17- Pecah
10 hari ke depan aku agak sibuk yah. Mau urus PO cerita Yasmin Arjuna.
Yg mau beli kisahnya Yasmin, bisa dibeli nanti di Gramedia ya . Let it Flow
***
Ada beberapa lagu yang selalu menemani aku menulis cerita ini. Salah satunya ini. Setiap buat kisah dari sudut pandang Lea, aku selalu dengerin lagunya Anggun- Mimpi.
"Dalam hitam, gelap malam. Ku berdiri melawan sepi.." Lea banget nggak,
sih? 😭
--
"Pasangan yang baik tidak akan meninggalkan pasangannya dalam keadaan apapun."
Catatan Movie : Cabin Fever - 2016.
***
"Bagus nggak, Nek?" pamer Nadya sambil berlenggak-lenggok di depan Ibu Nani yang sejak tadi ikut duduk di ruang televisi menemani Lea dan Nadya. Keduanya sibuk mencoba pakaian hasil buruan semalam.
"Nek, bagus, nggak?" tanya Nadya lagi.
"Nenek nggak mau jawab karena kamu tukang bolos sekolah." Nadya tak peduli sindirian sang nenek. Hatinya sedang bahagia. Hari ini Nadya berdemo untuk tidak sekolah. Berbagai alasan dia keluarkan. Mulai dari masih merasa pusing, mimpi buruk. Sampai alasan tidak betah mempunyai teman yang selalu meledeknya. Nadya melakukan aneka alibi. Dia sedang malas belajar. Lebih enak di rumah.
Rayuan Ibu Diva pun tak mempan. Harlan sampai memberikan ponselnya untuk diterima Nadya saat Ibu Diva menghubungi Harlan menanyakan kabar Nadya. Namun nihil. Rayuan Ibu Diva tak berhasil. Membuat Lea bersorak riang dari dalam hati.
"Bagus, kan, Nek?" Nadya menggoyangkan kacamata yang dia kenakan. Lea tertawa memperhatikan wajah tak bersahabat Ibu Nani. Sudah tahu kesal, masih saja ikut duduk bersama. Lea tahu, wanita tua itu kesepian di rumah.
"Kamu belikan dia aneka pakaian nggak jelas gini?"
"Sedang trend, Nek..." jawab Lea meniru panggilan Nadya. Ibu Nani memalingkan wajah. Ibu dan anak sama saja. Dan semakin hari mereka sengaja memperolok dirinya terang-terangan.
"Tau, nih. Nenek nggak gaul. Mukanya nggak zaman, sih.." cekikik Nadya lalu berjalan percaya diri bak model di atas panggung.
"Cantik," tegur Lea sambil menggeleng tak setuju. Nadya tetap harus menghormati neneknya.
"Papa kamu mana?" tanya Ibu Nani. Nadya menggeleng tak peduli.
"Harlan mana?" tanya Ibu Nani sinis bergantian ke arah Lea.
Mendengar nama Harlan disebut, wajah Lea memerah. Teringat semalam. Saat Nadya memberikan ide tidur satu kamar untuk mereka. Harlan hanya diam tidak menjawab. Sementara dirinya cukup sadar diri untuk segera keluar setelah Nadya tertidur.
Jika saat Nadya demam, dia memasang aksi nekat tidur tanpa diminta, semalam lain situasi. Rasanya asing jika dirinya bertingkah konyol dengan tujuan menarik perhatian. Tidak, Lea sudah berubah dari kata kekonyolan seperti saat dulu. Saat dirinya memaksakan diri bermanja dengan Harlan. Mungkin dulu karena kondisi kehamilan. Sekarang Lea telah berubah. Bahkan sebenarnya dia tidak berpengalaman.
Dan semalam, setelah menunggu Nadya tidur pulas. Lea pamit sopan kepada Harlan. Ucapan salamnya diangguki Harlan. Tanpa suara, tanpa basa-basi atau memaksa dirinya tidur di sana. Lea sendiri dibuat bingung. Harlan hanya diam.
