07- Tak Terduga

***

"Nadya lama banget?" tanya Lea melirik arah pintu gerbang sekolah. Harlan memegang stir sambil mengetuk sekilas. Dia sedang berusaha tenang di tengah debaran aneh yang sedang singgah. Sungguh, Harlan seperti anak remaja yang sedang kencan pertama dengan lain jenis. Dia benar-benar gugup.

"Kak, mana Nadya? Jangan-jangan gurunya sengaja biar Kakak menjemput ke dalam?" Harlan menahan napas kesal. Risiko gugup benar-benar dia tanggung sendiri.

Lea mencibir menatap reaksi Harlan yang seolah tak peduli dengannya. Mungkin merasa tersindir, jadi diam tak bisa bersuara. Dasar semua pria sama saja.

Lea merogoh ponselnya di pouch bag miliknya. Ada getaran yang dia rasa. Harlan melirik sekilas pergerakan Lea. Wanita itu sedang mengetikan sesuatu di ponsel kecilnya.

Ponsel yang bisa dibilang biasa saja. Harlan bisa tahu harga ponsel itu. Bukan ponsel canggih atau pintar seperti kebanyakan yang orang lain miliki. Lagi-lagi jiwa penasaran Harlan ingin bertanya. Jika dilihat dari latar belakang keluarga Lea, sepertinya untuk membelikan ponsel pintar masih mampu. Apalagi untuk ukuran wanita seperti Lea yang manja dan pemaksa. Lea pasti tidak mau ketinggalan model.

"Kak, nanti setelah jemput Nadya, kita mau kemana?" Harlan tak siap saat Lea menatap wajahnya dekat. Pandangan mereka bertemu. Wajah Harlan memerah, Lea tak boleh tahu kalau dia sedang memperhatikannya diam-diam.

"Pulang." Harlan bisa mengalihkan lebih cepat. Lea masih menatap Harlan tak lepas. "Sebentar ke tempat kerja aku mau, nggak? Aku mau ambil sesuatu di sana. Mau, nggak? Jadi Kakak bisa tahu juga tempat aku kerja." Harlan mengangguk saja. Lagipula hari ini dia memang tidak ada urusan. Sengaja, karena mau melihat Lea beradaptasi dengan penghuni di rumah. Nadya harus dia dampingi. Dia takut penolakan Nadya membuat Lea bertingkah aneh-aneh. Belum lagi reaksi dari sang mama. Harlan harus menghadapi.

Keduanya kembali diam. Lea kembali mengetikan sesuatu di ponsel kecilnya. Harlan terus berpikir. Apa Lea tidak sanggup membeli ponsel yang lebih bagus? Paling tidak, bisa buat mengabadikan gambar. Beberapa tahun yang lalu, Lea sepertinya punya ponsel lebih bagus daripada yang dia pakai sekarang.

"Nomor ponsel kamu berapa?" tanya Harlan tiba-tiba, tanpa menatap Lea. Harlan memilih menatap jalanan di depan.

"Hah? Sini ponsel Kakak mana? Aku ketik." Harlan memberikan kode dengan arah tangan posisi ponselnya berada. Memang terletak di tengah. Dan Lea mengambilnya langsung.

"Aku miss call, yah!" ucap Lea. Harlan menurut saja. Lea menyentuh layar ponsel Harlan. Jari tangannya tak jadi menyentuh angka. Lea sedang menatap foto di layar ponsel Harlan. Terlihat Nadya dan Harlan sedang tertawa menatap kamera. Saling berbagi senyuman berdua. Sepertinya sedang di dalam mobil. Lea tersenyum menatap pemandangan indah itu. Walaupun hatinya merasakan iri sedikit, tetapi Lea sadar, dia memang bersalah meninggalkan keluarga kecilnya tanpa kabar.

Harlan menyaksikan tatapan itu. Senyuman miris. Tapi memang itu salah Lea sendiri. Dia yang memilih pergi dari tanggung jawabnya.

"Sudah belum?" tegur Harlan mencoba mengecoh ekspresi miris Lea. Harlan tak suka. Seolah dirinya bersalah memisahkan Lea dan Nadya. Dia tidak mengusir Lea.

