahu dia sama-sama tersulut. Tapi Harlan juga tak terima dianggap tak peduli dengan semuanya. Lea tak tahu rasanya mengurusi buah hati sendiri. Lea tak tahu bagaimana Harlan berjuang setiap malam mengurus Nadya yang seharusnya diberikan air susu oleh Lea. Harlan dipaksa mampu mengerjakan semuanya.

Lea tak pernah tahu segudang rasa kecewa yang hanya bisa Harlan telan sendiri. Dia bersalah telah mengambil harta berharga Lea, tapi itu bukan salahnya keseluruhan. Mereka sama-sama bersalah.

"Lea," tahan Harlan lagi mengikuti Lea ke atas tangga.

Lea menoleh lemah. "Mau apa lagi, Kak? Mau pancing emosi aku lagi? Tenang aja, aku nggak akan tampar Kakak lagi. Terus membangungkan seisi rumah." Harlan lihat dari jarak dekat wajah suram Lea. Meskipun keadaan cahaya remang, Harlan tahu mata Lea penuh sisa air mata.

Lea kembali melangkah ke atas. Harlan berjalan di belakang Lea. "Nadya hanya emosi, jangan diambil hati."

Lea berhenti lagi. Posisi mereka sama seperti sebelumnya, di tempat kejadian Lea menampar Harlan. "Maafkan aku, kamu mengungkit masalalu terlalu dalam. Maaf, Lea," jujur Harlan lagi. Lea bingung ingin bertindak apa.

Sejak dulu, Harlan memang seperti ini. Tak bisa menjaga perasaan Lea sebaik mungkin. Wajar, Harlan tak mencintainya. Lea lalu mengangguk. "Iya, terserah Kakak."

Lea kembali berjalan, dan tanpa sadar pelukan erat Lea rasakan dari belakang tubuhnya. "Tolong mengerti, masalalu kita benar-benar miris." Harlan bersuara kikuk memeluk Lea. Dia bukan pria yang pandai berucap kata. Harlan tak bisa merangkai kata indah untuk membuat luluh pasangan. Terkadang dia bisa bertindak apa adanya, bisa jadi membuat kejutan. Tapi tak semua kejutan berakhir indah.

Harlan sudah malas mencoba meluluhkan hati wanita.Terlebih seiring waktu. Rasanya hampa. Harlan tak pernah belajar kembali. "Aku bingung harus berbuat apa, Lea." Pelukan Harlan semakin erat memeluk Lea. Menghirup aroma rambut Lea yang terasa menenangkan. Melingkari pinggang Lea rasanya bisa membuat hatinya bahagia. Selama ini dia tak punya sandaran. Tak punya teman bicara dikala kesepian melanda.

Lea hanya diam, tak memberikan tanggapan. Dia takut Nadya kembali terbangun dan menuduhnya berbuat jahat kepada Harlan.

"Lea," panggil Harlan pelan membalikan badan Lea. Harlan mengusap lembut pipi lembab Lea. Menyesal dia telah lalai menjaga ucapan. Tadi, Harlan lepas kendali. Lea mengungkit mantan kekasih. Harlan sudah merelakan wanita itu dan mau menguburnya sebagai kenangan.

"Kalau kemarin aku tidak kembali, apa Kakak akan mencariku?" tanya Lea pelan. Perlahan Lea melepas pelukan Harlan. Dia sudah tidak semurahan yang Harlan kira.

"Lea," ucap Harlan menarik kembali lengan Lea, dan Lea kembali mundur. Lea tertawa remeh seolah tahu jawaban Harlan yang tentu saja tak berniat mencarinya.

"Aku sulit merangkai kata," jujur Harlan kikuk. Kalau dia bersuara, khawatir Lea akan sakit hati.

"Bantu aku kembali dekat dengan Nadya saja, Kak. Kalau kita tidak ditakdirkan kembali bersama, aku terima dengan lapang dada." Setelah mengatakan itu, Lea pergi meninggalkan Harlan yang sedang mengacak rambut.

