Jika aku berjanji untuk tidak meninggalkanmu, akankah kamu tetap tinggal bersamaku?
-------------------------
"BISA-BISANYA KAU HIDUP DENGAN TENANG?! DIA MATI KARENAMU! KAU SEHARUSNYA-"
HAH!!!
Zen tersentak, napasnya terengah. Jantungnya berdentum hebat setelah tiba-tiba bangun dari mimpi yang rasanya seperti jatuh mendadak dari ketinggian. Ia menekan dadanya, merasakan debar yang terlalu cepat. Sakit. Paru-parunya seakan terimpit, entah mengapa.
Sampai saat ini, rasa berat dan ganjil di dadanya itu tak pernah hilang.
Mimpi itu lagi.
Ia sudah kembali ke masa lalu dan bertekad akan menyelamatkan Senna dari peristiwa hari itu, tetapi rasa bersalah dan penyesalan masih menggelayuti hatinya layaknya mendung yang bertahan lantaran belum sepenuhnya menurunkan hujan. Perasaan berat ini sepertinya akan terus membebaninya selama ia belum benar-benar menyelamatkan Senna. Ini masih belum selesai; nyatanya, ia baru memulai.
Ia mengerjap beberapa kali, lantas menyadari ia masih terduduk di atas sofa dengan lembaran kertas-kertas ujian yang tadi diperiksanya sekadar untuk menghabiskan waktu sembari menunggu pagi.
Ia sengaja melanjutkan pekerjaannya agar tidak tertidur dan bisa langsung melintas-ruang ke rumah Senna, berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu yang membahayakan.
Tidak mungkin ia memercayai Nadira. Jika ia harus terjaga semalaman demi memastikan keselamatan Senna, hal itu tidak jadi masalah baginya.
Untuk Senna, apapun akan ia lakukan.
Zen sebenarnya sudah terbiasa untuk tidur lebih larut dan bangun lebih awal. Setiap pelintas paham betapa berharga ruang dan waktu bagi mereka, jadi mereka cenderung menggunakan ruang dan waktu dengan sebaik-baiknya. Membuang-buang waktu atau menghabiskan banyak ruang bukanlah sifat mereka. Dan karena itu, Zen biasanya tetap baik-baik saja walaupun hanya tidur paling lama tiga jam setiap harinya.
Namun, sepertinya semua yang terjadi sepanjang hari ini sudah menguras mental dan fisiknya, hingga ia terlampau lelah untuk duduk dan bangun sepanjang malam.
Zen memejamkan mata sekali lagi, mengurut pelipis dan memaksa matanya agar tetap terbuka. Baru pukul empat dinihari, masih dua jam sebelum waktu berkunjung yang ditetapkan Iskandar, ayah Senna. Beliau melarang Zen mengunjungi rumahnya dari pukul sebelas malam sampai pukul enam pagi. Jika tidak ada sesuatu yang sangat mendesak dan membahayakan, ia tidak mengizinkan Zen untuk mendatangi rumahnya. Iskandar tentu tahu pelintas ruang bahkan tak butuh kunci untuk mendatangi ruang manapun. Namun, beliau berusaha memercayai dan memegang kata-kata Zen saat berjanji bahwa ia akan selalu melindungi Senna.
Bagaimanapun juga, Zen adalah seorang laki-laki normal, dan sebagai seorang ayah, Iskandar tidak mungkin percaya seratus persen pada laki-laki manapun yang akrab dengan anak gadisnya. Apalagi, ia menyadari Senna dan Zen lebih dekat daripada sekadar rekan melintas. Hubungan mereka terlihat mencurigakan baginya.
Zen memahami kekhawatiran Supervisornya dan mengikuti peraturan beliau. Saat Iskandar ada ataupun tidak ada, Zen tetap mematuhi aturan itu dan tidak pernah melanggarnya sekalipun.
Zen melirik ke arah luar.
Menurutnya, keberadaan Nadira bisa jadi membahayakan.
Dalam sekejap, pikirannya sudah membentuk jalan menuju rumah Senna, seakan jalan pikirannya senantiasa mengarah ke rumah gadis itu. Hanya butuh satu detik baginya untuk sampai ke rumah Senna.
Janji pada supervisornya? Hal itu tidak penting lagi sekarang.
Zen bisa ke sana karena kini tak ada lagi penghalang untuknya memasuki rumah itu. Senna ada di sana, sebagaimana seharusnya, dan jika Nadira tidak melakukan apa-apa, Senna sebenarnya baik-baik saja di sana.
Namun, ketidakyakinan yang janggal ini terus mengganggunya.