"Tunggu." Lea merapikan duduknya dan mencoba menghubungi nomor ponselnya. "Dah, ini tulis sendiri nama aku. Apa mau aku tulis Mantan Istri?" Lea yang menyebalkan kembali lagi.

Harlan merampas ponselnya. Menulis nama Lea di sana. Kepala Lea ikut miring melihat ketikan tangan Harlan. "Lea Cantik, dong. Atau Bunga Azalea. Masa cuma Lea aja." Harlan malas meladeni Lea. Dia lebih memilih melirik arah pintu gerbang. Sudah mulai ramai hilir mudik anak sekolah. Itu artinya Nadya akan segera tiba.

"Ayo turun! Nadya sebentar lagi keluar." Harlan memang pengecut. Dia masih belum bisa berlama-lama berdekatan dengan Lea. Belum terbiasa.

"Papaaaaaaa," teriak Nadya saat Harlan menghampirinya. Nadya memeluk bahagia Harlan. Lea sendiri belum sempat turun dari mobil saat melihat Harlan dan Nadya berpelukan. Lea menatap sejenak adegan indah itu. Lea diam mencerna keadaan, dia tak boleh merecoki adegan pelukan itu. Lea sadar, Nadya belum menerimanya. Daripada melihat perubahan wajah Nadya yang dipastikan berubah saat menatapnya, lebih baik dia melihat pemandangan syahdu ini dari dalam mobil.

Mereka berpelukan sayang. Saling terikat dan membutuhkan satu sama lain.

Hati kecil Lea berpikir. Sebenarnya tanpa dirinya, mereka masih bisa tersenyum. Lalu kenapa dia datang merecoki tatanan yang sudah mereka bangun? Sama saja berniat merobohkan pondasi yang sudah ada. Pengganggu kebahagiaan orang.

Lea menggeleng, menghalau rasa rendah diri yang sekelibat hadir. Dia harus kuat. Yakin jika mereka tidak hanya tersenyum, tapi tertawa lepas dan bahagia saat bersama dirinya.

"Pa, kenapa Tante ini ikut Papa?" Lea sampai tak sadar kalau pintu kemudi sudah dibuka lebar dan Nadya sedang berdiri melihat horor dirinya. Harlan memberi tatapan aneh pada Lea. Mungkin sebagai pertanyaan, kenapa hanya duduk diam di dalam mobil.

"Hai, Cantik," sapa Lea kikuk. Satu keinginan yang ingin Lea lakukan adalah juga memeluk Nadya. Tetapi melihat tatapan Harlan, Lea tak kuasa bertindak nekat.

"Aku nggak cantik. Nyindir banget." Lea menatap Nadya bingung. Dia juga pandai bersuara, tetapi sekarang mendadak dia seperti punya lawan tangguh bersilat lidah.

"Minggir, ini posisi aku! Tante turun!" ketus Nadya.

"Dy, Papa nggak pernah ajarkan kamu kurang ajar sama yang lebih tua. Terlebih sama orangtua. Dy, salam sama Mama!" Lea sampai tak percaya dengan ucapan Harlan yang sungguh membantunya. Rasa percaya diri Lea kembali meningkat.

"Iya, Cantik. Salam, dong, sama Mama." Lea merapikan tatanan rambut berantakan Nadya. Gadis kecil itu memasang wajah masam. Membuat Lea mengangguk dalam hati, prediksi perubahan aura terlihat. Dan sebersit perasaan bersalah datang. Benarkah dia hanya sebagai pengganggu?

Ini belum satu hari, tapi dia sudah tak yakin mampu.

"Ayo, beri salam hormat sama Mama!" Lagi-lagi Harlan membantu Lea sadar dari lamunan. Terlebih saat tangan mungil itu menarik tangannya untuk dicium. Rasanya Lea benar-benar mau memeluk tubuh Nadya. Dan gerakan itu spontan dia lakukan.

Lea memeluk erat Nadya. Mengambil kehangatan yang selama ini dia tinggalkan. Nadya sedikit berontak, tetapi sekuat tenaga dia tahan. Berikan waktu ini sejenak untuk Lea merasakan pelukan rindu. Pelukan penuh rasa bersalah.