Pengecut, cibir Lea dalam hati saat itu. Tapi setelah keluar kamar, tubuh Lea terhuyung karena tarikan tangan Harlan di belakangnya. Ternyata Harlan mengikutinya.
"Kalau mau tidur dengan kami, ayo!" Lea ingat ucapan itu. Membuat Lea merinding antara ingin tertawa dan aneh. Usia bertambah membuat Harlan semakin sulit merangkai kata yang benar. "Kita tidak akan bertindak intim, Lea. Hanya tidur bersama Nadya."
Lea semakin menggeleng mendengar ucapan Harlan. "Dasar aneh. Selamat Malam." Setelah itu Lea berjalan meninggalkan Harlan. Buru-buru dia menutup pintu. Takut dipaksa Harlan. Bukan menyombongkan diri, tapi Lea harus berjaga-jaga. Sifat Harlan mulai dia sadari suka bertindak mengejutkan. Seperti sebelumnya di dalam mobil, merangkul tubuhnya untuk berselfie ria. Lea juga harus ingat, dulu, kesalahan pernah terjadi karena keadaan mendadak mereka berdua yang penasaran.
Tidak, Lea tidak mau terulang kembali tanpa status yang jelas.
"Kalian enak sekali dibelikan baju-baju baru. Harlan keterlaluan," gerutu Ibu Nani yang semakin kesal karena Lea juga memakai pakaian baru. Ibu Nani tidak bodoh untuk tidak menyadari pakaian baru Lea. Terlihat bagus dan tidak seperti yang Lea pakai biasanya.
"Nenek nggak dibelikan?" tanya Nadya polos. Ibu Nani memalingkan wajah. Menyaksikan acara kuis di televisi lebih menyenangakan daripada setelah ini mendapat tawa meledek Nadya atau pun Lea.
Lea hanya diam menahan tawa. Dia sudah hafal cara marah mantan mertua, mulut pedasnya sudah bisa dia atasi dengan baik. Lea kembali mengingat kejadian semalam. Saat sudah aman di kamar, tiba-tiba suara ketika pintu terdengar pelan.
Awalnya Lea takut itu Harlan yang kembali ingin mengundangnya tidur bersama. Tapi ketakukan tak berasalannya harus dia tahan. Dengan wajah super tenang, Lea membuka pintu.
Sosok tegap Harlan berdiri di sana. Sedang sibuk memegang aneka kantong baju belanjaan. Harlan lansung masuk tanpa dipersilahkan. Lea bisa apa, itu memang kamarnya juga, kan?
"Ini punya kamu, dan ini milik Nadya. Kamu saja yang berikan besok. Aku besok berangkat pagi." Harlan meletakan semuanya di atas tempat tidur. Lalu berlalu tenang meninggalkan kamar.
"Kak, ini punya Mama. Tadi aku lihat pasmina ini dan aku beli juga, cocok buat Mama."
"Kamu kasih aja sendiri. Kan, kamu yang beliin."
"Yah, jangan aku, deh. Dia pasti nggak akan terima. Lagian, bukan aku yang beliin. Kan, pake duit Kakak."
"Tapi kamu yang punya niat kasih. Udah, besok kasih ke tangan dia langsung."
"Heh, kenapa malah bengong? Anak kamu itu ganggu mata saya nonton," tegur Ibu Nani yang tak suka melihat Lea diam sambil tersenyum malu. Lea lalu berdiri untuk mengambil satu bungkusan untuk Ibu Nani.
"Ini, Kak Harlan titip buat Mama," ucap Lea sambil menyodorkan bungkusan ke tangan Ibu Nani.
"Apa ini?"
"Hadiah, lah. Masa iya bom." Ibu Nani merampas dengan cepat. Membukanya. Lalu melirik ke arah Lea curiga.
"Benar Harlan yang memilihkan warna ini untuk saya?" Lea mengangguk saja.
