01 - Alasan Bersatu
Cerita ini alurnya maju mundur. Jadi mohon dimengerti sejak awal yah.
***
"Di ladang ranjau kehidupan, kau harus siap kehilangan kedua kakimu."
Catatan Movie : Pitch Perpect 2 (2015)
Kilasan masa lalu.
"Kak Harlan mau ke mana?" tanya suara manja di depan Harlan yang sedang merapikan pakaian ke dalam koper. Memasukannya asal agar cepat selesai.
"Kak Harlan?" panggil suara itu lagi dengan manja yang tak pernah luput dari intonasi suaranya. Harlan melirik lelah. Gadis di hadapannya memang sedikit manja. Ralat, sudah bukan gadis lagi. Kesuciannya sudah Harlan renggut beberapa waktu yang lalu. Dan hari ini menjadi saksi cara Harlan bertanggung jawab atas kesalahan satu malamnya. Harlan resmi menikahi wanita di depannya.
Bunga Azalea namanya. Bunga yang melambangkan kesan anggun dan lembut itu sangat jauh dari pemilik nama indah itu sekarang. Azalea di hadapan Harlan terlalu berekspresi kekanakan. Dimaklumi saja, Bunga Azalea masih berusia delapan belas tahun terlahir sebagai anak tunggal. Masih muda. Tapi sayang, Harlan telah merenggut masa muda dengan seenaknya. Azalea hamil anaknya tanpa direncanakan. Kenal dekat saja tidak. Kejadian klasik kenal satu malam.
Awalnya Harlan tak tahu, tapi Azalea bersikeras menemui Harlan dan meminta pertanggungjawaban. Azalea dengan lantang berteriak di wajah Harlan meminta tanggung jawab dan harus berani menemui ayahnya yang murka mengetahui anak gadisnya sudah berbadan dua.
Kenyataan itu membuat berbagai rencana Harlan menyongsong masa depan kacau. Menikah di usia dua puluh tiga tahun membuat Harlan sedikit melepas beberapa keinginan. Dia tak jadi melanjutkan pendidikan di luar negeri. Apalagi mendengar ancaman Azalea saat Harlan diam saja mengetahui kehamilan.
"Kalau Kakak nggak mau tanggung jawab, aku lebih baik gugurin kandungan. Ayah aku marah besar. Aku akan diusir kalau Kakak nggak mau bertanggung jawab. Aku bahkan nggak ikut ujian sekolah, Kak." Harlan ingat teriakan Azalea saat itu.
"Aku nggak takut sama ancaman Mama Kakak. Aku hamil anak Kakak. Aku nggak pernah berhubungan badan sama pria lain selain Kakak. Pokoknya nikahi aku. Setelah lahir, ceraikan aku! Lalu urus anak itu sendiri. Aku mau memulai hidup baru tanpa Kakak."
Harlan mengikuti keinginan Azalea tanpa syarat. Menikah, lalu menunggu kelahiran dan bercerai sesuai waktu yang ditentukan.
"Kak Harlan mau ke mana? Kita baru saja menikah."
Harlan berdiri tegak. "Kita pisah kamar, Lea. Kamu kira kita akan sekamar?" Lea mengangguk polos menatap berani Harlan.
"Kamu kira kita pasangan berbahagia? Ayah kamu saja nggak menerima aku dengan baik. Lalu apa yang kita harapkan? Mesra?" Harlan tak tahan untuk berkomentar remeh.
"Aku nggak mau tidur sendiri. Kak Harlan harus tidur di sini. Masa mau pisah?" Lea merampas aneka baju yang dimasukan Harlan ke dalam koper.
"Bicara mengenai sambutan, Mama Kakak juga nggak suka sama aku, tapi aku terima," bela Lea berani. Harlan kembali diam. Azalea bersama sifat kerasnya adalah hal yang tak disukai Harlan. Jelas Bunga Azalea bukan wanita kesukaan Harlan. Dia menyukai wanita lemah lembut.
"Pokoknya tidur di sini sama aku." Lea membuang koper itu ke bawah dan meninggalkan Harlan yang masih diam menahan segala emosi. Keras kepala, kekanakan dan mau menang sendiri.
"Haduh," ringis Lea yang sedang duduk bersandar di tempat tidur. Kehamilannya masih rentan. Baru memasuki minggu ke empat. Masih lemah. Harlan hanya mendengus kesal. Mengangkat kembali koper itu dan merapikan pakaian ke dalam lemari. Dia akan menuruti istrinya. Tinggal satu kamar. Lagipula dia tidak akan bertindak macam-macam. Harlan akan berusaha menghindari godaan.
Ini akan cepat berlalu. Dia akan memiliki buah hati dan hidup bersama anaknya tanpa gangguan.
Gangguan Azalea lebih tepatnya.
"Tidurlah, aku mau ke luar sebentar."
"Kak," tegur Lea saat Harlan hendak membuka pintu. Harlan menoleh.
