10- Pilihan Hati
"Tembaklah setinggi bulan. Jika kau gagal, kau akan mendarat di antara bintang-bintang."
Catatan Movie : P.S I Love You - 2007
***
Kilasan masa lalu.
"Kenapa nggak makan dari siang? Mbak bilang kamu nggak mau makan?" Harlan langsung menegur Lea saat membuka pintu kamar, dan penampakan Lea sedang duduk bersandar di tempat tidur menjadi sambutan.
Harlan mendekati Lea. Istrinya itu masih saja tak memedulikan kehadiran, serta pertanyaan darinya. Lea memilih menyaksikan acara di layar televisi.
"Lea," panggil Harlan duduk di sampingnya. Merecoki Lea yang tetap ingin menyaksikan acara di televisi. "Kamu mau sakit? Ingat anak di dalam perut, Lea." Harlan tak bisa menahan diri. Lea selalu bersikap manja. Tak pernah berpikir dewasa.
"Tau, ah," gerutu Lea berusaha berdiri dan melangkah ke dalam kamar mandi. Harlan mendesah kesal. Dia langsung merebahkan diri di tempat tidur. Seharian ini dia merasakan kejenuhan mengurusi semuanya, lalu saat pulang, kabar Lea yang tak keluar kamar menjadi penutup indah di hidupnya hari ini.
Semua seperti sengaja membuat isi kepala Harlan meledak.
"Lea, ayo makan!" Harlan tak bisa berdiam diri saja. Dia harus bisa menahan rasa kesal. Biar bagaimanapun, Lea sedang berbadan dua.
Harlan kembali duduk, melihat sekitar ruangan. Dan matanya langsung dikejutkan dengan beberapa lembar foto yang tergeletak di nakas sebelahnya. Sejak masuk ke dalam kamar, Harlan memang tak melihat keadaan sekitar. Fokusnya langsung menatap Lea.
Harlan mengerutkan keningnya sambil memegang satu lembar foto. Bersamaan dengan itu, Lea keluar dari dalam kamar mandi. Mata mereka saling menatap.
"Dari mana kamu dapat foto ini?" tegur Harlan langsung. Wajahnya semakin memperlihatkan emosi. Dia tak suka barang pribadi miliknya digeledah seenaknya oleh Lea.
"Lea?!" tegur Harlan sedikit meninggi.
"Dari laci. Lucu aja lihatnya. Udah nikah tapi masih simpan foto wanita lain," sindir Lea tak peduli.
"Kita nikah hanya sementara." Harlan harus mengingatkan Lea tentang status mereka.
"Iya-iya setelah bayi ini lahir, kita pisah," sembur Lea. "Tapi setidaknya tahan dulu. Bikin aku tambah mual aja." Lea memalingkan wajah. Rasanya aneh saat mendapati foto-foto seorang wanita cantik di dalam kamarnya sendiri.
"Kamu sendiri yang mau Lea berpisah, jangan salahkan keadaan." Harlan juga tak bisa membendung suara hatinya.
Lea mengangguk, dan langsung pergi dari kamar. Rasanya benar-benar mual, saat Harlan terang-terangan merapikan foto-foto itu lagi, lalu meletakan ke dalam laci milik Harlan semula. Tadi, Lea juga melihat beberapa foto mereka berdua. Terlihat mesra dan serasi. Di belakangnya ada goresan pena. Bertuliskan, Harlan dan Yasmin. Love Forever.
Lea langsung mendatangi area taman di rumah itu. Duduk di sana sambil menatap langit yang sudah mulai gelap. Redup seperti hatinya.
"Dasar egois, nggak tahu diri," gerutu Lea sendiri.
"Sadar kamu nggak tahu diri?" Lea tahu, itu suara ibu mertuanya. Dari jauh saja sudah menggelegar. Lea mau diam kali ini. Rasanya keinginan untuk membalas tak mau dia lakukan. Tidak selera.
"Kamu dan Yasmin sama saja. Bisanya buat anak saya kebingungan. Apalagi kamu, nyusahin." Lea menutup telinganya. Dia bisa muntah di tempat kalau masih mendengar kicauan ibu mertua.