"Haduh, sakit dipeluk gini. Nggak tahu orang lagi kegerahan, yah?" Lea menutup mata dan telinga. Posisinya juga sebenarnya tak nyaman. Lea masih setia duduk di mobil sedan, sementara Nadya berdiri di depannya.

"Haduh, kejedot. Papaaaa," gerutu Nadya saat dia menarik diri dari pelukan.

"Mama kangen sama kamu. Makanya dibalas pelukannya." Harlan mengusap kepala Nadya. Harlan bisa melihat perubahan wajah Lea yang berbeda. Dia tahu, Lea mendadak tak siap. Tak siap ditolak lagi.

"Pa, minta duit! Aku mau beli slime di situ." Nadya menghiraukan Lea yang sudah berdiri di depannya.

"Pa," tegur Nadya lagi. Harlan memberikan uang dan memperhatikan putrinya jalan ke samping. Ada satu toko alat tulis dan hadiah di sana.

Setelah kepergian Nadya, Harlan menepuk pundak Lea pelan. Lea sedang memperhatikan pergerakan Nadya memilih aneka slime. "Kenapa kamu jadi demam panggung? Katanya mau berubah dan berusaha menjadi ibu bagi Nadya. Kenapa hanya diam dan kaku?"

"Maaf, aku hanya tak siap melihat wajah bahagia Nadya tadi saat bersama Kakak. Kalian sepertinya nyaman berdua tanpa aku." Lea jujur, dia merasa tak yakin berhak ada di antara Harlan dan Nadya.

"Jadi mau mundur? Belum setengah hari, Lea. Kamu memang selalu bisa menjatuhkan harapan tak pasti. Kalau nggak mau, silahkan pergi dan jangan pernah kembali." Setelah mengatakan itu, Harlan meninggalkan Lea. Ikut menemani Nadya di toko alat tulis.

Lea kembali masuk ke dalam mobil. Duduk mengatur napas. Menepuk pipinya kencang. "Kuat, Lea. Kuat! Semangat, Lea! Yakin kalau mereka bisa tersenyum bersama kamu." Lea menyemangati dirinya sendiri di tengah rasa tak percaya diri.

Sementara di luar mobil, Harlan duduk menunggu Nadya memilih slime. Sesekali dia melirik arah mobilnya. Lea masih di dalam. Entah sedang melakukan apa. Harlan tak tahu setelah ini, apa Lea akan kembali pergi atau tetap mengikuti tes percobaan yang dia tawarkan.

"Pa, tambah lagi, dong!" Nadya meminta uang tambahan. Harlan menuruti. Lalu kembali melirik mobil. Tidak ada niat Lea keluar. Membuat Harlan bingung.

"Pa, warnanya bagus, nggak?" Nadya duduk di samping Harlan. Memamerkan beberapa cup slime yang dia beli.

"Dy, Mama akan tinggal sama kita," ucap Harlan pelan. "Dy jangan galak-galak sama Mama. Nanti Mama jadi takut sama Dy."

Nadya kembali memasang wajah masam. Dia tak jadi membuka slime. "Papa bela Tante. Nggak sayang lagi sama Dy." Harlan mengacak rambut Nadya.

"Papa paling sayang sama kamu," rayu Harlan mengecup kening Nadya.

"Tapi buktinya, Papa ajak Tante itu. Dia, kan, nggak sayang sama aku. Nenek pernah bilang, kalau Mama jahat. Tinggalin Papa sama Dy." Harlan mencubit pipi Nadya pelan.

"Mama sekolah lagi. Sekarang udah selesai. Mau tinggal sama kita. Eh, kamu lahir dari perut Mama, lho. Kamu nggak tahu aja Mama ngejagain kamu di dalam perutnya selama sembilan bulan." Harlan merapikan slime ke dalam kantong.

"Ayo, kita pergi jalan sama Mama. Kamu sambut, dong, Mama. Nanti kalau Mama pergi lagi, kamu nyesel. Kemarin nangis minta Mama datang." Sindirian itu sengaja Harlan luapkan, Nadya tak bisa dipaksa. Dan Harlan tahu cara merayu Nadya. Terbukti, Nadya ikut berjalan bersama Harlan ke arah mobil. Harlan harap, setelah ini Lea bisa mengambil hati Nadya dengan benar.