"Jangan takut, aku tidak akan tidur di luar. Tidur saja lebih dulu. Aku pasti akan kembali." Harlan tak perlu menunggu jawaban Lea. Dia masih belum bisa beraktivitas normal di depan orang asing. Apalagi Bunga Azalea.
"Dasar egois. Maunya enak sendiri," gerutu Lea mencoba menutup mata. Dia juga sulit tidur. Kamar suaminya masih terasa asing. Pusing melanda, tapi mata tak kunjung bisa diajak kerja sama untuk tidur. Andai ada sang ibu yang bisa menenangkan hati.
"Ibu, Lea kangen," lirih Lea sendirian. Secara tidak langsung Azalea memang diusir dari rumah. Sang ayah meminta Harlan menikahkan Lea dan meminta Harlan membawa Lea keluar dari rumahnya. Masih tabu rasanya mengetahui putrinya merusak nama baik keluarga. Belum lagi pergunjingan tetangga nanti tentang keadaan Lea yang pasti terlihat berbeda.
"Lea pusing, Bu." Lea menggerutu sendiri. Tadi setelah menikah di gereja, orang tua Lea langsung pergi dari rumah Harlan. Atas desakan Ibu Lea, mereka mau mengantarkan putrinya ke rumah baru. Rumah suami anaknya.
Memang tidak ada yang spesial. Dirayakan saja tidak ada. Harlan bersama ibunda, dan Lea ditemani kedua orangtua Lea dan paman Lea. Mereka memandang Lea kecewa. Lea sendiri tak terlalu mengambil hati. Dia mulai terbiasa mendapat tatapan kecewa. Ini semua juga salahnya yang mau nekat diajak tidur dengan orang tak dikenal. Berawal dari rasa penasaran, berakhir dengan penyesalan.
"Tenang, Lea! Setelah melahirkan, capai cita-cita setinggi langit." Azalea bukan wanita lemah. Dia kuat, harus.
***
"Uhuk.." Harlan terbangun saat mendengar suara Lea dari dalam kamar mandi. Satu minggu sudah mereka menikah, dan setiap pagi Lea selalu mual dan berakhir dengan muntah di dalam kamar mandi. Padahal tak ada asupan apa pun di pagi hari. Masa kehamilan Lea memasuki fase ini. Walaupun lelah, Lea menikmati kesakitannya.
"Kakak, bangun!" Lea memang tak malu meminta bantuan. Sambil menggerutu, Lea akan meminta dipijat oleh Harlan. Alasan Lea jujur, Harlan harus ikut andil, ini anaknya.
"Kak Harlan," teriak Lea lagi. Harlan segera memijat tengkuk Lea. Kasihan juga melihat setiap pagi Lea menderita seperti ini.
"Masih mual?" Harlan memberikan botol minyak kayu putih agar Lea bisa menghirup. Mengurangi rasa mual itu sedikit demi sedikit.
"Mual banget, aku nggak tahan," ucap Lea lemah. Harlan membantu Lea berjalan ke dalam kamar. Memapahnya lembut. Menyiapkan bantal agar Lea bisa nyaman berbaring.
"Jangan pergi pagi, Kak!" Harlan hanya duduk diam. "Semalam pulang malam, pagi pergi. Aku di rumah sendirian."
"Kan, ada Mama." Harlan merapikan selimut Lea.
"Ah, Mama kamu itu selalu marah-marah sama aku. Pusing kepalaku dengarnya." Lea tak segan menyemburkan kejujuran. "Yah, Kak. Di rumah! Aku suka mendadak jajan."
"Kakak ada keperluan penting di kampus." Lea langsung menutup selimutnya kesal. Harlan tak tahu harus bertindak apa. Kemanjaan Lea bukan hal yang bisa meluluhkan hatinya.
"Kamu pergi sendiri saja kalau mau jajan di luar. Asal kabari Kakak kalau mau pergi."
"Aku bingung mau ke mana. Aku maunya ditemani Kakak." Harlan hanya menatap datar Lea.
"Kamu mau sarapan apa? Sebelum Kakak berangkat, biar Kakak belikan."
Lea membuka selimut yang menutupi wajahnya. "Mau bubur ayam," cicitnya pelan.
Harlan berdiri. "Istirahat saja dulu, nanti pesanan datang." Lea tersenyum sambil mengangguk. Ini sudah lebih dari cukup. Suaminya cukup bertanggung jawab untuk mengurusi kehamilan dirinya. Walaupun masih tertutup dan tak pernah bisa dia gali. Semua sudah cukup buatnya.
Pada akhirnya mereka akan berpisah. Tujuan awal sudah terpenuhi, dia tidak akan meminta lebih.
Menikah, melahirkan, lalu bercerai. Anak? Lea tak peduli. Sesuai perjanjian, Harlan yang akan mengambil hak asuhnya.
***
Rujuk?
Sabtu, 22 Juli 2017
Mounalizza
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top