"Mama," tegur Harlan.
"Apa? Mau bela? Dia dan Yasmin sama saja."
"Jangan bawa-bawa Yasmin. Dia berbeda."
"Ah, kamu memang bodoh Harlan. Sudah ditinggalkan seenaknya oleh Yasmin, sekarang masih bela. Ingat karena patah hati lama, kamu jadi terjebak sama wanita nggak jelas macam Lea."
"Ma," tegur Harlan. Lea yang mendengar semuanya hanya bisa menutup telinga. Dia benar-benar sedang tak selera membalas. Mendapati foto wanita cantik di dalam kamar membuat nyalinya menciut seketika. Dia merasa cemburu.
"Lea, ayo makan," suruh Harlan yang sudah duduk di samping Lea. Menarik tangan Lea yan sedang menutupi telinga. Lea menuruti, melirik ke arah dalam rumah. Ternyata sang ibu mertua sudah masuk ke dalam. Tak terlihat. Dia bisa bernapas lega. Satu pengacau menghilang dari pandangan.
"Ayo makan!" ajak Harlan lagi.
"Yasmin itu pacar Kakak?" tanya Lea tak peduli dengan ajakan Harlan. Dia mau tahu kisah cinta suaminya. Padahal dia tahu, wajah suaminya sejak tadi tak bisa diajak bicara. Terlihat kacau. Seperti menanggung beban. Terserah, Lea tak peduli.
"Ayo makan!" Harlan juga sama tak peduli dengan pertanyaan Lea. Dia tak mau menjawab.
"Kalau dia pacar Kakak, kenapa Kakak menghamili aku? Nikah aja sama dia!" Harlan mengepalkan tangannya. Dia tak pernah mau membahas kisah cintanya yang kacau. Sakit hatinya masih belum bisa terbayar lunas.
"Apa dia ninggalin Kakak?"
"Jangan ikut campur. Yasmin tetap ada di hati Kakak, walaupun sekarang Kakak menikah sama kamu." Lea menggigit bibirnya. Rasanya sakit mendengar ucapan itu. Dia benar-benar cemburu.
"Aku cemburu!" teriak Lea. "Sekarang aku istri Kakak. Jadi jangan bahas wanita lain atau membawa wanita lain sekalipun itu hanya foto di kamar!" bentak Lea tak sadar.
"Kamu sementara Lea, sedangkan Yasmin selamanya di hati aku. Cinta aku hanya untuk Yasmin. Ingat itu!" Setelah mengatakan itu langsung Harlan bangkit. Tak mau meluapkan segala macam kekecewaan terhadap Lea.
"Aku suruh Mbak ambilkan makanan! Harus kamu makan. Kalau tidak aku yang akan memaksa." Harlan sempat berhenti untuk kembali memberikan ultimatum pada Lea.
Lea memalingkan wajah. Tak peduli mendengar bentakan Harlan yang sebelumnya tak pernah dia dapati. Satu hal yang baru bisa dia ketahui, suaminya memendam rasa cinta mendalam. Sangat terlihat, dan dia merasa tersingkirkan. Tapi memang sejak awal dia tak pernah ada di kisah suaminya. Hanya hadir terpaksa karena kesalahan.
"Pokoknya aku mau cerai. Aku nggak mau hidup sama Kakak!" teriak Lea ke arah Harlan yang masih belum terlalu jauh pergi.
"Permintaan kamu dikabulkan Lea, nanti setelah lahiran." Harlan masih meladeni kemarahan Lea.
"Aku benci kamu, aku benci mengandung anak kamu." Tangan Lea langsung berhenti saat ingin memukul bagian perutnya. Dia terlalu emosi.
"Kamu kapan cepat keluarnya, sih? Ganggu jalan cerita hidup aku aja!" gerutu Lea sambil mengelus cepat perutnya.
Lama diam di taman, Lea akhirnya tak kuat juga. Sambil berjalan malas, Lea kembali lagi masuk ke dalam kamar. Dan pemandangan suaminya sedang telentang di tempat tidur membuat Lea terdiam. Apalagi suaminya memijat malas keningnya sendiri. Pasti suaminya banyak masalah. Lalu dia menambahi masalah hanya karena melihat foto dan tak mau makan.