"Nggak biasanya dia tahu warna kesukaan saya," jujur Ibu Nani tanpa sadar. Ibu Nani memakai pasmina itu di sekitar lehernya. Lea melihat ada secercah senyum di sana. Sejak tadi mungkin dia iri karena tak mendapatkan hadiah.
"Nah, yang itu dari aku," tunjuk Lea takut-takut. Ibu Nani membuka kotak pipih itu. Menatap bingung pada sebuah penampakan kotak pipih yang sepertinya asing baginya..
"Apa ini?" tanya Ibu Nani kesal.
"Itu kotak obat. Dirancang khusus untuk pemakaian satu minggu. Bahkan dipisah waktunya."
"Kamu mau doakan saya konsumsi obat selamanya?" Lea dengan berani duduk di samping Ibu Nani. "Sumpahin saya penyakitan?"
"Yee, dipermudah dengan ini malah buruk sangka. Nanti kalau lupa minum obat yang mana bisa kacau. Ini praktis untuk lansia."
"Saya belum pikun," sergah Ibu Nani keras.
"Siapa tahu lupa. Siapa tahu," ledek Lea terkikik. "Mana plastik obatnya? Biar aku rapikan." Ibu Nani masih melirik sinis Lea.
"Aku berani tanggung jawab, kotak ini bermanfaat." Lea mengacungkan jempol. Ibu Nani lalu melirik arah Nadya yang masih sibuk memasang pose angkuhnya di depan kaca. Mendadak Nadya ingin menjadi model majalah.
"Nadya! Ke kamar Nenek. Di samping nakas ada plastik warna putih. Cepat ambilkan!" suruh Ibu Nani tegas. Nadya masih sibuk memainkan kaca mata sambil memanyunkan bibirnya. Pose wajib setiap berselfie.
"Biar aku saja," tawar Lea berdiri.
"Nadya!!!" bentak Ibu Nani yang kesal perintahnya dihiraukan Nadya.
"Kalau bicaranya baik-baik Nadya pasti mau, Nek," jelas Lea terang-terangan menyindir.
"Cantik, ambilkan plastik obat Nenek di kamarnya. Di samping nakas. Ayo!"
"Suruh Nenek yang ngomong!" balas Nadya. Lea menahan tawa mendengar permintaan Nadya. Apalagi Nadya masih memilih menatap tampilan di cermin.
"Nenek tadi minta apa?" sambung Lea agar situasi tak semakin memanas. Khawatir Ibu Nani kembali murka. Lea mengedipkan matanya ke arah Ibu Nani. Aura geram Ibu Nani perlahan berangsur mereda. Lelah juga marah-marah.
"Di nakas. Ayo ambilkan, Nadya!" ucap Ibu Nani pelan menahan kekesalan.
"Ucapin minta tolong, dong!" tantang Nadya lucu. Setelah memakai kostum keren, menambah rasa percaya diri Nadya, pikir Lea tertawa dalam hati.
"Nenek minta tolong," ucap Ibu Nani cepat. Dia sendiri juga bingung kenapa mau diperintah konyol seperti ini.
Nadya tersenyum sambil mengangguk. "Mbak Nisaaaaa ambilkan plastik obat Nenek," teriak Nadya seenaknya. Belum sempat Ibu Nani menyemburkan kekesalan, Lea menggiring Nadya menuju kamar Ibu Nani.
"Dasar malas, disuruh Nenek malah suruh orang balik." Lea menjawil telinga Nadya sambil memasuki kamar Ibu Nani. Lea menunggu di depan pintu, Nadya masuk ke dalam mengambil plastik putih.
Lea melirik samar arah Ibu Nani duduk yang masih bisa dia lihat dari pandangan. Masih menggerutu, tapi terus memegang pasmina dan kotak obat yang dibelinya. Dia tahu, dibalik sikap angkuh dan kata-kata pedas, Lea yakin Ibu Nani suka pemberiannya.
"Ini, Tante." Nadya menyodorkan plastik putih kepada Lea.
"Kasih ke Nenek." Nadya mengeluh malas. Lea menggeleng, tahu ide Nadya yang ingin berteriak meminta bantuan.