Harlan berjalan ke arah kamar. Memasukinya dengan hati bersalah. Apakah Lea sudah menyerah? Hembusan napas Harlan terasa berat didengar. Lagi-lagi dia tak bisa berjuang mempertahankan. Pengecut abadi memang pantas dinobatkan kepada dirinya.

Harlan memperhatikan wajah pulas Nadya di sebelahnya. Nadya kesalahan terindah yang hadir dalam hidupnya. Poros hidup Harlan berubah sejak kehadiran Nadya. Tapi dia juga tidak boleh egois. Sejatinya, Nadya juga membutuhkan Lea di sampingnya.

"Papa harus apa, Nak?"
Harlan tak tahu harus mengadu oleh siapa. Sudah lama dia mengisolasi diri atas lingkungan. Mungkin Lea benar, Tuhan juga memang menghukum dirinya dengan cara yang berbeda.

Harlan merebahkan diri menatap langit kamar. Teringat saat awal dirinya dan Lea bertemu. Saat itu Harlan menghadiri acara pesta salah seorang teman. Lea juga datang sebagai tamu undangan adik temannya.

Harlan yang lebih memilih menyendiri, bertemu dengan Lea yang agresif mendekatinya. Jiwa Harlan sedang kalut, dan malam itu Lea membuat segalanya kembali kacau.

"Jangan dekati saya, Anak manis. Sana sama teman-teman kamu."

"Nggak mau, aku mau sama Kakak. Minuman ini rasanya kayak apa?"

"Pahit. Eh, jangan langsung dihabiskan!"

"Wah, rasanya kayak omelan Ayahku. Kayak digigit-gigit."

"Kak, mau bantu rasa penasaran aku, nggak? Kakak tahu, sejak tadi aku memilih Kakak dan berhasil lolos seleksi."

"Minggir, jangan dekat-dekat! Kita nggak saling kenal."

"Kan, tadi udah kenalan. Aku Lea, kamu Kak Harlan."

"Iya, tapi jangan peluk-peluk gini. Saya pria normal, Lea."

"Nah, apalagi. Cium aku, dong!"

"Kamu tahu posisi kamu ini bahaya. Sana pergi!"

"Kakak ikut juga, yuk! Kak, di kamar tamu kosong, lho. Nih, kuncinya aku pegang."

"Eh, jangan buka kancing baju kamu!"

"Satu aja, Kak."

"Ayo, ke kamar. Tapi aku minta kartu penduduk Kakak."

"Ini kartu namaku saja."

Harlan tertawa miris mengingat awal mula mereka bertemu. Lea benar-benar berani mendekatinya. Murahan? Harlan tertawa remeh penuh penyesalan mengingat semburan tak sadar dirinya tadi. Lea hanya gadis centil yang sedang menggagungkan jiwa beraninya. Apalagi sangat penasaran. Harlan terkikik mengingat cara Lea untuk mau menciumnya. Benar-benar polos tapi nekat untuk berani.

Malam itu Lea benar-benar menjadi pelampiasan Harlan sepuasnya. Dia manusia paling brengsek yang seenaknya mengambil harta berharga Lea. Tapi mabuk dan rayuan Lea yang memancingnya. Pria mana yang tidak akan tergiur jika berada dalam posisi Harlan.

"Kak, aku jadi takut."

"Terlambat, kamu sudah mengajak aku ke sini, anak manis."

"Tapi janji, jangan pergi kalau terjadi sesuatu."

"Kan, ada data diri aku yang kamu pegang."

"Minum dulu, Kak."

"Ayo rebahkan diri kamu, jangan takut."

"Ayah bisa marah besar kalau tahu."

"Kamu ragu? Sebaiknya kita sudahi saja."

"Eh, jangan! Ayolah, aku sudah siap."

Harlan membuka mata kembali. Lalu melirik suara dengkuran lembut di sampingnya. Dia hadiah terindah yang Lea berikan untuknya. Terlahir dari dosa keduaorangtuanya. Hadir selalu membawa ceria dan tawa dalam hidup Harlan. Nadya yang suci selalu menjadi alasan Harlan untuk pulang ke rumah. Bertahan sampai Nadya bisa hidup sendiri.