Bodoh kamu, Lea. Ejek batin Lea sendiri.
Lea menggigit bibirnya sendiri. Entah dorongan darimana, Lea mendekati tempat tidur. Duduk pelan dan memperhatikan wajah lelah suaminya. Baru tadi suaminya meluapkan sedikit isi hatinya.
Lea menunduk dan menarik tangan Harlan yang sedang memijat kening. Dengan berani Lea mengecup kening itu lembut. Walaupun dia memasang wajah kesal, tapi Lea tetap melakukannya.
Harlan terkejut dengan tindakan Lea. Dalam jarak sangat dekat, mereka beradu tatapan. Harlan sendiri masih kesal dengan keadaan. Apalagi Lea menyinggung masalah foto wanita pujaannya. Dan sekarang Lea bertingkah nekat mengecup keningnya? Emosi Lea memang mudah naik turun.
"Aku lapar, makan di luar, yah!" ajak Lea manja. Mau tak mau segala kekesalan yang masih Harlan rasakan sirna. Apalagi kecupan dari bibir Lea yang lembut. Lambat laun menjadi pereda rasa kecewa.
"Yuk, aku lapar," ajak Lea sekali lagi sambil mengecup pipi Harlan tak malu.
Harlan duduk tegap, begitu juga Lea. "Ayo, kamu mau makan apa?" ajak Harlan mengalah, melupakan pertengkaran sebelumnya.
"Mau Soto Banjar." Harlan mengangguk dan menarik pelan tangan Lea.
"Ayo kita pergi." Lea tersenyum bahagia. Apalagi genggaman tangan suaminya sangat erat. Rasanya hangat. Lupakan emosi sebelumnya. Biar waktu yang memberikan keputusan.
***
Saat ini.
"Hei, sedang apa? Nadya sudah tidur?" tanya Lea menghampiri Harlan yang sedang duduk di bangku taman.
"Darimana saja kamu? Bilangnya cuma sampai sore, tapi dari kemarin kamu selalu pulang jam segini?" tegur Harlan pedas. Lea melirik jam di tangannya. Sudah pukul sembilan malam. Dia bersalah. Lagi-lagi lalai menepati janji.
"Iya, maaf," maaf Lea pada Harlan.
"Dy nanyain kamu terus." Mendengar ucapan Harlan yang mulai mereda kesalnya, Lea berani duduk di sampingnya.
"Kalau nggak siap, jangan memberi harapan sama Nadya. Anak kecil itu mudah dirayu. Tapi mudah juga sakit hati." Lea mengangguk setuju. Di antara dia dan Harlan, mungkin Harlan lebih berpengalaman mengenal sifat Nadya.
"Tadi dia mau tidur cariin kamu. Katanya kamu janjikan dia buat slime." Harlan menatap arah depannya. Jika dia menoleh, wajah Lea akan merecoki isi kepalanya.
"Iya, maaf. Aku ada keperluan mendadak. Maaf, yah, tiga hari ini aku lalai. Tapi besok udah nggak. Kan, cuma tiga hari seminggu aku kerjanya." Lea bisa bernapas lega. Besok waktunya seharian untuk Nadya.
Harlan memang sudah memberikan izin pada Lea untuk mengurus Nadya lebih banyak. Dari pagi, Lea mengurus kebutuhan Nadya sampai mengantarkan Nadya ke sekolah dengan sopir. Memandikan Nadya, sampai membantu Nadya belajar. Semua diambil alih Lea. Hanya saja, Harlan melarang Lea ikut sibuk di dapur. Memerintah saja, tapi tidak membantu asisten rumah tangga. Selain karena teguran keras sang mama, Harlan juga tahu Lea tak pandai memasak di dapur.
Lea mampu menguasai, walaupun terkadang Lea dan Nadya sering adu mulut, tetapi masih dalam batas wajar. Harlan bahkan melihat begitulah cara mereka berkomunikasi. Manja dengan saling meledek. Sampai detik ini, Nadya masih tetap memanggil Lea dengan panggilan 'Tante'. Lea tak masalah.
