03- Kecewa

Setiap cerita, aku selalu selipkan mulmed lagu. Khusus cerita ini, aku pakai lagu Indonesia. Musik dari tanah air juga banyak yang berkualitas.. dan pesannya tersampaikan dengan mudah.

***

"Cinta adalah satu-satunya yang bisa melewati ruang dan waktu."
Catatan Movie : Interstellar (2014)

***

"Kak," panggil Lea dengan tangan melambai di depan Harlan yang masih membeku. Matanya tetap melebar memperhatikan sosok yang tak pernah dia bayangkan akan kembali. Sekarang sedang tersenyum menatapnya.

"Kak Harlan, apa kabar?" Tenang nada bicara Lea.

"Kak," panggil Lea semakin terkikik melihat reaksi terkejut Harlan. Dimaklumi saja, Harlan memang tak pernah berpikir jika Lea akan menginjakan kaki kembali di rumah yang pernah membuatnya menangis dan tertawa.

"Boleh aku masuk?" Belum sempat diberikan jawaban, Lea melewati tubuh Harlan, memasuki rumah. Menatap sekeliling ruang tamu tanpa sungkan. Khas Lea sekali, batin Harlan terus mencerna kenyataan terbaru.

Lea memang benar ada, menapaki lantai rumahnya.

"Kak, tidak ada yang berubah, yah?" Lea duduk dan mencoba kembali berbicara sopan dengan Harlan.

Harlan sendiri masih setia berdiri di dekat daun pintu. "Ada keperluan apa kamu ke sini?" ucap Harlan sekuat tenaga tenang. Dia memang harus bisa menggunakan indera pengucapnya dengan benar.

Lea tertawa tanpa dosa. Menepuk sofa di sebelahnya. "Kalau menyambut tamu itu harus duduk juga, dong!" Harlan tersihir untuk duduk di samping Lea.

"Seharusnya tanya, kamu apa kabar? Aku juga rindu kamu. Gitu, Kak!" Harlan mengerutkan alisnya tak percaya dengan ucapan Lea. Mereka sudah lama tak bertemu, sudah asing untuk saling dekat. Seharusnya Lea bisa memosisikan dirinya dengan benar. Bukan seperti ini.

"Kakak nggak rindu sama aku?"

"Lea, jangan bercanda. Ada apa kamu ke sini?" Harlan tak mau berbasa-basi rupanya. Mereka saling bertatapan. Dalam jarak cukup dekat, saling berbagi aroma.

Lea bisa menghirup aroma khas parfum Harlan yang dia rindukan. Tak pernah berubah ciri khas kelembutan Harlan, namun masih terasa kesan segarnya. Lea memperhatikan, tubuh itu pernah memeluknya erat di saat-saat tertentu. Diam dan keluhan tanpa suara yang selalu diperlihatkan Harlan, Lea merindukan itu. Hanya saja penampilan Harlan semakin bertambah dewasa. Lea langsung menyukai perubahan itu. Pria ini pernah berbagi kamar dengannya, bahkan berbuat intim bersama. Wajah Lea sedikit memerah karena membayangkan sesuatu yang nakal sejenak.

Sementara Harlan, reaksinya juga berbeda. Begitu banyak perbedaan pada penampilan Lea. Jelas berubah, walaupun masih terlihat gerak-gerik ceria, namun penampilan Lea berubah total. Gaya pakaian Lea terlihat dewasa. Tidak urakan seperti beberapa tahun lalu. Tidak seenaknya memakai pakaian. Harlan bahkan sudah bisa melihat dari segi kesopanan.

"Mau apa kamu ke sini, Lea?" Harlan tetap pada pertanyaan awal. Dia tak mau terbawa suasana.

"Aku mau," ucap Lea terputus karena menatap mata tajam Harlan. "Mau.. kembali ke sini," lanjut Lea tanpa ragu, tapi Harlan bisa melihat sedikit rasa malu di wajah Lea. Wajah yang sekarang sungguh membuat hatinya berdebar.

Harlan menggeleng di hati. Terpaku diam karena tak bisa melanjutkan pembicaraan. Dia tidak mau terbawa suasana. Lea pernah mematahkan hatinya tentang berharap lebih. Harlan sempat menduga kalau Lea akan kembali setelah pergi seenaknya, tapi buktinya, Lea pergi dan tak pernah memberikan kabar. Lea tak pernah kembali. Lalu sekarang Lea meminta kembali ke sini?