Ia tidak mendengar suara apapun dari rumah itu, tidak pula mendengar keributan dadakan yang biasanya hadir saat terjadi sesuatu. Kehampaan itu malah membuatnya semakin khawatir.
Jika sebelumnya Zen tidak pernah melanggar aturan Iskandar dan mendatangi rumah Senna sepagi ini, mungkin inilah saatnya.
Tidak akan terjadi apa-apa. Ia hanya ingin memastikan.
Tidak akan ada masalah. Ia hanya ingin memastikan.
Jika Iskandar tahu dan menghukumnya? Ya sudah, tak masalah. Yang penting, Senna tidak dalam bahaya.
Itu saja cukup baginya.
Zen memejamkan mata dan memantapkan langkah, melintas-ruang menuju rumah Senna.
Dan ketika ia membuka mata, kaki kanannya sudah menjejak di ruang tengah rumah Senna.
Keheningan menyambutnya. Hanya suara gemericik air kolam belakang yang terdengar, beriringan dengan detak jarum jam yang konstan menemani.
Tidak akan terjadi apa-apa.
"Sedang apa kau di sana?"
Zen menoleh menatap sang pemilik suara. Nadira, lagi-lagi dengan gaya sok dewasanya, bersandar di kusen pintu kamar tamu dengan tangan terlipat di depan dada dan alis terangkat.
"Baru jam empat pagi. Kau mau apa sepagi ini di rumah yang hanya dihuni dua orang gadis? Bukannya kau sudah janji pada Pak Iskandar untuk tidak mendatangi rumah kami di jam-jam rawan seperti ini? Mau aku teriaki maling?"
"Aku hanya memastikan. Ya. Tidak,"sahut Zen langsung menjawab ketiga pertanyaan Nadira.
Nadira tercengang, berusaha memproses jawaban Zen yang terlalu cepat dan mengingat kembali urutan pertanyaan yang sebelumnya ia lemparkan. Ah, iya. Ingatan Zen 'kan hampir menyamai Senna. Harusnya ia sadar diri dan tidak bertanya banyak jika ia sendiri akan lupa.
Nadira mengetuk dahinya pelan. "Bentar. Tadi aku tanya apa?"
Zen mendengkus pelan, mengabaikan Nadira dan berjalan ke arah kamar Senna. Nadira yang panik berlari ke arahnya.
"HEI, kau mau ke kamar Senna?!" Nadira menyeru, berusaha menghentikan Zen dari apapun yang akan dilakukannya. Kini Nadira paham apa yang dirasakan Ezzi saat ia akan memasuki laboratorium bioteknologi waktu itu. Rasa tanggungjawab atas kemungkinan yang membahayakan!
Nadira tak menyangka bayaran yang harus ditanggungnya demi perjalanan ke masa lalu akan semahal ini. Manusia memang tak bisa diprediksi. Harusnya ia tak menyetujuinya.
"Jangan. Ke. Kamarnya,"gertak Nadira, berusaha meredam emosinya agar Senna tak terbangun mendengar suara mereka.
Tidak mungkin ia membiarkan seorang laki-laki dewasa seperti Zen bersama Senna yang masih... Masih remaja!
Nadira pasti jadi pihak yang harus bertanggungjawab karena ia yang telah membawa Zen kembali ke masa ini. Pengadilan Kronologia... Kehilangan pemahaman... Masa depannya setelah ini pasti jadi rumit. Ia bahkan sudah bisa menerawang jalan waktu di masa depan yang seakan berduri di tiap detiknya.
"Berhenti. Di. Situ. Pokoknya jangan!"Nadira mencengkeram erat tangan Zen. "Kalau kau nggak melintas-ruang ke rumahmu sekarang juga, kau akan kudorong ke masa depan yang sangat jauh,"ancamnya.
Zen menepis tangan Nadira. "Apa sih. Kau nggak berhak melarangku."
Nadira menarik ujung baju Zen. "Sadarlah, kau sudah dewasa! Ingat konsekuensinya! Aku akan mencegah semua kemungkinan buruk yang bisa terjadi!"
Zen mengernyit, jengkel dengan prasangka Nadira. "Kau mikir apa, sih?!"
"Menurutmu apa?! Sudah berapa kali kau melanggar aturan Pak Iskandar, hah?!"
"Dari mana kau tahu?"
"Harusnya dari kapan aku tahu. Lupakan, intinya bukan itu. Kau pulang sekarang atau kudorong ke masa depan?! Pilih!"
"Kau -"
"Nadira? Udah bangun?"