"Kakak sudah makan?" tanya Lea memecah keheningan. Harlan menggeleng.
"Mau aku buatkan makanan?" Lea terkikik sendiri menawarkan hal yang tentu saja akan ditolak. Harlan hanya melirik malas Lea.
"Dulu, Kakak selalu memaksa aku makan. Dan aku akan datang ke sini kalau sedang jenuh. Sedang kesepian lebih tepatnya." Mereka menatap langit gelap dengan pikiran berkelana ke masa lalu. Waktu begitu cepat berlalu dan hubungan mereka masih belum jelas.
Lea memejamkan mata sejenak. Mungkin sampai detik ini, kedudukan dia di hati Harlan tidak akan bisa menang. Lea tahu, mantan suaminya mencintai kekasih pujaan.
"Kak, Si Melati apa kabar?" tanya Lea asal. Dia penasaran, tapi tak peduli dengan tanggapan Harlan setelah ini. Sungguh, jika Harlan marah pun dia tak peduli. Dia hanya ingin bertanya yang mengganjal di hati.
"Melati?" tanya Harlan bingung.
"Iya, mantan Kakak dulu. Yang fotonya selalu ada di laci Kakak. Dia apa kabar?" Harlan hanya menatap Lea bingung. Apa maksudnya bertanya? Harlan tidak mau terpancing marah. Dulu, Lea selalu memancing kemarahan dengan membuka cerita mantan kekasihnya. Membuat Harlan ingin menyumpal mulut Lea. Dulu, Harlan tak terima mantan kekasihnya dijadikan bahan alasan untuk mereka berpisah.
Sejak awal ide perceraian datang dari Lea, bukan darinya. Bahkan Lea tak berniat mau mengurus putrinya. Sejak awal, dia sendiri yang sudah memperlihatkan rasa cinta pada calon buah hati. Lea tidak. Lea masih labil dan egois terhadap hidupnya sendiri.
"Maksud kamu Yasmin?" jawab Harlan. Lea mengangguk tenang. Dia tak takut akan mendapat semburan kemarahan Harlan.
"Nggak usah dijawab juga nggak masalah. Aku hanya iseng bertanya. Mau lihat reaksi Kakak marah atau nggak." Lea tersenyum jujur. Sementara Harlan geleng kepala. Bersyukur dia tidak terpancing. Tapi memang dia tidak akan terpancing. Semenjak melihat mantan kekasihnya sudah memiliki keluarga, secara sadar posisi itu sudah hilang di hati. Sebenarnya sudah hilang lama. Harlan sendiri bingung, di hatinya sejak kelahiran Nadya terselip satu nama.
Nama seseorang yang berjanji akan pulang.
Dan sosok mantan kekasih hanya menjadi penyesalan yang harus dikubur.
"Dia sudah menikah." Lea sampai tak percaya mendengar suara Harlan pelan. Harlan sedang mengajaknya saling bercerita.
"Dia sudah menikah dan berbahagia dengan keluarga kecilnya." Lea memiringkan tubuhnya. Dia mau melihat wajah Harlan. Wajah Harlan tak terlihat kecewa, tapi jelas tahu itu tatapan kosong.
Jika dipikir, Harlan juga sama menanggung beban seperti dirinya. Harlan rela tak menikmati masa mudanya dengan bebas. Dengan kata lain, terikat dini karena tanggung jawab. Apalagi saat itu Harlan sudah memiliki pilihan hati. Bukan dirinya. Pasti lebih tersiksa.
"Kakak nggak cari pendamping selama ini?" Harlan tertawa remeh.
"Tidak sempat, Lea." Lea ikut tertawa lemah.
Harlan memijat keningnya pelan. "Semuanya terasa berat, tapi Nadya membuat segala menjadi mudah untuk aku jalani." Lea terus memperhatikan gerak geril Harlan.
Kalau dulu mungkin Lea akan nekat mengecup pipi atau kening Harlan. Tapi sekarang rasanya dia malu. Tak pantas juga.