'Kembali ke sini?' Itu kalimat dengan makna luas. Harlan tak mau berbangga hati.

"Boleh?" tanya Lea tak jelas. Harlan masih menatap dalam jarak dekat. Masih berpikir dalam hati. Keberadaan Lea, ucapan Lea dan sosok Lea yang dia rindukan. Suara dan segala tinggkah menjengkelkan yang masih dia ingat.

Tapi sekarang berbeda. Sapuan riasan kali ini benar-benar membuat Harlan terkesima. Bukan berarti dulu Lea tidak menarik. Bukan, Harlan mengingat Lea dalam cara yang berbeda.

"Kak," panggil Lea lagi. Dia juga serba salah kalau lawan bicaranya hanya menatap diam dirinya begitu saja. Terlebih seperti menyelidik.

Jadi cara mereka meluapkan rindu seperti ini? Batin Lea bertanya-tanya. Tapi ini sudah lebih dari cukup. Mengingat cara Harlan yang sedikit kaku sejak dulu terhadapnya.

"Papaaaaaaaa," Keduanya terkejut mendengar suara melengking seorang anak kecil. Nadya sedang berdiri di daun pintu sambil menatap mereka berdua. Baik Harlan maupun Lea berdiri panik.

Nadya sedang menatap mereka bingung. Di belakang Nadya, berdiri Ibu Diva, guru Nadya di sekolah.

Mereka memperhatikan penampilan Nadya. Gadis kecil itu sedang mengatur napas kesal, wajahnya urakan dengan rambut berantakan, belum lagi beberapa bagian yang kotor di sekitar pakaiannya. Harlan sudah tak kaget, Lea yang terkejut. Apalagi saat gadis kecil itu memanggil Harlan dengan sebuatan 'Papa'.

Lea tahu, gadis kecil itu anaknya. Putrinya yang sejak tadi dia harap bisa diperkenalkan Harlan.

"Dy kenapa?" tanya Harlan pelan. Bukannya dijawab, Nadya berlari ke dalam rumah. Tidak menghiraukan penampakan Lea yang fokus menatapnya.

"Jangan dimarahi, Pak." Harlan sampai lupa jika ada seorang wanita yang disayangi Nadya sedang berdiri di daun pintu juga. Harlan menghampiri Ibu Diva.

"Terima kasih Bu Diva, saya benar-benar tak tahu lagi harus membalas dengan apa. Ibu sungguh perhatian dengan Nadya." Ibu Diva tersenyum malu. Usianya juga masih muda. Dan dia sudah terlanjur sayang dengan Nadya. Anak muridnya yang satu itu memang berbeda. Jelas Nadya kurang kasih sayang.

"Itu sudah tugas saya, Pak. Nadya tadi bertengkar karena dia tak terima disebut anak gembel. Dia marah karena rambutnya berantakan." Harlan mengangguk mengerti. Dia ingat, semalam Nadya memintanya merapikan rambut, tapi Harlan kurang mengerti lebih jauh. Nadya meminta hal yang tak dia mengerti.

"Semalam dia meminta dikepang ala Rapunzel, dan saya tidak mengerti. Rambutnya kusut." Ibu Diva menimpalinya dengan tawa ringan, begitu juga dengan Harlan. Saling membalas senyum sopan.

"Ehem." Harlan sampai tak sadar jika masih ada Lea di ruangan itu. "Kakak nggak mau kenalkan aku dengan Ibu Diva?" tantang Lea tenang sambil mendekati mereka.

"Kak," tegur Lea sambil merangkul lengan Harlan.

"Ibu Diva, kenalkan ini Lea," ucap Harlan pelan. Lalu yang tak diduga, Lea melanjutkan seenaknya.

"Mama kandungnya Nadya," sambung Lea percaya diri. Ibu Diva sedikit terkejut namun bisa dia kuasai dengan baik. Sedangkan Harlan terlihat kesal. Menepis rangkulan Lea. Ibu Diva mengangguk tak jelas. Asing dengan situasi yang tak enak.

"Saya permisi dulu kalau begitu. Salam untuk Nadya." Baik Harlan dan Lea ikut mengangguk menggiring Ibu Diva keluar rumah.

"Maaf, selalu merepotkan Ibu." Harlan memang beruntung, setidaknya dia merasa aman meninggalkan Nadya di sekolah. Ibu Diva salah satu orang yang mengerti Nadya dalam. Kelembutan Ibu Diva membuat tanggung jawab mengurus Nadya bisa dibagi.