"Minggir, aku mau duduk!" ucap Nadya saat membuka pintu samping kemudi. Harlan berada di belakang Nadya.

Lea mengeluarkan kedua kakinya tanpa berniat berdiri keluar. "Nggak mau, Mama mau di depan, Nadya di belakang aja." Harlan membulatkan matanya. Lea seharusnya tidak boleh bersikap egois dengan anak kecil. Terlebih Nadya masih sepenuhnya menerima. Entah maunya apa Lea ini. Tak bisa lihai mengambil hati putrinya.

"Aku nggak mau. Tante di belakang aja sana." Nadya juga tak mau kalah. Lea memasang wajah menantang lucu. Meledek Nadya supaya emosinya kembali memuncak. Harlan yang melihat malah dibuat kesal.

"Mama duluan di sini. Diajak Papa." Nadya menghentakan kakinya. Lea menggeleng lucu. Memancing terus emosi Nadya. "Kita di sini aja berdua." Tawaran itu langsung ditolak Nadya dengan menggelengkan kepala cepat.

"Paaaa," rajuk Nadya menarik tangan Harlan untuk membelanya.

"Lea pindah!" tegur Harlan, Lea menggeleng.

"Dy ajah, yah?" rayu Harlan. Nadya tetap tak mau.

"Salah satu harus di belakang. Ayo, cepat pindah!"

"Aku nggak mau!" Baik Nadya maupun Lea bersamaan mengucapkan itu. Harlan mengepalkan tangan gemas. Dia pasti akan sering dihadapkan dengan situasi seperti ini. Lea dan Nadya bersatu membuat isi kepalanya pusing.

"Pindah salah satu! Atau dua-duanya di belakang!" tegas Harlan menatap bergantian Lea dan Nadya.

Mendengar itu, keduanya langsung kompak masuk ke dalam. Lea merapikan duduknya, sementara Nadya tak menolak duduk dipangku Lea di depannya. Harlan melihat sambil menahan tawa. Sebenarnya, dia tak serius mengucapkan kalimat tegas itu. Tapi ternyata berhasil.

Sambil tersenyum tak jelas, Harlan masuk ke dalam mobil. Dia mendengar suara gelisah Nadya di pangkuan Lea. Apalagi Lea dengan sengaja melingkari pinggang Nadya dengan pelukan tangan.

"Jangan peluk-peluk!" ketus Nadya lucu.

"Nanti kalau Papa ngerem mendadak kamu kejedot!" alasan Lea. Dia tersenyum geli melihat penolakan Nadya. Tapi sebisa mungkin dia halau rasa sakit, dia mau indah selamanya. Dan indah pasti butuh proses, melewati suram pastinya.

"Ih, ada telur kutu..." Lea sengaja meledek rambut panjang Nadya yang terurai berantakan di belakangnya. Sambil dirapikan dengan hati-hati oleh Lea, Nadya menggeleng kesal.

"Biarin! Udah, jangan ledekin aku terus. Iya, aku jelek, Tante cantik," balas Nadya sewot.

"Dy, nggak boleh gitu. Kamu, kan, malas rapiin rambut. Disisir aja nggak mau." Harlan mengacak rambut Nadya sambil ikut meledek. Secara spontan Harlan menoleh ke arah Lea dan berbagi senyuman. Melihat wajah Nadya yang masam, sungguh lucu.

Lea membalas senyuman Harlan, dan seketika Harlan memalingkan wajah. Degupan itu kembali terjadi.

"Ayo, Pa, jalan! Terus aja bela Tante ini," sindir Nadya.

"Mama, aku Mama kamu!"

"Pa, nyalain lagu, dong!" sela Nadya asal. Lea hanya tersenyum, tak mengambil hati tingkah menggemaskan Nadya. Dia melirik sekilas Harlan, pria itu sedang fokus menatap jalanan dalam diam. Rasanya indah seperti ini. Bertiga dalam satu mobil. Andai ponselnya bisa mengabadikan adegan ini, ingin rasanya Lea memilikinya. Sama seperti Harlan, dipamerkan di layar ponsel.

***
Rujuk?
Jumat, 04 Agustus 2017
Mounalizza

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top