Nadya menjadi penolong kedua orangtuanya menebus segala kesalahan. Saat ini sedang Harlan lakukan, dan Lea akan dia ajak untuk menebus segala kesalahan.

"Papa bingung, Dy." Harlan memeluk Nadya sebagai penenang hati sepinya. Mampukah dia beradaptasi dengan keberadaan Lea sekarang?

--

"Aku nggak mau jalan sekolah sama Tante, maunya sama Papa." Nadya menatap garang wajah Lea esok paginya. Tak bersahabat seperti kemarin. Ibu Nani yang juga ada di sana mengerutkan keningnya bingung. Sejak duduk di ruang makan, dia melihat aura tak bersahabat antara Nadya, Lea dan Harlan. Ketiganya hanya diam menikmati sarapan.

Tidak ada canda tawa berisik Lea bersama Nadya. Terasa sepi.

"Ayo, Pa, berangkat! Nanti pulangnya aku mau main sama Ibu Diva aja." Lea tersenyum pelan mendengar suara Nadya. Tak ada niatnya membalas seperti sebelumnya. Dia takut akan semakin membuat Nadya marah.

"Tante, aku maunya diantar Papa," tegas Nadya lagi. Lea mengangguk memberikan senyum manis pada putrinya. Raut wajah Nadya gemas menatap wajahnya. Lea ingat tingkahnya dulu, jika Harlan sedang marah, dia akan memancing kekesalan terus menerus. Sekarang Nadya sedang melakukannya.

"Ayo, Pa. Nenek aku berangkat." Nadya berjalan menarik tangan Harlan.

"Ma, aku berangkat." Ibu Nani hanya mengangguk bingung. Rasanya aneh saja situasi sarapan paginya hari ini.

"Dy, salam sama Mama dulu," tegur Harlan di depan mobil. Saat Nadya menarik tangannya keluar ruang makan, Lea memang ikut mengekori mereka. Membawa tas sekolah Nadya dalam diam. Lea juga tak lupa membawakan bekal untuk Nadya.

"Dy," titah Harlan tegas. Nadya cemberut menuruti perintan Harlan. Lea yang baru saja memasuki tas Nadya ke dalam mobil berlutut di depan Nadya. Memberikan senyum kasih sayang untuk putrinya yang masih memasang wajah masam menggemaskan.

"Tante nggak marah aku mau main sama Bu Diva?" pancing Nadya mencibir.

Lea menggeleng menahan senyum. "Mama nggak melarang Cantik mau main sama siapa. Asal Cantik bahagia, Mama tidak masalah." Lea menarik tubuh Nadya dalam pelukan.

"Haduh, jangan peluk-peluk! Rambut aku bisa berantakan." Lea menutup mata dan telingannya. Dia sedang menyerap kekuatan dari kehangatan Nadya. Semalam dia tak bisa mendapatkannya. Dan sekarang Lea butuh kehangatan ini. Sejenak saja.

"Cantik, jangan nakal di sekolah, yah."

"Iya," jawab Nadya asal. Nadya menahan wajah Lea yang ingin menciumnya.

"Eh, aku masih marah sama Tante. Nggak boleh cium!"

"Dy," tegur Harlan.

"Iya boleh." Nadya menunjuk pipi kanannya. Lea kembali senang melihat tingkah lucu Nadya. Lea mengecup pelan pipi Nadya. Sayang, pipi sebelah kiri dihalangi sengaja oleh tangan Nadya. Lea memaklumi. Anak kecil dan pola pikirnya berbeda. Harus ekstra sabar menghadapinya.

"Pa, nanti kita jalan, yah. Aku bosan di rumah." Lea mendengar suara Nadya saat memasuki mobil. Dia tidak menyambut pancingan suara itu. Lea takut, Nadya akan semakin marah dengannya.

"Aku berangkat, Lea." Harlan membuka kaca lebar dan melambaikan tangan. Lea hanya mengangguk lemah. Kenapa tanjakan yang dia hadapi semakin berat. Lagi-lagi Lea merasa tak pantas. Lihat saja! Tanpa dirinya, Nadya bisa hidup bersama Harlan.

***

Rujuk?
Jumat, 25 Agustus 2017
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top