"Cantik, yah, Ibu Diva?" Harlan melirik kesal suara Lea di sebelahnya. Lihat saja, belum satu jam bertemu tetapi tingkah Lea sudah membuat emosi di hati meluap. "Bisa kamu dekati, dong? Atau jangan-jangan sudah didekati?"

Harlan melihat mobil Ibu Diva yang sudah semakin menjauh, lalu dia masuk ke dalam rumah tanpa peduli Lea di sebelahnya. Dia hanya berjalan, tapi tak menutup pintu rumah.

"Kak, aku mau bertemu dia." Lea menahan kembali tangan Harlan.

"Dia?" tanya Harlan mencibir. Lea mengangguk. "Iya, putri aku."

"Namanya Nadya," tegas Harlan. Lea kembali mengangguk. Harlan memalingkan wajah. Tak mau berlama-lama menatap wajah yang dia rindukan semakin berbeda. Semakin cantik.

"Boleh aku bertemu dengan Nadya?" Kali ini suara Lea sedikit bergetar. Harlan bisa menebak walau tak melihat.

Tidak menjawab, Harlan memilih menutup pintu rumah. Lalu berjalan ke dalam rumah tanpa mengajak Lea yang masih setia menunggu jawaban. Dia sendiri merutuki tingkahnya yang seperti menerima kehadiran Lea begitu saja di rumahnya. Seolah Lea juga penghuni tetap yang bisa masuk seenaknya.

"Kak, aku boleh bertemu dengannya?" Mau tak mau Harlan memang harus menjawab. Dia tak bisa terus diminta jawaban oleh Lea. Jika ingat sifatnya, Lea tak akan gentar sampai keinginannya tercapai.

"Kalau sekarang, sepertinya bukan waktu yang tepat." Harlan berjalan ke dalam mencari keberadaan Nadya. Dia tahu, Nadya pasti akan duduk di taman rumahnya. Biasanya setiap Nadya marah, gadis kecil itu akan duduk berlama-lama menatap kolam renang. Menggerutu dan menghentakan kaki sampai Harlan datang menenangkan hati. Dugaan Harlan benar, Nadya sedang duduk di taman.

Harlan dan Lea menatap dari kejauhan keberadaan Nadya sekarang. Harlan sendiri tak mau membahas lebih lanjut posisi Nadya yang mengingatkan dirinya dengan sosok wanita di sampingnya. "Dia berantakan," ucap Lea polos menatap dari jauh Nadya. Sekilas dia ingat tempat itu yang selalu dia datangi jika sedang memasang aksi marah dengan Harlan. Dan kedatangan Harlan bersama aneka permintaan yang dituruti, selalu dia tunggu di sana.

"Dia sedang memasang aksi." Lea mengangguk seolah mengerti dengan ucapan Harlan. Dia mau ke sana, memeluk erat Nadya dengan sayang. Tapi langkahnya terhenti saat tangan Harlan mencengkram erat dirinya.

"Jangan sekarang, Dy belum tentu menerima kehadiran orang asing."

"Tapi aku ibunya."

"Ibu yang sudah meninggalkan dia tanpa belas kasih." Harlan menarik paksa Lea ke dalam. "Tunggu di sini. Biar aku dulu yang ke sana." Lea tak menolak. Ucapan Harlan sedikit membuatnya sadar. Dia ibu yang tak punya perasaan. Meninggalkan seorang bayi tak berdosa seenaknya tanpa mau tanggung jawab berperan sebagai ibu tersayang.

"Maaf," lirih Lea pelan, namun sayang, Harlan sudah berjalan menuju taman. Lea mengintip dari kejauhan. Dia pernah berada di sana menunggu kedatangan Harlan. Dan sekarang putrinya seperti itu.

"Kamu bisa, Lea! Kamu harus kembali ke sini. Memiliki keluarga utuh." Lea memegang dadanya yang terasa nyeri. Perjuangannya baru akan dimulai.

***

Gadis kecil itu masih setia duduk di bangku taman rumahnya. Tampilan berantakan tak membuatnya peduli untuk membersihkan diri. Dia sedang kesal dan tidak butuh penilaian semua orang. Rambutnya terlihat tak beraturan. Wajahnya penuh coretan alat tulis dan tak ketinggalan sisi baju di bagian lengan tercetak warna kecoklatan. Sepertinya terkena tanah basah.