"Kasih langsung ke tangan Nenek."
"Nanti dimarahin," keluh Nadya.
"Kamu sendiri yang meledek awalnya. Nenek baik sebenarnya, nggak ingat semalam kamu diusapin tidur sama Nenek?" Nadya cemberut lucu sambil melangkah mendekati Ibu Nani.
"Ini, Nek!" Nadya meletakan di samping Ibu Nani.
"Sini, aku bantu buka. Kasih tahu aja obat mana aja yang harus dimasukan." Lea mengambil kotak obat dan plastik tanpa persetujuan Ibu Nani. Beruntung Ibu Nani hanya diam.
"Ini obat darah tinggi. Ini diabetes." Lea mengangguk mendengar penjelasan Ibu Nani.
"Eh, tapi ini belum dicuci. Sebentar, aku cuci pakai air hangat dulu, yah."
"Huk, cepat sana!" Lagi-lagi Lea tersenyum mendengar gerutuan Ibu Nani. Dia melangkah ke dapur meninggalkan Ibu Nani dan Nadya berdua.
"Nek, fotoin dari handphone, dong!" Nadya menyodorkan ponsel milik Lea kepada Ibu Nani.
"Nggak bisa. Nenek nggak ngerti."
"Ah, nggak gaul. Sini aku ajarin!"
"Nggak mau, ah."
"Ayo, Nek. Nanti aku fotoin balik, deh. Aku edit mukanya biar nggak keriput."
"Emang bisa?"
"Bisa, Nek. Makanya gaul, dong!"
***
"Sedang apa?" tegur Harlan pelan sambil langsung duduk di samping Lea yang sedang menikmati suasana malam di taman sendiri. Nadya sudah tertidur, Ibu Nani juga sudah masuk kamar.
Harlan yang belum pulang, sepertinya hari ini sibuk dengan urusan pekerjaan. Lea memaklumi. Lagipula kualitas kebersamaan bersama Nadya dan Ibu Nani bisa semakin berhasil.
"Baru pulang?" tanya Lea. Harlan mengangguk. Bersandar di bangku sambil membuka kancing kemeja bagian atas.
"Sudah makan?" tanya Lea masih sibuk dengan layar ponselnya. "Sudah."
"Oke," jawab Lea seadanya.
"Aku ganggu?" Harlan tahu sejak tadi, Lea sibuk dengan ponselnya. Hari ini pasti Lea banyak mendapatkan foto Nadya dengan berbagai gaya.
Lea menyodorkan ponselnya untuk dilihat Harlan. "Lihat, nih!"
Lea terkikik saat mata Harlan melebar tak percaya.
"Ini Mama sama Dy?" tanya Harlan ragu. Di layar itu terlihat sang mama sedang ikut berpose selfie bersama Lea dan Nadya. Walaupun wajahnya terlihat masam dan tak nyaman, tetapi tetap saja sadar kamera.
"Hari ini pasti ramai di rumah," ucap Harlan menggulirkan layar. Banyak sekali pose Nadya. Cantik dan terlihat bahagia. Satu hal yang harus diakui Harlan, sejak kedatangan Lea, Nadya semakin terawat. Berubah dalam segi cara mendidik. Putrinya memang butuh sosok Lea dalam menjalani hidup.
Lea tak bohong menggunakan waktu sebaik-baiknya. Lea bahkan benar-benar tak pergi keluar rumah walau sekedar mengajar les renang.
"Kamu nggak ke tempat les renang?"
"Cuti dulu, sampai waktu keputusan yang Kakak berikan selesai." Harlan langsung menoleh, menyerahkan kembali ponsel Lea dan fokus mendengarkan ucapan Lea.
"Maksud kamu? Nanti kalau kita kembali bersama, kamu tetap kerja?"
"Emang Kakak udah setuju kita rujuk?" tanya Lea dengan wajah bahagia. Menghadap antusias Harlan tanpa malu. Harlan diam memperhatikan wajah Lea.