Lea langsung menatap seperti semula. Langit gelap tanpa bintang. Cuaca sedikit mendung.
"Kamu sudah selesai kuliah?" tanya Harlan hati-hati.
"Aku nggak kuliah," cicit Lea pelan.
"Kenapa nggak kuliah? Bukankah kamu mau menyelesaikan kuliah?"
"Kak, Nadya kapan boleh tidur sama aku?" potong Lea cepat. Harlan sadar, mungkin Lea tak mau membahas masalah itu. Lea masih misterius. Dan Harlan tak tahu memulai darimana untuk menggalinya.
"Kamu tanyakan saja langsung. Aku tidur dulu. Sudah malam." Harlan langsung berdiri. Berjalan meninggalkan Lea sendiri.
Lea sendiri kembali menatap langit gelap. Tempat ini penuh kilasan memori baginya.
Lama berdiam diri, suara ponselnya berbunyi. Lea langsung duduk tegak ingin mengangkat panggilan.
"Halo, gimana? Gue udah kumpulin duitnya." Lea berdiri sambil masuk ke dalam. Keadaan sudah sepi. Mungkin mantan ibu mertuanya sudah tidur pulas sambil mimpi indah.
"Yah, gimana, sih! Percuma gue lembur sambilan buat dapat duit. Gue mau beli ponsel itu. Minimal bisa buat foto." Lea melangkah pelan menaiki tangga.
"Ya udah, gue beli aja yang rada mendingan, tapi minggu depan. Thanks, yah."
Lea menutup panggilan. Wajahnya mengerucut kesal. "Susah amat mau foto berdua sama Nadya. Kalau beli ponsel yang itu kualitasnya kurang bagus." Lea sempat diam di tengah perjalanan ke atas. Dia merogoh saku celana. Ada lipatan lembaran brosur jenis ponsel.
"Yang kayak Kak Harlan mahal banget." Lea mencibir membaca info harga. "Mentang-mentang punya duit. Ponsel aja yang paling mahal," cibir Lea sendiri.
"Semangat, Lea." Lea kembali melangkah lambat ke atas sambil menggerutu tak jelas.
Harlan yang masih berada di dapur mendengar suara Lea. Perihal alasan Lea pulang terlambat dan berniat membeli ponsel sendiri. Semua didengar Harlan.
Harlan memegang ponselnya. Dibanding dengan milik Lea, ponselnya memang keluaran terbaru. Sedangkan Lea?
"Bilang kalau mau dibelikan, malah diam. Kayak bukan Lea yang nyusahin," ucap Harlan saat melewati Lea di tangga.
"Hah?" tanya Lea kaget. Dia pikir Harlan sudah masuk ke dalam kamar.
"Besok kita ke Mall. Beli ponsel."
"Hah?" tanya Lea lagi.
"Tidur sana! Berisik malam-malam," ucap Harlan sebelum menutup pintu kamar.
"Beli ponsel? Beli ponsel?" Wajah Lea langsung berubah ceria.
"Dari kemarin, kek. Udah capek gini baru sadar kalau aku butuh ponsel baru." Lea meregangkan kedua tangannya. Tiga hari ini dia lelah sekali mencari tambahan tabungan.
"Yes, bisa foto-foto sama Nadya. Mungkin juga sama Kak Harlan. Yeay," ucap Lea riang langsung masuk ke dalam kamar.
***
Rujuk?
Selasa, 08 Agustus 2017
Mounalizza
Yeay, 1 Februari 2022.. Awal baru terus melangkah ..
Yang mau tahu kabar mantan Papa Harlan.
Mbak Yasmin kabarnya gimana?
Yup, sebentar lagi kisah Mbak Yasmin dan Mas Juna akan bisa dibeli di toko buku. Yeay 😘😁
Tungguin kisah mereka Let it Flow (Setelah Menikah) dalam bentuk fisik, ya..
Info jelasnya nanti bisa diintip di lapak kisah mereka atau di Instagram aku, 'mounalizza'. Yang mau ikut PO terbatas via aku juga nanti ada infonya. 🥰❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top