"Kenapa lagi hari ini?" Mendengar suara penuh kehangatan di sampingnya, tak membuat gadis kecil itu luluh. Dia bahkan memalingkan wajahnya semakin angkuh. Pria itu merapikan tatanan rambut si gadis dengan sabar.

"Princes Moana jadi babak belur," godanya agar si gadis kecil itu mau menatapnya. Dan tepisan tangan sebagai jawaban.

"Dy mau ketemu Mama. Dy mau ditemenin Mama," lirih gadis itu tiba-tiba. Membuat yang melihat terkejut. Gadis itu terkenal jarang menangis. Dia terkenal ceria. Tapi tidak hari ini.

"Kan, ada Papa?"

"Papa nggak bisa diajak main boneka," ucapnya sambil menangis. Pria itu menarik tubuh mungil dalam pelukan.

"Biasanya setiap malam kita main boneka," rayu si pria pelan.

"Tapi nggak bisa main cantik pakai lipstik." Pria itu terkikik. Wajah putrinya masih cemberut lucu.

"Kan, bisa main alat rias punya nenek. Nenek saja kamu ajak main itu."

"Nenek mukanya udah nggak jaman." Anak kecil dengan segala pemikiran polosnya. Sekali lagi pria itu terkikik geli.

"Dy mau kayak Olivia, diantar Mama ke sekolah. Rambutnya rapi. Dy mau tidur dipeluk Mama." Ungkapan hati yang langsung membuat pria itu terdiam. Dia memang mengurus semuanya sendiri. Menjadi figur seorang ayah dan ibu dalam satu waktu. Tetapi ada hal yang tetap tak bisa dia jangkau untuk diatasi.

Bukan ranahnya menjadi figur seorang ibu sesungguhnya. Dia tetap seorang pria.

"Sama Papa aja, yah?" Gadis itu melepas pelukan. Berdiri lalu berlari ke dalam rumah.

"Dy maunya sama Mama. Carikan mama baru buat Dy," teriak gadis itu berlari. "Dy mau punya Mamaa.."

Pria itu hanya bisa menghela napas pasrah. Ini sudah kesekian kalinya putrinya sering meminta hal yang tak mungkin bisa dia kabulkan.

Dia menikmati segala kesulitan menjadi orangtua tunggal. Di usianya yang belum berkepala tiga, dia bisa melewati masa terberat dengan baik. Status sebagai orangtua sudah dia dapati saat dia berusia dua puluh dua tahun. Sudah enam tahun dia berjuang sendiri. Berbagi waktu menjadi seorang ayah dan mencapai cita-cita bersamaan. Semua dia nikmati dalam kesendirian hati, tanpa pendamping.

Hanya putrinya yang selalu meramaikan kisah hidup sepinya.

"Aku harus bagaimana?" ucapnya sendiri sambil menutup mata. Cara pikir anak-anak tak bisa dia kuasai sepenuhnya. Menjelaskanya pun butuh rangakain kalimat yang bisa diterima.

"Kakak egois." Lamunan pria itu terganggu karena suara seseorang wanita yang tak dia sadari sudah duduk di sampingnya. Dia lupa, Lea masih ada di rumahnya. Menunggu perintah darinya untuk bertemu Nadya.

"Aku mau mengurus Dy setiap hari. Dia butuh sosok seorang ibu. Dan mungkin kamu juga butuh kehadiran seorang istri." Pria itu hanya mendengarkan ucapan wanita itu. Lalu lambat laun tersenyum remeh.

"Izinkan aku mengurus Dy dan juga Kakak!" Pria itu berdiri, tak menghiraukan permintaan yang sejak tadi menjadi beban di hatinya. Putrinya memang meminta perhatian dari figur bukan dirinya.

"Kak, aku mohon!" Pria itu menepis tangan sang wanita yang ingin menahan tangannya. "Kali ini kita jangan egois. Semua demi Dy."

"Egois?" tanya pria itu tak terima.

"Waktu membuat kita semakin dewasa. Aku yakin Kakak mengerti. Ayolah, kita bersama menjaga Dy."

"Kemana saja kamu selama ini? Baru sekarang datang setelah meninggalkan kami seenaknya, lalu datang tiba-tiba dengan mudah ingin mengambil alih Dy! Tidak semudah itu. Dy belum tentu mau," teriaknya kesal.

"Lagi pula aku tidak butuh istri. Aku bisa mengurusi Dy sendiri," ketus pria itu tersinggung.