"Aku mau ketemu sama Ayah dan Ibu kamu," ucap Harlan cepat. Seketika Lea memalingkan wajah. Menatap asal layar ponsel. Hanya menghidupkan tanpa tahu ingin bertindak apa. Harlan merampas kembali ponsel Lea dan dengan berani menarik pundak Lea agar sejajar saling berhadapan.
"Jangan mengalihkan lagi! Sejak kemarin aku diam tapi tidak bodoh. Ada apa sama kamu dan orangtua kamu? Apa mereka masih belum menerima kamu?" tanya Harlan langsung.
Lea berusaha memalingkan wajah. Harlan tetap memaksa. Menahan dengan tangan wajah Lea. "Jangan mengelak, Lea!"
"Nggak, Kak. Aku hanya belum bisa membuat mereka tersenyum." Akhirnya Lea bersuara, Harlan mendengar nada lemah Lea. Berarti sejak dulu Lea masih tak diterima?
"Lalu kamu tinggal sama siapa selama ini?"
"Om aku, adiknya Papa." Harlan kembali mengangguk.
"Mau aku antarkan?"
"Kemana?"
"Bertemu mereka. Ayah dan Ibu kamu."
"Memangnya Kakak sudah setuju kita rujuk?" Kali ini nada suara Lea terdengar menyindir. Harlan tahu, Lea terpancing karena dipaksa membahas perihal kedua orangtuanya. Semakin membuat Harlan penasaran.
"Rujuk atau tidak, kamu harus kembali menemui mereka." Lea menghela napas geram. Harlan tahu, Lea sedikit mengusap pelupuk matanya. Mengatur napas tak beraturan untuk menghalau air mata. Lea bahkan menepuk dadanya berkali-kali.
"Nanti saja, Kak. Kalau Kakak serius mau rujuk, aku akan minta Kakak menemani untuk bertemu dengan mereka."
"Kenapa tidak sekarang? Aku yakin saat mereka melihat Dy, mungkin saja luluh. Walaupun selama ini mereka juga tidak berniat mencari Dy."
"Kakak juga tidak mencari aku. Sama aja, kan?" sindir Lea yang sepertinya tak terima nada sarkarme yang dilontarkan Harlan untuk kedua orangtuanya.
"Kamu sendiri juga sama. Lupa yang minta cerai siapa?" Harlan juga ikut tersulut.
Lea menggigit bibirnya. "Aku sudah bilang, ucapan Kakak untuk mantan kekasih membuat aku terhina." Lea beranjak pergi meninggalkan Harlan. Rasa pilunya belum bisa sembuh jika membahas kedua orangtua, dan Harlan menambahinya dengan mengingat perihal malam berkesan yang sangat menyakitkan.
"Lea tunggu!" tahan Harlan di atas tangga dekat kamar mereka masing-masing. Lea tetap berjalan. Harlan menghalangi jalan Lea.
"Aku minta maaf kalau saat itu menyebut nama Yasmin. Aku khilaf," ucap Harlan menunduk.
"Tolong mengerti, saat itu aku sedang kacau." Harlan mendekatkan jarak mereka. Menarik kedua tangan Lea dalam genggaman.
"Yasmin masa lalu aku, Lea." Lea geram mendengar alasan itu lagi. Dia juga termasuk masalalu Harlan. Tapi sungguh berbeda posisi di hati Harlan. Dia hanya sebuah keterpaksaan Harlan.
"Aku tahu, dia tak lebih dari wanita jahat yang sudah ninggalin Kakak bersama calon buah hati kalian. Lebih baik aku, Kak. Bertahan walau berat menahan semua beban yang tak siap aku tanggung," jelas Lea sinis.
"Tapi dia tidak murahan. Kami sama-sama jatuh cinta. Ingat, malam itu kamu yang memancing?"
Plak.
Dengan kesadaran penuh, Lea menampar pipi kanan Harlan. Lea mundur satu langkah untuk bisa melihat reaksi Harlan.
