Prompt 7: Planet
Heroic Legend of Arslan/アルスラーン戦記 © Yoshiki Tanaka
Saya tidak mendapatkan keuntungan dengan membuat cerita ini.
Story © bella steils
Characters:
Narsus
Elam
Pair: Narsus x Elam
Selamat membaca
***
"Tuanku, sudah malam." Elam keluar dari gubuk kecil di pinggir hutan yang baru sebulan ditinggali bersama tuannya yang baru, Narsus. Seharusnya dia adalah salah satu orang penting di politik Ibukota Kekaisaran.
Tapi entah mengapa dia menanggalkan jabatan, membawa seorang budak dan bersembunyi jauh di dalam hutan.
Elam tidak tahu menahu apapun tentang politik Kerajaan. Hal yang ia tahu adalah melakukan apapun yang bisa membuat dirinya dan keluarga bertahan hidup.
Narsus menjadikannya asisten, sebuah kata yang lebih halus daripada budak. Pekerjaan utamanya adalah mengurus segala keperluan sehari-hari Narsus karena Elam adalah salah satu yang paling berbakat dan dekat dengan Narsus.
"Elam." Narsus melambaikan tangan. Meminta Elam untuk mendekat.
"Ada apa, Tuanku?"
"Mari melihat bintang sejenak." ujar Narsus sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuat degup jantung Elam semakin tak karuan.
Elam duduk agak menjauh dari Narsus. Sangat tidak sopan seorang budak berdekatan dengan tuannya. Meskipun Narsus tidak pernah mempedulikan masalah status, bagi Elam yang pola pikirnya sudah didoktrin sejak kecil tetap saja merasa sungkan.
"Indah sekali..." gumam Elam.
Seharusnya langit malam bertabur bintang menjadi pemandangan sehari-hari. Tapi Elam terlalu sibuk mengurus keperluan rumah, seperti membuat perabot, membetulkan atap yang masih berlubang, malam hari masih harus memasak.
Banyak hal yang harus dilakukan hingga tidak sempat untuk bersantai.
"Kau tahu Elam, bintang itu usianya sudah ratusan bahkan jutaan tahun."
Elam mendelik ke arah Narsus dengan ekspresi terkejut. Pemuda itu masih belum tahu apa-apa soal dunia luar.
Baru sebulan menghirup udara kebebasan dan masih banyak yang harus Elam pelajari.
"Selain itu di langit juga tersebar planet-planet..."
"Planet?" gumam Elam.
Sebuah kosakata baru baginya.
Usia Elam masing tergolong muda, tidak aneh kalau banyak hal yang belum diketahui.
"Tanah yang kita pijak ini adalah sebuah planet." Narsus memandang ke bawah, diikuti oleh Elam.
Elam sedang mencerna ucapan dari Narsus. Tetap saja tidak mengerti jadi ia hanya memiringkan kepala dan tidak merespon.
"Elam..." panggil Narsus. Elam menengok.
"Dua hari lagi aku akan pergi sejenak membeli beberapa keperluan. Mungkin akan kembali lima hari lagi."
"Baik, Tuanku."
"Selagi ada waktu, lanjutkan pelajaran baca tulis."
"Aku sudah menyelesaikannya, tuanku."
"Oh... kau sangat cepat menyerap ilmu." kata Narsus.
"Kalau begitu..." Narsus berdiri kemudian mengajak Elam masuk ke dalam rumah sederhana mereka. Lilin yang menjadi sumber pencahayaan diletakkan di atas meja.
Narsus menuju sebuah peti kayu. Di dalamnya dikeluarkan beberapa buku yang sedikit lusuh.
Tumpukan buku itu dibawa ke atas meja. "Bacalah ini."
"Kapan Tuanku membawa buku sebanyak ini?"
"Ini milik temanku. Sebagian orang di kerajaan menganggap isi buku itu sampah karena diambil dari buku-buku asing.
Kerajaan sangat menolak ide dari negara asing. Tapi menurutku buku ini sangat menarik."
"Terima kasih, Tuanku." Elam membungkuk dalam.
"Sudah malam, ayo tidur."
"Baik, Tuanku."
***
Dua hari kemudian, Narsus pamit pergi bersama kuda putihnya. Narsus tak khawatir membiarkan Elam sendirian di rumah kecil di tengah hutan. Selain karena rumah sudah dipasang sejumlah perangkap, Elam sudah dibekali dengan teknik dasar bela diri.
Otak Elam yang cepat mengamat situasi membuat semuanya menjadi lebih mudah.
Malam hari yang sunyi, pekerjaan Elam selesai lebih cepat tanpa kehadiran tuannya.
Waktu bebasnya digunakan untuk membaca buku-buku yang diberikan oleh Narsus.
Salah satu buku yang menarik perhatian adalah mengenai planet.
Elam membaca dengan serius isi buku mengenai planet dan tata surya. Satu per satu kata dan kalimat dibaca dengan serius. Sesekali berdecak kagum sambil memandang jendela yang terbuka.
Mengintip di baliknya langit gelap dengan taburan bintang.
Malam semakin larut tapi tak menyurutkan minat Elam untuk terus membaca. Elam penasaran bagaimana orang-orang dari negara belahan dunia lain bisa menemukan apa itu planet dan seisinya
Suasana yang gelap cenderung temaram tiba-tiba tersorot cahaya terang. Elam menoleh ke arah jendela lagi.
Pagi sudah menjelang.
Tak sadar ia sudah membaca semalaman.
Ia keluar dari rumah untuk merasakan udara sejuk pagi hari. Sebagian cahaya matahari menyapa kulit.
Elam memperhatikan langit yang sudah bercahaya keemasan. "Banyak hal yang belum aku ketahui di dunia ini."
Elam merenggangkan tubuh yang kaku. "Baiklah saatnya mengawali aktivitas."
***
Beberapa hari kemudian.
"Tuanku, tolong berikan hamba buku lagi!" pinta Elam.
"Eh?"
"Ada banyak hal yang belum hamba ketahui di dunia ini, jadi hamba ingin banyak belajar!" ujar Elam dengan pandangan mata yang mantab.
Narsus yang baru pulang membawa perbekalan langsung ditodong oleh Elam. Senyum segera menghiasi wajah Narsus.
Diambil satu peti besar dari kereta kuda.
Isinya buku-buku bekas. Entah pria itu dapat darimana. Sudah kotor dan ada yang robek. Setidaknya masih bisa dibaca.
Manik Elam membulat dengan antusias.
"Tuanku... Ini?"
"Semua buku ini untukmu."
"Terima kasih Tuanku. Terima kasih banyak." Elam menunduk dalam. Matanya ingin menangis tapi segera ditahan dengan menggigit bibir bawahnya.
Elam dulunya hanyalah seorang budak. Bersekolah saja tidak pernah terpikir di benaknya.
Namun tuannya Narsus memberikan kesempatan yang datang tidak dua kali kepadanya.
"Jadilah kuat, tidak hanya fisik, tapi juga isi kepala." Narsus menepuk pelan puncak kepala Elam.
"Baik, Tuanku!"
***
Selesai.
Pojok penulis:
Dua prompt terakhir agak maksa ya. Tadinya mau bikin xuxurusen tapi gatau kenapa malah melipir ke arslan senki.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top