"Lalu tadi apa? Dy meminta sosok ibu." Wanita itu menarik paksa tubuh si pria agar bertatapan.

"Aku dengar tadi ungkapan hatinya. Dy mau kehadiran mama nya. Kakak harus ingat! Aku ibu kandungnya." Wanita itu tak kalah kerasnya bersuaranya.

"Aku mau bersama Kakak mengurus Dy, putri kita." Pria itu mundur.

"Kita sudah bercerai. Kamu tidak ingat? Setelah Dy lahir, kamu yang meminta perceraian." Cara Harlan mengatakannya seperti menantang Lea. Dan Lea tahu, jika membahas aksi kabur seenaknya, dia tak bisa berbuat apa-apa.

Wanita itu diam saat satu kenyataan sesungguhnya harus dia sadari. Mereka sudah bercerai. Tapi dia harus bisa bangkit saat ini. Masa lalu harus dilupakan. Sekarang saatnya melangkah.

"Aku mau kita kembali bersama. Aku tak mau hidup sendiri lagi. Aku mau kita memulai semuanya dari awal. Aku mau kita rujuk, Kak," jujur wanita itu pelan.

"Rujuk?" tanya pria itu tak habis pikir.

"Iya, aku mau rujuk sama Kak Harlan."

"Tidak semudah itu, Lea." Lea mendekati Harlan. "Bisa, Kak. Kalau kita mau, semua pasti bisa berjalan dengan baik." Harlan diam menatap rasa percaya diri Lea.

"Kak," tegur Lea kembali. Dan seperti sebelumnya, keduanya hanya saling menatap dalam. Saling bertubrukan tatapan kerinduan.

"Papaaaa," Tak disadari Nadya sudah berdiri kembali di depan mereka.

"Papa kenapa nggak susul Dy ke kamar?" ketus Nadya kesal. Dia lalu melirik sosok asing yang sedang berdiri di dekat ayahnya.

"Dia siapa?" tanya Nadya ketus memasang wajah angkuh. Hati Lea berdebar, sungguh putrinya mirip dengan dia dalam bertutur kata.

"Papaaaa," rengek Nadya manja mendekati Harlan. Menarik tangan Harlan dengan posesif, lalu menatap angkuh Lea.

"Papa nggak boleh pacaran sama dia!" tegas Nadya menatap garang Lea. Terlihat menyeramkan. Belum lagi tampilan berantakan yang belum dirapikan. "Dy nggak suka, Pa."

Tatapan itu bermakna permusuhan. Harlan tahu, akan sulit bagi Lea untuk mengambil hati Nadya. Berharap Lea tak sakit hati, Nadya masih kecil.

"Tadi katanya mau ketemu Mama?" ucap Lea tenang tersenyum pada Nadya. Harlan tak menduga kalau Lea akan bertindak nekat untuk jujur dengan Nadya. Anak kecil mempunyai pemikiran yang berbeda.

"Iya, tapi aku maunya Ibu Diva sebagai Mama." Lea melebarkan matanya. Jadi arah pembicaraan putrinya seperti itu.

"Aku ini mama kamu. Kenapa harus mencari mama lain, apalagi ibu lain." Lea berjongkok mendekati Nadya yang masih setia menggenggam erat tangan Harlan. Dengan hati bergetar, Lea merapikan tatanan rambut Nadya, ingin sekali rasannya Lea memeluk erat. Tetapi ada rasa takut yang sejak tadi dia halau untuk tak naik ke permukaan. Jika Nadya menolak pelukannya, rasanya dia tak bisa berjuang lebih jauh. Karena itu, sekuat tenaga harus dia tahan

"Pa?" Nadya menatap Harlan sebagai meminta kepastian jawaban. Ucapan wanita asing itu benar atau tidak.

"Tidak percaya? Aku benar Mama kamu." Harlan menghembuskan napas kesal. Lea bodoh jika memaksa Nadya percaya.

"Pa? Benar dia Mama?" paksa Nadya pada Harlan. Jika dilihat mereka memang mirip dan tak sabar menguasai keadaan.

"Iya, aku Mama kamu, Cantik."

"Aku nggak cantik. Aku gembel. Nggak lihat muka aku berantakan?" teriak Nadya sambil menatap keseluruhan penampilan Lea. Tangannya juga kuat meremas tangan Harlan. Emosi Nadya tersulut. Harlan tahu itu.