"Semua perbuatan ada karmanya. Termasuk kenakalan kita saat dulu. Kita dihukum dengan cara yang berbeda. Jangan hina aku terus, Kak. Kalau tidak mau rujuk, jangan berikan aku harapan, jika Kakak hanya akan membuat aku melayang." Lea bergetar saat mengatakan itu.
"Baik, ayo kita rujuk! Biar kamu puas. Ayo!" Harlan mendekat dan menarik wajah Lea untuk menyatukan bibir mereka. Semudah itukah Harlan berjuang untuk mendapatkan kembali dirinya? Ingat, Lea! Kamu yang meminta rujuk.
Plak.
Lea kembali menampar Harlan. Deru napasnya benar-benar tak bisa dia atur sempurna. Mungkin Harlan benar, dia murahan. Meminta cerai, pergi, lalu kembali untuk meminta rujuk? Pantas hatinya mudah dipermainkan.
Harlan memegang perih pipinya yang sudah dua kali ditampar Lea. Dia bukan pria bodoh yang akan membalas tamparan dari seorang wanita. Tidak akan pernah terjadi. Harlan lebih memilih menahan segala emosi dalam diam. Toh, dia juga bersalah karena menyambut emosi Lea yang tersulut. Bodoh kau, Harlan. Kenapa bisa lepas kendali.
"Papaaaaa," Baik Harlan dan Lea terkejut melihat sosok Nadya sudah berdiri di luar pintu kamar. Nadya berlari ke arah Harlan. Entah sejak kapan.
"Tante kenapa jahat sama Papa aku?" teriak Nadya emosi. Lea menatap tangannya linglung. Dia sudah dua kali menampar Harlan.
"Aku benci Tanteee..." Mendengar itu membuat Lea menggigit bibirnya takut. Panik mendera. Ketakutan terbesarnya adalah mendapat penolakan kembali Nadya.
"Cantik," ucap Lea mendekati Nadya.
"Jangan dekat-dekat! Aku benci Tante." Lea menggeleng frustasi.
"Dy, tidur, yah! Nanti Papa susul. Dy nggak boleh bicara kayak gitu sama Mama." Harlan berlutut menerima pelukan Nadya.
"Nggak mau, Dy mau Papa ikut ke kamar. Nanti Papa dijahatin lagi sama Tante," rajuk Nadya memelas. Bahkan siap menangis.
Lea tak bisa mengambil kesempatan untuk situasi saat ini. Panik untuk mendekati Nadya akan membuat dirinya ditolak. Dan melarikan diri ke dalam kamar adalah jawaban terlintas di isi kepala.
"Aku nggak mau temenan sama Tante lagi." Lea dengar suara itu. Itu suara Nadya.
"Huush, nggak boleh ngomong begitu."
"Tapi dia tampar Papa."
"Karena Papa nakal."
"Aku suka nakal, tapi Papa nggak pernah tampar aku." Lea luruh di lantai kamar. Duduk bersandar di daun pintu sambil memegang kedua jari tangan gemetaran.
"Anak kurang ajar. Mempermalukan nama baik keluarga."
"Jangan pulang sampai kamu melahirkan."
"Ibu pesan kamu jaga kandungan, yah. Ibu mau pergi melihat kamu, tapi takut Ayah marah lagi."
"Iya, Lea, Kakak akan turuti permintaan kamu untuk bercerai."
"Dasar nggak punya malu. Kasihan anak saya, selalu dikelilingi wanita nggak benar."
"Tapi dia tidak murahan."
"Aku benci Tanteee."
Lea menggeleng, menutup kedua telinganya kasar. Menangis sendiri seperti biasa. Bahkan sebenarnya Lea sudah bosan berteman dengan cairan bening sialan ini. Selalu menyakitkan tapi hanya mereka yang setia menemani. Lea bisa apa?
Rujuk?
Kamis, 24 Agustus 2017
Mounalizza
Tarik napass... ayo bawa batu buat timpukin Harlan. Kalau vote dan komen memuaskan aku akan cepat update.. ok
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top