Suara Senna dari dalam kamar menghentikan pertengkaran mereka. Nadira menatap Zen dengan mata membulat kaget, sementara Zen tergesa-gesa menghindari Nadira dengan satu langkah besar yang membawanya langsung melintas-ruang ke rumahnya sendiri. Alam bawah sadarnya tahu ia tak seharusnya di sini. Jika Senna melihatnya, kepercayaan Senna padanya akan hilang, atau setidaknya berkurang, dan ia tak ingin hal itu terjadi.
Nadira yang terhuyung karena tiba-tiba kehilangan pegangan, jatuh ke lantai dengan lutut lebih dulu.
"Aw!"
It's okay, Nad, batinnya menenangkan. Rasa sakit di lututnya ini tidak akan separah menerima konsekuensi membiarkan Zen di sini pagi-pagi buta.
"Tadi kamu ngomong sama siapa?"tanya Senna yang baru saja membuka pintu kamar, muncul setelah mendengar ribut-ribut.
"Nggak, aku sendiri. Tadi ngelindur. Biasa,"kilahnya seraya menyibak rambut panjangnya ke bahu. "Aku ikut klub teater di kampus. Kadang latihanku kebawa mimpi, haha!"
Senna celingukan. "Tapi, sepertinya tadi aku dengar -"
Nadira terburu-buru menyela. "Nggak, hanya ada aku di sini. Apapun yang kamu dengar itu pasti suaraku. Suaraku bisa macam-macam,"suaranya Nadira seolah meyakinkan.
Senna menengadah agar bisa menatap mata Nadira, berusaha mencari petunjuk demi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia tak menemukan kebohongan dalam mata Nadira. Alih-alih, ia menemukan bayangan dirinya sendiri di sana. Fokus dan jernih.
Senna tersenyum riang. "Oh, oke! Kapan-kapan kamu harus mengundangku kalau tampil, ya!"
"Hm! Aku pasti akan mengabarimu!"serunya seraya menggandeng tangan Senna, sama antusiasnya. Nadira senang mengimbangi keceriaan Senna, meskipun mereka jadi seperti dua Pikachu dengan energi listrik berlebih.
"Oh iya, pagi ini kita jadi olahraga, kan? Kita akan coba croissant sehabis itu, jadi kan? Jadi, ya? Yayayaya? Aku sudah tiga hari tidak ke sana,"pinta Senna.
"Apa sih yang nggak buat Senna? Jadi, dong,"jawab Nadira semangat. Lalu, ia mengajak Senna ke halaman belakang sembari melanjutkan, "Tapi, sambil nunggu Zen, kita ngobrol dulu, yuk. Ada sesuatu yang mau kuceritain..."
----------------
Zen tertegun sejenak saat menyadari ia sudah berdiri di depan kursi ruang tengah yang biasa digunakan Senna. Refleksnya berhasil mengantarnya kembali ke rumah sebelum Senna melihatnya.
Zen lalu memandang kalender harian yang berdiri di atas meja. Masih 7 Juni 2013. Ia mengembuskan napas lega dan membalik halamannya. Benar, hari ini masih 8 Juni 2013.
Biasanya Zen mengganti halaman depan kalender itu tiap pagi sebelum ke rumah Senna. Jika kali ini sedikit tak seperti rutinitas, tidak apa-apa.
Zen mengeluarkan selembar kertas yang sejak kemarin ia sembunyikan di saku kemejanya. Catatan di kertas lecek dengan tulisan tangan Nadira, yang ia temukan di bawah lembaran ujian.
Kalau kamu tidak ingin menyesal untuk kedua kalinya, ikuti jalanku.
Perubahan sekecil apapun akan berpengaruh, jadi tolong dengarkan aku.
Zen skeptis menatap kertas itu. Bisa-bisanya gadis muda itu berlagak mengetahui semuanya, hanya karena dia bisa tahu masa depan?
Sifatnya memang khas para pelintas waktu.
Zen tidak mau mengikutinya. Tidak mungkin pula Nadira tahu semuanya. Pasti ada yang tidak dia tahu. Sebab, sehebat apapun Nadira, ia tidak akan memahami ruang yang disembunyikan.
Pasti ada celah.
Zen memang bukan pelintas waktu dan tidak memahami garis waktu sebagaimana orang-orang itu, tapi ia yakin dengan jalan yang akan ia ambil saat ini.
Ia tak butuh Nadira untuk menunjukinya jalan. Nadira hanya perlu membawanya ke masa lalu, dan tugasnya seharusnya sudah selesai.
Kali ini, Zen akan melakukan apa yang berbeda dari masa lalu.
-----
Diunggah di ruang yang kutempati sendirian, pukul 4.09 pagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top