"Dy.." Harlan ikut berjongkok. "Ke kamar dulu, yah. Papa mau bicara sama.." Harlan menatap Lea di depannya. Nadya juga ikut menatap Lea. Memicingkan mata, dia tak suka dengan kehadiran wanita cantik di depannya. Apalagi saat menyaksikan cara sang ayah tak berkedip menatap sosok itu.

Harlan tak lagi melanjutkan penjelasan. "Dy tunggu di dalam, yah?" perintahnya lembut. Nadya pasti akan luluh.

"Papa jangan lama-lama, yah! Dy nggak suka. Dy cemburu." Bisikan itu bisa didengar Lea. Tapi sekuat tenaga dia tahan untuk tak membalas. Apalagi satu tangan bebas Harlan ikut memegang lengannya. Lea tahu arti pegangan tangan itu. Lea harus bisa menahan diri. Dia sekarang sedang menghadapi anak kecil dengan berbagai tingkah polosnya.

"Papa, Dy tunggu di ruang televisi. Awas lama-lama sama Tante ini!" Lea sampai takjub saat ancaman itu benar-benar ditujukan untuknya. Nadya berbalik angkuh meninggalkan dirinya dan Harlan.

"Aku Mama kammm..." Harlan langsung menutup mulut Lea. "Bukan seperti ini menghadapi anak kecil," tegur Harlan.

"Kak, aku serius mau rujuk." Harlan sampai menutup wajahnya kesal. Bunga Azalea miliknya benar-benar kembali di sekitarnya. Pemaksa dan egois. Nadya sama seperti Lea, tapi Harlan menyikapinya dengan cara yang berbeda.

"Kak, jawab!" Harlan langsung memegang kedua bahu Lea dalam jarak dekat. "Rujuk? Kamu mau rujuk?" Harlan tertawa remeh. Mereka masih dalam posisi duduk di rumput.

Semudah itukah Lea berpikir Harlan akan menerimanya kembali?

"Tidak semudah saat kamu meminta cerai, Lea. Kali ini aku berhak memberikan keputusan mutlak. Aku berhak memilih. Dan rujuk tidak pernah ada dalam kamusku. Saat kamu meminta cerai dan kita bercerai, mungkin saat itu aku masih memikirkan kemauan egois kamu."

Lea diam mendengarkan luapan kesal Harlan.

"Tapi tidak kali ini. Kepergian kamu dan tidak pedulinya kamu akan anak, adalah pertimbangan paling utama untuk menerima kamu kembali." Harlan melepaskan cengkraman di bahu Lea. Berdiri lalu mundur untuk tidak terlalu terbawa perasaan.

"Pergilah, aku tak mau melihat kamu di sini. Tenang saja, jika menyangkut Nadya, aku tidak akan melarang kamu bertemu dengannya. Perlahan akan aku beritahu sosok ibu kandungnya." Lea masih diam mendengarkan dan menunduk berpikir.

"Papaaaa, ke sini. Jangan sama Tante cantik itu. Aku benar-benar cemburu." Teriakan Nadya membuat Harlan melirik Lea yang sekarang sudah berdiri sambil merapikam tampilan, dan yang paling terlihat adalah perubahan ekspresi. Lea menggigit bibirnya. Harlan ingat, itu salah satu awal reaksi Lea akan marah dan bertingkah manja. Akankah Lea bertindak seperti dulu?

"Aku pulang dulu, tapi pasti aku akan kembali lagi." Lea berjalan melewati Harlan tanpa menatap. Harlan tahu Lea kecewa. Ada rasa bersalah di hati Harlan. Apa dirinya terlalu kasar?

"Kak, boleh aku memeluk Nadya?" Lea menunduk saat mengatakan itu. Posisinya sudah membelakangi Harlan.

"Tante itu suruh pulang aja, Paa.." Nadya kembali berteriak dari dalam. Itu merupakan jawaban dari pertanyaan Lea.

Harlan tak jadi menjawab pertanyaan Lea. Apalagi langkah Lea yang langsung pergi meninggalkan taman dan berjalan ke dalam rumah. Harlan melihat, Lea langsung ke arah pintu luar.

Bukan salahnya bukan, kalau Nadya punya pemikiran berbeda? Mungkin dia menolak rujuk dalam berumah tangga, tetapi dia akan membantu Lea jika ingin diterima Nadya selanjutnya.

***

Rujuk?
Kamis, 27 Juli 2017
Mounalizza

INI DIBACA !!!
SETELAH INI,
AKU AKAN PRIVATE
LANJUTAN CERITA INI.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top